"Bakar satenya pake lempengan batu panas, yang panasnya mampu bertahan selama 30-an  menit."Â
Sebagai penggila olahan sate plus petualang rasa, menyantap sate itu adalah soal kepuasan, petualangan dan bukan sekadar soal perut kenyang. Seperti halnya menyantap sate domba.
Sebenarnya aku tuh jarang nemuin penjual olahan sate jenis domba. Sama halnya sate bebek. Jarang. Biasanya yang familiar dijual tuh olahan sate dari daging kambing dan ayam.
Tapi apapun daging olahan sate, aku suka. Kambing, ayam, bebek. Oke semua. Tapi grade-nya tetap suka kambing, setelahnya bebek. Kalau daging domba? Ini istimewa. Mungkin karena jarang nemuin di warung, rumah makan maupun pinggiran jalan. Ketemu-ketemu di menu restoran hotel.
Selain sea food, sate itu jenis kuliner yang kusukai. Sukanya itu sampai ambang batas, "Kalau kondisi badan sakit, gak enak makan, sate menjadi perkecualian. Masih terasa nikmat."Â Catettttt!!!
Lempengan Batu Memanggang Sate DombaÂ
Namanya juga sate, jadi olahannya ya dibakar, dipanggang. Umumnya arang sebagai pemanasnya. Atau kalau di rumah bakar sendiri, pake kompor gas. Gak mau repot kipas-kipas. Gak mau kena abu arang yang berterbangan. Gak mau wajah berkilat-kilat merah kena panasnya. Blaikkk. Malesan banget haha.
Ya, sate itu memang dikit repot. Tapi sebenarnya justru asyik dan gregetnya itu di proses memanggangnya. Proses manggang sate itu yang membuat aroma tradisionalnya kental terasa.
Seperti model memanggang sate ala menu Sate Domba Pak Udin Petot di Waroong Kebayoran, Jakarta Selatan yang aku datangi Minggu 30 Juni 2019 lalu.