PANAS terik siang, tertepis adem ruangan kayu yang lumayan luas. Saat kakiku melangkah masuk rumah joglo itu, memenuhi ajakan perut yang berdendang sumbang. Lapar. Bangku-bangku panjang lengkap dengan meja kayu setebal 5 jari, artistik. Beberapa ornamen khas berbahan kayu juga, menghiasi ruangan joglo itu. Tiang-tiang kokoh menyangga rumah makan yang terkesan sederhana. Ada beberapa lukisan tergantung di beberapa sisi. Angin semilir menyelusup masuk. Ruangan terbuka, hanya pagar kayu setinggi semeter yang membatasi ruang dalam dan luar.
Soto dan bebek. Dua nama menu favorit. Ahh lama ndak makan soto. Jadi kuputusin pesan soto daging campur. Sembari berpikir, ntar kalau masih lapar, baru pesan menu bebeknya. Lalu sebagai obat dahaga kupesan es jeruk dan es teh manis. Asem-asem jeruk memang selalu kusuka.
Kubuka satu persatu tudung piring di meja kayu yang panjangnya persis sama dengan bangkunya. Meja yang kokoh dengan ketebalan 5 jariku. Piring-piring berwarna putih khas banget yang sering dipakai di rumah. Mungkin juga di rumah warga lainnya. Isinya? Ada tempe goreng, tahu goreng tanpa tepung, bakwan atau gimbal, dan aneka sate. Sementara di sebelah sana tergantung aneka macam kerupuk dengan bentuk beragam. Dan beberapa ‘tombong kerupuk’ ala kampong tergantung di paku yang tertancap di beberapa tiang penyangga.
“Matur nuwun,” jawabku singkat.
Kepulan asap soto yang lebih dari hangat itu langsung menyeruak. ‘Thokolan’ atau kecambah bertaburan. Daging sapi berwarna gelap menyembul. Beberapa diantaranya ‘ndelik’, bersembunyi di kuburan nasi. Kuah bening menjadi lautannya. Menggoda juga soto daging campur seharga Rp. 10.000 ini di mangkok kecil itu. Nikmat nampaknya. Inilah Soto Ndelik.
Kucicipin beberapa sendok. Ingin merasakan cita rasa asli soto racikan rumah ini. Hangat dan lega di tenggorkan. Warna kuah langsung berubah ketika aku tuangkan kecap manis dan sedikit sambal. Yaaa, aku demen makan soto berkuah gelap oleh paduan sambal dan kecap.
Sengaja sambal tak banyak kutuang. Hanya untuk mengimbangi rasa manisnya kecap. Terlebih lagi aku tak mau, rasa asli dari bumbu soto lenyap gegara terkamuflase oleh pedasnya sambal. Soalnya pengen rasain citarasa aslinya. Krupuk? Tak bakalan ketinggalan. ‘Soulmate’ soto yang harus dipadukan. Tombong kerupuknya mengingatkan pada abang-abang , armada suplyer kerupuk dari Pabrik Kerupuk Pak Tris di kampong. Pabrik kerupuk yang menggurita hingga tanah-tanah di sekitar pabrik dicaplok tuk perluasan usaha dan tempat tinggal. Juragan kerupuk yang cukup sukses, meski tak mengenyam bangku sekolah yang memadai!
Kucomot beberapa tusuk sate sebagai menu penutup. Laah sate kok jadi menu penutup. Opo tumon! #Rapopolah suka-suka, yang penting nikmat. Dan beneran sate kikilnya lumayan empuk dan gede dengan bandrol harga Rp. 6000/per tusuk. Sementara es jeruk dan es the manis sudah tandas. Kupesan lagi es kelapa muda. Panas cuaca memprovokasiku lebih banyak minum nampaknya. Yaa sudahlah.