Mohon tunggu...
Boy Anugerah UI
Boy Anugerah UI Mohon Tunggu... Consulting Group (Political, Education and Literacy) -

Literasi Unggul Group adalah sebuah perusahaan swasta yang didirikan oleh Boy Anugerah, mantan pegawai pemerintah dan perusahaan swasta yang mengabdikan dirinya pada dunia literasi, pendidikan dan riset. Literasi Unggul Group menyediakan jasa pendidikan privat di bidang Bahasa Inggris, pengembangan literasi di daerah Jakarta dan Bekasi, riset independen di bidang politik, ekonomi, pertahanan keamanan, serta sosial budaya, serta menerima jasa pembuatan buku, jurnal, serta artikel opini dan ilmiah untuk diterbitkan. Literasi Unggul Group dipimpin langsung oleh Boy Anugerah yang membawahi beberapa periset independen di bidang politik, ekonomi, serta pendidikan dan sosial budaya. Dapat dihubungi di alamat email boy.anugerahsip@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tantangan Diplomasi 2017

12 Desember 2017   16:11 Diperbarui: 12 Desember 2017   18:52 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak lama lagi tahun 2016 akan segera berakhir. Dalam manajemen birokrasi, akhir tahun biasanya digunakan sebagai waktu untuk melakukan evaluasi atas rangkaian kegiatan yang sudah dilaksanakan dalam 11 bulan sebelumnya, juga sebagai tempo untuk menyusun apa yang menjadi rencana dan strategi di tahun yang akan datang. Hal ini juga berlaku bagi para pemangku kepentingan dan penyusun kebijakan luar negeri RI. Kompleksitas tantangan yang dihadapi RI di tahun yang akan datang serta visi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berpengaruh di kawasan, suka tak suka menjadikan persiapan yang bersifat strategis dan cermat sebagai suatu keharusan.

Kebijakan luar negeri sebagai keluaran dari politik luar negeri juga mematuhi kaidah manajemen pada umumnya, seperti perencanaan, aksi, pengawasan, serta evaluasi. Keseluruhan aspek manajemen tersebut digunakan sebagai instrumen untuk mencapai apa yang disebut sebagai kepentingan nasional, jamaknya mencakupi gatra-gatra penting yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat Indonesia, seperti bidang ekonomi, sosial budaya, politik, hingga pertahanan dan keamanan. Pencapaian kepentingan nasional biasanya diselaraskan dengan upaya untuk memperkukuh ketahanan nasional agar antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya tidak menciptakan turbulensi terhadap stabilitas nasional.

Pemerintah RI memiliki visi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang berpengaruh di dunia. Tak hanya itu, Pemerintah RI juga sedang menggalakkan upaya bagaimana Indonesia bisa merejuvenasi posisinya sebagai pemimpin di kawasan Asia Tenggara yang suka tak suka pamornya semakin memudar. Pemerintah RI juga memiliki cita-cita besar agar Indonesia bisa sejajar dengan negara-negara BRIC, singkatan Brazil, Rusia, India, dan China yang diklaim sebagian besar kalangan sebagai poros baru negara-negara "tangguh" di dunia. Bagaimana caranya mewujudkan mimpi-mimpi besar tersebut?

Indonesia sejatinya tak kekurangan amunisi dan logistik untuk mewujudkan mimpi seluruh rakyat agar Indonesia menjadi negara terpandang di dunia. Patut dicamkan di kepala segenap pengambil kebijakan di republik ini bahwa Indonesia adalah negara kaya raya, subur dan makmur. Kita kaya di daratan, lautan, bahkan udara sekalipun. Jumlah penduduk kita besar, sebagian besar berada pada usia produktif. Yang kita butuhkan hanyalah sistem yang baik dan terencana untuk merealisasikan satu per satu mimpi rakyat negeri ini. Tak hanya itu, apa yang menjadi konsensus bangsa yang tertuang di dalam Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta Sesanti Bhinneka Tunggal Ika hendaknya menjadi pedoman dalam formulasi setiap sistem kebijakan di negeri ini.

Tantangan politik luar negeri kita di tahun depan tidaklah sederhana dan berpotensi menyulitkan pencapaian kepentingan nasional. Dari lingkungan strategik terdekat, yakni kawasan Asia Tenggara, soliditas negara-negara Asia Tenggara patut dipertanyakan menyusul semakin mesranya hubungan Filipina dan Tiongkok. Dalam konteks konflik di Laut China Selatan, apa yang dilakukan oleh Filipina merupakan sikap yang tidak mengindahkan konsensus di kawasan yang disepakati oleh segenap negara anggota ASEAN. Alih-alih meminta dan mengikuti mekanisme ASEAN serta menimbang perasaan negara-negara jiran yang menjadi claimant states dan seteru Tiongkok, Filipina justru lebih memilih mekanisme bilateral dengan Tiongkok untuk mengatasi konflik Laut China Selatan.

Masih dalam lingkungan strategik Asia Tenggara, apa yang terjadi di Myanmar dan Thailand Selatan menunjukkan bahwa konsepsi dan cita-cita segenap negara Asia Tenggara untuk mewujudkan apa yang dinamakan sebagai Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN (ASEAN Political and Security Community) masih sebatas mimpi di awang-awang. Eksodus masyarakat muslim Rohingnya akibat represi oleh pemerintah dan masyarakat mayoritas di negeri tersebut menjadi permasalahan bagi negara-negara tetangga yang berbatasan secara geografis, tidak terkecuali Indonesia. Dikambinghitamkannya minoritas muslim di Thailand Selatan atas peledakan bom di sejumlah titik di Thailand periode 2016 menjadi tantangan yang signifikan bagi ASEAN dan juga Indonesia. Indonesia yang dianggap sebagai sampel negara muslim yang demokratis dan toleran serta menjadi role model dunia dituntut untuk mengambil sikap.

Dalam skop yang lebih luas, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat menjadi tantangan tersendiri. Visi kontroversial dan sikap eksentrik Trump menjadi ancaman serius terhadap kepentingan nasional RI. Hal ini harus diwaspadai dan perlu perlakuan khusus agar hubungan bilateral RI-AS tidak mengalami kemunduran. Di belahan Timur Tengah, konflik antarnegara di kawasan ini belumlah reda, malah cenderung mengalami eskalasi. Iran masih ditempatkan sebagai ancaman oleh negara-negara berhaluan Sunni. 

Afghanistan dan Irak masih terjerumus dalam perang saudara yang tak berkesudahan. Suriah lebih runyam. Konflik di Suriah bisa dikatakan sebagai konflik banyak pihak dan multidimensional. Pihak yang berkonflik tidak hanya pemerintah dengan faksi-faksi pemberontak, tapi di dalamnya juga terlibat kepentingan Rusia, Amerika Serikat, dan kelompok Islamic State (IS). Israel tetap menjadi parasit dan bahaya laten bagi perdamaian dunia. Tekanan AS di bawah pemerintahan Obama untuk mewujudkan visi perdamaian antara Israel dan Palestina tidak tercapai, bahkan hingga Obama lengser dari tampuk kekuasaan.

Dalam level organisasi dan rezim internasional, dunia sedang menunggu bagaimana Dewan Keamanan PBB (DK PBB) bisa bersikap bijak untuk mereformasi diri dalam merespon tuntutan akan terciptanya tata dunia yang adil. Eksistensi kukuh negara-negara anggota tetap DK PBB seperti Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Perancis, dan Inggris dianggap menjadi penghalang terciptanya tata dunia yang damai. Semua kebijakan yang ditelurkan oleh DK PBB dianggap bias karena lebih mengutamakan kepentingan nasional negara-negara anggota tetap. Ketiadaan wakil dari Afrika, Australia dan Amerika Latin menjadikan wajah DK PBB tidak merepresentasikan konfigurasi negara-negara di dunia. Masalah ketidakadilan dan bias dalam organisasi dan rezim internasional juga ditemui di lembaga-lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia dan IMF.

Menyikapi kompleksitas di atas, pertama dan utama yang harus dilakukan oleh Pemerintah RI adalah tetap berpegang pada pedoman politik luar negeri bebas dan aktif. Eksistensi dan perluasan pengaruh Indonesia di kancah global merupakan sebuah keharusan dengan sebisa mungkin meminimalkan ha-hal yang bisa membawa dampak negatif terhadap kepentingan nasional. Sebagai contoh, dalam level Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia harus bermain lincah menjadi pionir dan penengah atas konflik yang terjadi di negara-negara kawasan. Indonesia tak boleh bersikap pasif karena atribut Indonesia sebagai negara kunci Asia Tenggara justru dipertaruhkan. Kontribusi dan tekanan yang diberikan Indonesia terhadap Myanmar dan Thailand misalnya, selaiknya ditempatkan dalam kerangka ASEAN sehingga tidak menimbulkan ekses negatif yang bersifat bilateral antara Indonesia dengan Myanmar atau Thailand.

Kedua, Indonesia selaiknya lebih menggiatkan diplomasi dengan berbagai jalur. Hal ini penting karena prinsip diplomasi adalah there is no single way to fix all problems. Dalam merespon terpilihnya Trump sebagai Presiden AS misalnya, Pemerintah RI bisa mengaktivasi diplomasi yang lebih gencar melalui kalangan pebisnis dan pengusaha. Pemilihan mereka sebagai instrumen diplomasi dikarenakan, pertama, diplomasi ekonomi merupakan diplomasi lunak dan pelentur ketegangan dalam hubungan bilateral kedua negara. Kedua, faktor idiosinkratik Trump sebagai taipan bisnis menjadikan strategi ini ibarat kunci bertemu dengan gembok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun