Mohon tunggu...
deniranggup
deniranggup Mohon Tunggu... Mahasiswa - Boy rg

Marjaavaan (Aku akan Mati): Cinta yang hilang, harapan untuk kembali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ditempat yang kau sebut rindu

19 Desember 2024   02:55 Diperbarui: 19 Desember 2024   02:55 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Di tempat yang kau sebut rindu"
Ada suara lagi. Datang dari dalam kepala, tapi terdengar di luar. Ah, dia lagi. Selalu begitu, muncul di waktu-waktu yang sa pikir su selesai. Tapi tidak, dia ternyata tinggal di sini, di hati yang tidak pernah kosong.
Dia: "Kau masih pikir tentang sa?"
Sa: "Tidak. Su lama sa buang kau."
Dia: (Ketawa kecil, seperti bunyi arus di kali Sanepi.) "Kalau buang, kenapa sa masih ada?"
Sa: "Kau cuma angin. Hanya datang sebentar, lalu hilang."
Dia: "Ah, tapi kau selalu buka pintu buat sa masuk. Apa itu artinya?"
Sa diam. Sa kepala seperti hutan sebelum hujan. Tenang, tapi penuh bunyi kecil yang tidak jelas asalnya.
Sa: "Kau selalu bikin sa capek. Setiap datang, cuma kasih rasa susah."
Dia: "Sa tidak pernah paksa kau. Kau sendiri yang jemput sa masuk."
Sa: "Karena sa pikir kau ini yang sa butuh. Tapi salah. Kau ini cuma bayangan."
Dia: "Bayangan? Ah, kau lupa. Bayangan itu hanya ada kalau ada terang. Jadi, terangmu itu sebenarnya milik sa juga."
Sa ingin balas, tapi suara dia seperti tifa di malam sunyi. Pukulannya pelan, tapi bunyinya tinggal lama di dada.
Sa: "Kenapa kau tidak pergi saja?"
Dia: "Kenapa kau tanya begitu? Kau takut sepi tanpa sa?"
Sa: "Sa tidak takut sepi. Sa takut kalau kau tinggal, sa lupa bagaimana rasanya diam."
Dia: "Diam tidak pernah berarti sendiri. Kau ini takut sama apa sebenarnya?"
Sa pikir-pikir lagi. Apa yang sa takut? Mungkin bukan dia, bukan kehilangan, tapi... sesuatu yang lebih dalam.
Sa: "Sa takut sa tidak cukup kuat untuk buang kau."
Dia: (Tersenyum tipis, suaranya seperti daun yang tertiup angin sepoi.) "Kalau begitu, kau tinggal peluk sa. Jangan buang. Karena sa tidak datang untuk menang, hanya untuk tinggal."
Sa: "Tinggal di mana?"
Dia: "Di tempat yang kau sebut rindu, tapi kau sendiri tidak pernah tahu bagaimana cara memeliharanya."
Sa tidak jawab. Suara dia perlahan hilang, seperti ombak yang menyusut di malam hari. Tapi sa tahu, dia tidak benar-benar pergi. Dia hanya menunggu sa panggil lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun