Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) merupakan momentum bersejarah bagi setiap siswa yang memasuki pintu gerbang perguruan tinggi. Ospek dengan seluruh rangkaian acaranya merupakan awal pembentukan watak bagi seorang mahasiswa baru. Dengan kata lain bahwa baik tidaknya kepribadian mahasiswa di sebuah perguruan tinggi sedikit banyak ditentukan oleh baik tidaknya pelaksanaan Ospek di perguruan tinggi tersebut.
Menurut Bratadharma, 2013, pada dasarnya, Ospek merupakan pintu ilmu bagi mahasiswa-mahasiswi. Pintu itu akan dibuka dan dicermati atau dipelajari secara seksama oleh mahasiswa-mahasiswi baru untuk memperdalam ilmunya. Bila dari pintunya saja sudah buruk, maka pola pikirnya bisa saja terus menduga bahwa di dalam pintu akan sama buruknya.
Lalu bagaimana dengan fenomena "Ospek" pada Politisi oleh masyarakat jelang Pemilu 2014? Saya pernah mendengar langsung kalimat tersebut dari salah seorang Caleg. Dia merasakan hal itu dalam sosialisasinya ke masyarakat. Bayangkan, menurutnya, hampir tiap hari dia ditawari kegiatan oleh warga, proposal, hingga diminta menyelempangkan spanduk dia di depan rumah. Semua hal tersebut tentu membutuhkan biaya tidak sedikit. Untuk spanduk, sebagai basa-basi si caleg tadi memberikan uang lelah dari kisaran Rp. 100-300 ribu, tergantung strategis tidaknya letak rumah tersebut. Harga tersebut hanya untuk satu rumah, bagaimana jika jumlah spanduk yang dibuatnya jumlahnya ratusan?
"Mohon dukungan dan bantu saya ya.. Kalau saya duduk Insya Allah saya tidak akan melupakan bapak-ibu sekalian," Biasanya kalimat tersebut paling acap terlontar dari mulut sang caleg.
"Insya Allah, kami se isi rumah ini saja 5 orang (misalnya) belum lagi rumah deretan belakang sana, semua warih kami," ujar warga tak kalah cerdiknya memberikan harapan.
Apakah dengan demikian sang caleg sudah merasa memiliki suara seisi rumah tersebut? Tunggu dulu. Ada cerita menariknya. Spanduk yang terselempang di rumah tersebut bukan jaminan akan terus terpasang hingga 9 April hari pencoblosan. Terkadang hanya hitungan hari dan minggu sudah copot. Dan yang lebih menyakitkan hati si caleg tersebut, di rumah tersebut kadang sudah berganti dengan spanduk caleg lain yang sedapil dengan dirinya tiga hari berselang.
Masyarakat masih menganggap pemilu adalah sebuah proyek yang musti di manfaatkan. Sangat jarang diantara mereka mendukung si calon dengan ideologi, kecuali dia adalah kerabat dekat calon tersebut.
Fenomena demikian terjadi ada sebab musababnya. Kita tentu tidak bisa menyalahkan masyarakat dalam hal ini. Trust publik memang sangat menipis pada pelakon politik saat ini.
Dalam sebuah acara perhelatan pemuda atau nagari saat musim pemilu ini, sangat mudah mendapatkan sponsor. Baik hadiah utama hingga seluruh dana penunjang terwujudnya perhelatan tersebut. Bahkan tak jarang meraup untung pula. Dalam acara itu, biasanya mereka mengundang para caleg sebanyak mungkin, melobinya sebagai sponsor, di undang pada acara pembukaan dan penutupan. Sasaran mereka umumnya para caleg yang dinilai tajir. Moderator yang lihai bersilat lidah dikampung tersebut biasanya di daulat untuk memberikan pujian lips service pada para caleg yang datang diatas panggung. Sanjungan mereka melelapkan.
Kita sering mendengar kalimat bahwa Pemimpin suatu daerah adalah cerminan warga pemilihnya terkadang ada juga benarnya. Jika para Caleg tersebut seandainya duduk dikursi legislatif, mereka tentu punya catatan kecil. Dia punya data rinci daerah mana kantong-kantong suaranya. Meskipun dia sudah duduk, terkadang rasa kekecewaan kepada kelompok warga yang sebelumnya telah banyak dibantu dan alhasil suara jauh dari harapan setelah pemilu menyemat dihatinya. Dia terkadang melabeli daerah tersebut dengan istilah "jalur gaza" nya politik. Banyak punah uang para caleg disana. Hehehe..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H