Begitu terbersit ide untuk menulis tentang Kompasiana TV, program tv yang tayang setiap hari senin hingga jum’at jam 8 malam di Kompas TV, dan memublikasikan di Kompasiana.com maka sempat terpikir bahwa tulisan ini akan menjadi seperti menjilat Kompasiana. Namun saya memaklumi hal tersebut akan timbul bila membaca sebatas judul dan tidak tuntas hingga kata terakhir di paragraf ujung.
Gagasan menuliskan ini semata didasari kenyataan akan munculnya fenomena baru dalam program talkshow televisi nasional dimana pemirsa tidak lagi menjadi penonton pasif saja dalam menyerap informasi. Memang interaksi dengan pemirsa sudah ada dari dulu lewat telepon dan di masa kini bisa lewat media sosial atau surel. Tetapi interaksi tersebut masih belum transparan dan masih bisa dimanipulasi oleh redaksi agar materi pertanyaan atau kritik yang muncul tidak keluar dari perspektif redaksi atau pun etika sosial.
Dalam interaksi melalui telepon kerap tidak semua telepon bisa masuk, saya mengalami hal tersebut di hampir semua program talkshow televisi kecuali TVRI, malah seorang presenter televisi berita nasional pernah mengomentari keluhan saya akan susahnya menelpon tersebut dengan meminta saya menelpon produser acara tersebut bukan ke nomor yang tertera di layar kaca. Ada seorang kawan yang berteori bahwa nomor yang disediakan adalah formalitas agar seolah program tersebut interaktif tetapi pada teknisnya semua penelpon adalah orang-orang yang disediakan oleh produser acara tersebut guna mendukung sudut pandang redaksi melalui program tersebut. Saya tidak bisa menolak kemungkinan itu karena saya tidak memiliki bukti meyakinkan untuk membantah itu kecuali harapan bahwa setiap jurnalis seharusnya independen dan seimbang.
Masuknya pertanyaan melalui media sosial juga bisa dibilang bagian dari kecenderungan masa kini, tetapi interaksi ini juga punya kelemahan akan kemungkinan manipulasi oleh redaksi lewat pemilihan tulisan dari akun-akun yang dibuat untuk tujuan mendukung perspektif redaksi. Media sosial itu penuh oleh akun-akun anonim karena kemudahan yang diberikan guna membuat akun dan itu melahirkan industri baru dimana akun-akun pesanan dapat menggiring opini sesuai dengan permintaan. Di media sosial opini dinilai berdasarkan kuantitas bukan dari kualitas. Pada masa kampanye pilpres tahun lalu hal tersebut terbukti dengan gencarnya ‘perang opini’ di media sosial yang memang diniatkan untuk memprovokasi netizen mendukung atau menolak capres tertentu. Pada kenyataannya ‘perang opini’ tersebut hanya memperkeruh situasi dan para ‘pembuat opini profesional’ tersebut juga tidak bisa dikenali jejak ideologisnya dalam kehidupan nyata karena mereka bisa berbalik arah bila pesanan yang datang mengharuskannya begitu.
Tetapi dalam program Kompasiana TV, Kompas TV mendahului semua televisi dan menyejajarkan pemirsa dengan narasumber lewat tampilan google hang out dimana pemirsa bisa muncul di televisi dan berbicara langsung kepada narasumber, moderator dan tentunya pemirsa lainnya. Ini keputusan yang berani yang sudah diambil Kompas TV, dikarenakan adanya peluang akan opini yang berseberangan dengan kebijakan redaksi atau bahkan menabrak etika sosial. Apalagi setiap pemirsa punya kesempatan yang sama untuk tampil dan bersuara di depan televisi. Hal tersebut rupanya sudah diantisipasi pihak Kompasiana TV dengan mewajibkan adanya registrasi dahulu dari publik lalu dari situ bisa dibaca profil orang tersebut apalagi kompasioner, sebutan bagi para anggota kompasiana, memang sudah terverifikasi secara otentik jati dirinya melalui pengunggahan KTP atau kartu identitas lainnya.
Bicara soal verifikasi kompasioner memang prosesnya sudah diawali ketika laman kompasiana meningkatkan mutu tampilannya menjadi versi beta namun proses ini juga tidaklah mulus karena saya menjadi ‘korban’ dari peningkatan mutu ini. Kata sandi yang saya sudah setia menjadi pintu masuk saya ditolak sistem dan ketika mengajukan pemulihan kata sandi pun tidak membuahkan hasil positif. Berminggu-minggu saya tidak berhasil masuk akun saya di kompasiana. Acapkali ide tulisan untuk kompasiana pun luntur perlahan karena kesulitan akses yang saya alami. Apalagi keluhan saya lewat akun twitter @kompasiana dan @kompascom juga tidak sekalipun ditanggapi admin. Proses integrasi kompas.com dan kompasiana.com tidak berjalan mulus pada akun saya. Setelah mencoba nyaris sebulan lamanya pada akhirnya saya bisa juga melewati halang rintang imbas dari versi beta ini. Dan alinea ini menjadi semacam penawar atas segala gundah yang tidak ditanggapi oleh admin.
Kembali kepada Kompasiana TV, entah mengapa baru Kompas TV yang berani mengakomodasi pemirsa untuk tampil apa adanya di layar televisi. Tetapi saya meyakini di masa mendatang semua program talkshow di televisi akan mengikuti jejak Kompasiana TV. Hal ini didasari pada kemudahan yang sudah diberikan teknologi dalam komunikasi. Skype menjadi awalnya, seperti yang sudah ditunjukkan oleh terpidana korupsi Nazarudin ketika melakukan teleconference via skype dalam pelariannya beberapa tahun lalu.
Kompasiana TV mengadopsi teknologi google hang out dimana interaksi audio-visual bisa dilakukan dengan mudah. Mungkin kendala bagi publik adalah mahalnya biaya internet yang dibayarkan ke penyedia jasa internet, berbahagialah kompasioner yang tinggal di area penyediaan jaringan wi-fi gratis atau yang memakai jaringan komputer milik kantor karena mereka tidak terkendala biaya. Tetapi seperti teknologi yang sudah-sudah maka kemungkinan harga yang harus dibayarkan akan turun di masa mendatang. Entah ini prediksi atau harapan, biarlah penyedia jasa telekomunikasi yang akan menjawabnya nanti.
Selain soal infrastruktur, masalah yang berpeluang muncul adalah kultur. Harus diakui revolusi komunikasi begitu pesatnya hingga masyarakat kita yang terbiasa lisan tiba-tiba dihadapkan dengan budaya tulisan yang instan dan benturan ini tidak dibentengi persiapan yang cukup dari kedewasaan publik dalam menyikapi perbedaan pendapat. Publik yang terbiasa membicarakan rumor kini menjadi diam seraya menyebar gosip lewat pranala dan komentar di media sosial. Dunia pendidikan kita mungkin sudah mengantisipasi perubahan kultur tersebut melaui kurikulum berbasis teknologi informasi tetapi mereka tidak bisa menjangkau masyarakat usia dewasa yang justru paling tidak siap dengan revolusi komunikasi ini tetapi mendominasi opini di media sosial.
[caption caption="Cindy Sistyarani"][/caption]
Hal tersebut juga nyata terlihat di Kompasiana TV. Dimoderatori Cindy Sistyarani, entah bagaimana mata saya suka sekali menatapnya, opini para kompasioner pun terkadang tidak disampaikan dengan baik akibatnya terasa tidak kontekstual dengan topik atau ada pula yang malah menjadi moderator kedua yang menyebabkan durasi terbuang percuma. Hal ini juga belakangan dimanifestasikan dengan baik oleh Sys Ns. Mantan komedian dari grup Sersan Prambors ini sering menjadi tamu Kompasiana TV dengan tugas yang tidak jelas. Ketidakjelasan ini dipertegas dengan sikap Sys yang kerap menyerobot fungsi moderasi dari Cindy atau menanyakan kembali hal-hal yang sudah dipertanyakan kompasioner. Di mata saya Sys adalah perwujudan dari kegagapan masyarakat usia dewasa dalam kultur yang sudah berubah. Tetapi kenapa Sys dipertahankan? Ini adalah ranah produser Kompasiana TV, mungkin kehadiran Sys bisa melenturkan arah pembicaraan sebagaimana sudah dilakukan dengan lebih baik oleh Cindy atau bisa jadi rating Kompasiana TV melejit dengan kehadiran Sys dan itu perlu dibuktikan oleh produser kompasiana karena publik tidak memiliki data akan hal tersebut.