Mohon tunggu...
Boy Mihaballo
Boy Mihaballo Mohon Tunggu... Seniman -

penulis fiksi-non fiksi, komposer, sutradara, web desainer, videografer, dan yang terpenting seorang amatir yang mencintai aktivitasnya.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

35.000 Megawatt, So What?

22 September 2015   12:27 Diperbarui: 8 Februari 2016   19:58 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Energi adalah motor penggerak dari kemajuan suatu negara. Tak terkecuali dengan Indonesia. Kebutuhan energi yang tidak mampu dicukupi akan menyebabkan krisis energi. Dan krisis energi berakibat kepada turunnya PDB (Pendapatan Domestik Bruto) yang dengan kata lain bisa disebut negara dalam keadaan stagnan atau malah memburuk menjadi dekaden. Bila negara dalam keadaan stagnan maka tak ada pembangunan yang dilakukan dan itu berarti tak ada yang bisa dirasakan oleh rakyat atas keberadaan negara. Bila negara terus dibiarkan stagnan maka bisa berimbas kepada krisis kepercayaan yang berdampak terhadap stabilitas akibatnya kerusuhan dapat merebak dan kekuatan politik sekuat apapun akan tumbang.

Tapi itu belum seberapa, jika negara terjerembab dalam dekaden maka tidak hanya kehancuran yang terjadi tetapi juga eksistensi negara tersebut akan hilang. Bisa jadi anda mengira saya terlalu berlebihan dalam menggambarkan situasi akibat ketidak mampuan negara dalam mencukupi kebutuhan energi dalam negeri tetapi gambaran tersebut logis di kepala saya bila melihat keterkaitan antara PDB dengan energi seperti yang dikatakan Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional, pada sebuah artikel daring. Data yang tertulis di artikel tersebut bahwa konsumsi energi Indonesia berdasarkan produk domestik bruto (PDB) per kapita mencapai US$ 572 dan konsumsi listrik per kWh sebesar 2.251 per kapita. Jika rasio elektrifikasi sampai 90%-100% pada 2020-2025, konsumsi listrik nasional berpotensi mencapai 2.600 kWh per kapita.

Dan untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam mencukupi kebutuhan energi maka Presiden Jokowi mencanangkan program 35.000 megawatt selama 5 tahun masa kepemimpinannya. Diharapkan dengan rata-rata pertambahan 7.000 megawatt per tahun dapat meningkatkan rasio elektrifikasi hingga 97% dan dapat mendorong laju pertumbuhan yang hasilnya dapat dirasakan masyarakat sebagaimana dapat diukur dalam naiknya Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Listrik yang cukup adalah kunci bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Pertanyaan yang kerap muncul dari program 35.000 megawatt ini, apakah realistis? Jokowi mengatakan bahwa target 35.000 megawatt ini bukanlah target yang ringan tetapi harus dicapai dengan kerja keras. Membaca kemampuan pemerintahan sebelumya yang selama 10 tahun saja hanya mampu menambah 10.000 megawatt maka membuat program Jokowi seperti mimpi. Padahal, wakil presidennya juga masih orang yang sama.

Tentu kita belum lupa dengan polemik antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menko Kemaritiman dan sumber daya, Rizal Ramli, mengenai program 35.000 megawatt ini. Media massa dengan lahap menjadikan polemik ini muncul setiap hari hingga kemudian reda sendiri. Tetapi esensi dari polemik tersebut juga bermula dari pertanyaan seberapa realistiskah program 35.000 megawatt. Di beberapa media, Rizal Ramli menjelaskan kenapa ia menganggap program ini tidak realistis bila melihat situasi di lapangan dimana perusahaan-perusahaan pemegang kontrak pembangunan pembangkit listrik didominasi oleh perusahaan yang tidak memiliki modal kapital.

Bagaimana mungkin mereka sanggup membangun bila tidak memiliki modal? Rizal Ramli berharap PLN segera membatalkan kontrak dengan perusahaan-perusahaan yang tidak segera melaksanakan proyek dalam jangka waktu dekat. Kritik Rizal terasa konstruktif, karena ia juga menyediakan solusi yang bila dilaksanakan PLN akan memperccepat realisasi program pemerintah. Masalahnya, mungkin, soal koordinasi antara Menko Kemaritiman dan Sumber daya dengan Kementrian ESDM agar seirama dalam menyikapi problem realisasi program.

Pada sisi lain, PLN sebagai perusahaan negara yang menjadi ujung tombak penyedia listrik di Indonesia juga mengalami inefisiensi. Hal ini juga dilansir Rizal Ramli dalam membaca situasi. Sebelum diangkat oleh Jokowi untuk masuk dalam Kabinet Kerja, Rizal, dalam program AIMAN Kompas TV, juga menceritakan pernah dimintai saran untuk mengatasi inefisiensi PLN yang kerap membebankan masalah tersebut kepada publik dalam bentuk kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik). Solusi yang diberikannya adalah inventarisasi aset PLN dan kemudian menjual aset-aset yang tidak diperlukan PLN untuk kemudian hasilnya untuk membiayai kerugian yang dialami PLN. Ini saran yang jitu karena negara tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun untuk menanggung kerugian PLN. Ketidak efisienan PLN memang salah satu faktor penyebab minimnya rasio elektrifikasi di negeri yang berkisar 76%.

Seringkali PLN juga melakukan upaya paksa kepada masyarakat guna meraih laba. Program token listrik adalah contohnya. Token listrik adalah penyediaan listrik prabayar kepada publik. Semua pasang baru listrik untuk rumah tangga tidak memiliki pilihan selain listrik prabayar dengan daya minimal 900 watt. Namun program ini pun, sebagaimana dibuka pula oleh Rizal Ramli, merugikan masyarakat karena konsumen tidak mendapat daya listrik sesuai dengan yang dibayarkan. Sedangkan daya pasang baru yang minimal 900 watt juga membuat masyarakat miskin yang memasang listrik baru menjadi tidak berhak mendapat subsidi listrik yang hanya ada pada daya 450 watt. Sementara pada daya 900 watt juga sempat dihembuskan wacana oleh Dirjen Ketenagalistrikan ESDM untuk dihapus subsidinya karena indikasi banyaknya konsumen dengan daya 900 watt melakukan pemborosan energi. (Baca pula petisi soal subsidi lsitrik di change.org) Ada modus baru yang saya dapat dari seorang teman dimana banyak rumah tangga yang memasang baru dengan daya 900 watt hanya untuk perangkat air conditioner di rumahnya yang sudah terpasang listrik dengan daya 1300 watt. Tidak mungkin modus ini berjalan bila PLN memiliki prosedur yang melarang pemasangan listrik baru pada rumah yang sudah ada listrik kecuali dengan jalan menambah daya.

Bagi konsumen yang menggunakan modus ini mereka akan mampu mengurangi biaya yang dikeluarkan hanya untuk membayar rekening listrik. Saya memiliki kecurigaan modus ini di setujui PLN agar mereka kuat alasan bagi Dirjen Ketegalistrikan ESDM untuk menghapus subsidi listrik. Banyak publik pengguna modus di atas yang akan tertipu bila subsidi dihapus karena ternyata biaya listrik menjadi kian membengkak. Tidak hanya itu, modus pemasangan listrik baru di rumah yang sudah terpasang listrik akan menghambat rasio elektrifikasi karena listrik tersentralisasi di kota-kota besar di pulau Jawa sedangkan pedalaman di pulau-pulau lainnya gelap gulita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun