Mohon tunggu...
Boy Mihaballo
Boy Mihaballo Mohon Tunggu... Seniman -

penulis fiksi-non fiksi, komposer, sutradara, web desainer, videografer, dan yang terpenting seorang amatir yang mencintai aktivitasnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teater = Anomali

1 Mei 2012   19:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan mini untuk Afrizal Malna, Dewi Noviami dan Nandang Aradea. TRADISI Sebelum melebar kemana-mana maka perlu kutegaskan dari awal bahwa Tradisi yang kumaksud adalah  Teater Tradisi. Dan bicara teater tradisi maka akan banyak dijumpai aneka cara pengolahan dan bentuknya. Sebagaimana barat yang membagi seni tradisinya menjadi dua kelas; Seni yang dicipta serta dipertunjukkan bagi kalangan bangsawan dan seni yang dicipta dan dimainkan oleh rakyat kebanyakan. Begitupun yang terjadi di nusantara ini; Ada seni Keraton dan seni rakyat. Ku fokuskan tema hanya kepada seni teater rakyat karena dari situlah pembahasan soal tradisi ini berpangkal. Teater rakyat ada banyak jumlahnya di negara ini. Mereka hadir sebagai hasil dari berbagai pendekatan alam pikir tradisi terhadap situasi zamannya dan juga upaya pembaharuan dari luar. Teater rakyat adalah elemen vital bagi kultur lokal untuk mempertahankan eksistensi budaya suatu bangsa. Pengaruh teater rakyat bagi kultur lokal karena seni teater rakyat merekam tidak hanya alam fisik tetapi juga dunia rohani budaya setempat. Inilah yang menjadikan teater rakyat sebagai pilar budaya lokal. ANOMALI Bagaimana dengan posisi tradisi di masa kini? Dalam satu kata kutegaskan; Anomali. Ketidakjelasan arti dan fungsi tradisi pada tata kelola kehidupan di zaman sekarang menjadikannya terkadang hanya sebatas asesori tanpa kesatuan holistik dengan alam rohani era kini.  Bangsa sendiripun lebih suka menatap lewat mata kamera bila menyaksikan seni tradisi bak turis di negeri sendiri. Gejala kontemporer yang melipat ruang waktu dalam saku membuat segalanya terburai deras tanpa filter yang jelas. Situasi tersebut suka membuat mengantuk karena terbayang masa depan yang non-solutif. Inilah zaman pelangi budaya dimana segala yang dahulu tiarap kini menemukan jalan keluarnya untuk sebatas dikenal keberadaannya. Namun semua berebut ingin menjadi yang terdepan, nilai-nilai lokal berbaur dengan nilai-nilai luar bahkan yang personal. Akar tercerabut dari tanah dan daun-daun kelaparan. Inilah situasi anomali bagi tradisi.

13359020092030846445
13359020092030846445
WARNA Menemukan akar budaya menjadi begitu sulitnya ditengah kancah “perang” aneka kultur. Tetapi bukan berarti tidak bisa hanya tidak mudah untuk mencari jejak-jejak warisan, kalaupun berhasil menemukan maka persoalan baru timbul yaitu bagaimana membuatnya kembali relevan di masa kini. Menduplikasi bentuk semata hanya membuat teater tradisi seperti cinderamata bagi wisatawan, yang lebih penting untuk dilakukan adalah menemukan spirit teater tradisi itu sendiri. Ketiadaan batas antara pelakon dan penonton adalah substansi teater rakyat. Dengan begitu maka interaksi dimungkinkan terjadi diantara keduanya. Bila situasi tersebut dapat lancar berjalan maka bentuk menjadi tidak penting lagi. Teater non-logik a la absurd yang tumbuh di era modern pun dapat bersenyawa dengan tradisi dan terbukti banyak aktivis teater seperti Artaud, Grotowski dan lain sebagainya yang mengolah seni teater tradisi dalam cita rasa modernisme. Begitu pula absurditas ruang waktu a la dunia maya yang membuat segalanya mengawang dapat menjadi landasan bagi tata kelola kehidupan kontemporer. Kemajuan teknologi informasi adalah  dramaturgi bagi teater urban untuk eksis berkarya. WARNI Apakah ini dapat disebut neo-tradisi atau pasca-modernis menjadi tidak relevan lagi karena hitam putih budaya telah tergantikan prisma warna-warni kultur. Dan tradisi (bila mengacu kepada otentisitas seperti era modernisme) yang terlanjur menjadi anomali ini adalah landasan untuk mengolah teater rakyat kontemporer. Mungkin tak ada yang baru dalam tulisan ini namun semoga saja mampu menjadi stimulan bagi mengalirnya wacana-wacana teater masa kini yang masih terdera oleh oposisi-biner a la hitam-putih. 1 Mei 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun