Mohon tunggu...
Boy Mihaballo
Boy Mihaballo Mohon Tunggu... Seniman -

penulis fiksi-non fiksi, komposer, sutradara, web desainer, videografer, dan yang terpenting seorang amatir yang mencintai aktivitasnya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"Pengejar Angin," Sebuah Catatan

21 November 2011   16:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:22 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sabtu, 19 November 2011 saya hanya tidur kurang dari dua jam. Ini kusengaja karena mendapat undangan nonton bareng film “Pengejar Angin” yang dijadwalkan pada jam 9 pagi di XII Citos. Melihat ruang dan waktu yang harus ditempuh maka agar sampai tujuan tepat waktu aku harus mengurangi tidurku. Sebagai seorang yang jarang bertemu mentari pagi maka aksi mengurangi tidur termasuk mengejar peluang menyapa matahari di timur bumi. Dan akhirnya memang bersua pula, bahkan hingga berpeluh di sekujur tubuh. Tetapi itu sepadan dengan tidak terlambatnya kehadiranku di ruang yang sudah direncanakan. Riuh di selasar bioskop melempar tubuhku ke dalam dan mencari kursi yang setara dengan fokus mata. Lama kelamaan riuh diluar mulai mereda dan membanjiri kursi-kursi yang tersedia. Sepatah dua patah kata pembuka terlontar dari Wanda Hamidah dan Mathias Muchus, pemeran Ibu dan Bapak Dapunta, mewakili pemeran-pemeran lain juga sutradara, Hanung Bramantyo. Dan sesudahnya lampu meredup. Film mulai diputar. Layar dimulai dengan lanskap yang menawan. Hutan dengan pohon-pohon menjulang. Dan orang-orang bertopeng berlari dan memanjat diantaranya. Mereka adalah kawanan perampok yang akan membajak bis yang melewati jalur rawan itu. Sampai disini aku mencium tipikal wong kito yang konon keras dan banyak yang terjerumus kriminalitas. Tipikal bukan karakteristik. Hanya generalisasi yang kurang akurat. Kembali ke layar, adegan aksi dengan jurus-jurus silat yang menjadi tradisi kebanggaan Nusantara segera merebak. Kawanan begal ini dipimpin oleh Bapak dari Dapunta yang disimbolisasikan dengan jejak harimau dalam langkahnya. Tiba-tiba teringat Mochtar Lubis dengan frasanya “Harimau dalam diri” dalam novelnya. Entah kesengajaan atau sebagai inspirasi? Ben Sihombing sebagai penulis naskah yang mengetahui pasti jawabannya. Sebelum perampokan berjalan, ada adegan kecil yang kuat dimana Dapunta malah pamit pulang kepada bapaknya dan tidak mau ikut merampok. Posisi diametral ayah-anak sudah diboyong di awal cerita. Dan itulah yang menjadi bahasan pokok dari kisah ini. Dapunta (diperankan oleh Qausar Harta Yudana) adalah tokoh sentral dari film yang dibiayai oleh Pemprov Sumatra Selatan ini. Namanya diambil dari Raja pendiri Kerajaan Sriwijaya. Hal itu terucap dari bibir Bapak ketika dijenguk oleh Dapunta di sel Polisi. Dapunta memiliki mimpi bisa bersekolah hingga perguruan tinggi. Mimpi yang dianggap ilusi oleh Bapaknya namun didukung penuh oleh Ibunya. Konflik tidak hanya berkembang dalam ruang domestik tetapi menjalar dalam lingkup persahabatan di kelasnya.  Dibumbui pula dengan romantika remaja maka cocoklah bila film ini menjadi sajian bagi keluarga. Akhirnya memang bahagia walau harus ditebus dengan duka. Bapak Dapunta melarikan diri dari tahanan polisi, walau tertembak namun mayatnya tidak ditemukan. Ia melakukannya agar dapat melihat Dapunta saat berlaga di POR Pelajar se-Provinsi. Ibu Dapunta yang terbaring di rumah sakit, bahkan sempat nyaris meninggal dunia, terharu bahagia kala mendengar suara Dapunta yang memekik girang karena kemenangan. Dapunta pun bisa kuliah di Universitas Indonesia dari prestasi atletiknya. Dan ia kembali ke kampung halamannya sebagaimana pesan mendiang ayahnya yang kerap ia temui dalam wujud harimau. Sungguh, tema yang digarap adalah hal kecil yang selalu menarik: Mewujudkan mimpi. Sesuatu yang sering meredup kala manusia menemui batas kedewasaannya. Dan yang lebih dibutuhkan di zaman penuh kekecewaan seperti sekarang ini. Ditambah lagi dengan pesona alam yang luar biasa natural dan indahnya. Mendadak teringat ucapan seorang pembuat film yang saya lupa namanya. Katanya, bila naskah kurang berbobot maka lanskap harus lebih menarik. Tetapi dalam film ini kedua hal itu masih berjalan sejajar beriringan. Tadinya di awal film diputar aku mengira bahwa dengan suasana dingin ruangan dan kursi empuk akan membuatku tertidur dan tak sempat menonton cerita. Nyatanya sampai film berdurasi sekitar 100 menit ini usai, aku tak bisa tidur walau kantuk selalu membayangi. Hal lain yang perlu dicatat adalah kemauan dari Pemprov Sumatera Selatan untuk membiayai film ini. Andai saja 33 Provinsi yang ada di negeri ini melakukan hal yang serupa maka akan semaraklah film nasional dengan keindahan alam serta budayanya yang beragam. Atau mungkin tidak hanya film tetapi juga seni-seni lainnya baik itu tradisional atau kontemporer. Dan akhirnya saya merekomendasikan anda sekeluarga untuk menonton film Pengejar Angin ini selekasnya sebelum ditarik dari peredaran karena puluhan film hollywood sudah mengantre untuk berebut diputar di hadapan publik Nusantara. 20-11-2011 01:01 WiB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun