Mohon tunggu...
Boy Mihaballo
Boy Mihaballo Mohon Tunggu... Seniman -

penulis fiksi-non fiksi, komposer, sutradara, web desainer, videografer, dan yang terpenting seorang amatir yang mencintai aktivitasnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ibukota Butuh Ibu Kita

1 November 2011   17:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:11 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta adalah kota yang istimewa sejak ia bernama Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, Jaccatra hingga Jakarta seperti sekarang. Dari dulu keistimewaannya sudah diterawang baik oleh para penguasa lokal hingga korporasi global. Posisi geografisnya memang mencirikan cikal-bakal kota besar. Itulah kenapa banyak istana-istana dibangun oleh para penguasa siapapun orangnya. Namun sebagaimana layaknya sebuah kota besar maka muncul pula problematika besar khas kota besar. Kebutuhan akan ruang, mobilitas yang lancar, pertumbuhan pesat populasi, bencana alam dan lain sebagainya adalah beberapa tuntutan solusi akan masalah yang menjangkiti kota besar. Karena itu maka kepemimpinan menjadi hal yang vital untuk mengatur Jakarta. Kepemimpinan menjadi faktor krusial memiimalisir problematika. Sejak masih dipimpin oleh Walikota Soewirjo pada zaman revolusi '45 hingga meningkat status dipimpin gubernur pada 1960 segala macam gaya kepemimpinan telah dicoba agar Jakarta layak sebagai Ibukota. Tetapi pada dasarnya dari 16 gubernur yang sudah ada maka terstrukturlah gaya kepemimpinan menjadi: a la militer dan a la birokrat. Unsur militer mendominasi wajah kepemimpinan DKI Jakarta sedangkan birokrat terwakili dengan jelas pada gubernur sekarang.

Ada beberapa nama sipil tetapi itupun terjadi dimasa awal revolusi yang atmosfernya masih diwarnai gejolak. Karakter kepemimpinan militer jelas menjadi kebutuhan.

Sedangkan model birokrat baru sejak reformasi saja menguat. Kedua gaya tersebut ternyata tak memadai lagi di era transparansi informasi sekarang ini. Masa kini dan juga nanti ditandai dengan bebasnya publik mengomentari bahkan mengkritik secara terbuka melalui media-media yang berserakan dimana-mana. Bila gubernurnya militer, kalau ia tersinggung bisa saja mengerahkan 'anak buah'nya untuk defensif, apapun caranya. Karena bagi militer tak ada diskusi, yang ada komando yang wajib ditaati. Bagaimana dengan birokrat? Belum lama kita saksikan demonstrasi aktivis perempuan yang tersinggung akan bebalnya pola pikir Gubernur Fauzi Bowo yang menilai gaun atau busana perempuan yang mengobarkan aksi perkosaan. Ia tidak menyadari era yang bergerak pesat dimana tak ada lagi rahasia seperti zaman represif dulu. Figur seperti apa yang dibutuhkan Ibu kota? Kita mesti buang kalangan militer juga birokrat. Lalu kita mesti menihilkan kandidat dari unsur hukum karena rakyat telah krisis kepercayaan kepada penegak hukum yang dinilai koruptif. Bagaimana dengan ulama? Sebaiknya para ulama kembali ke habitatnya agar kita tidak menuju 'peradaban comberan' seperti yang dituturkan almarhum Rendra dalam orasi budayanya beberapa tahun silam. Lalu, figur ekonom? ini pun juga tak cocok karena ekonomi hanya satu anasir saja dari keseluruhan kebudayaan. Ekonom terlalu spesialis dan tidak tepat untuk permasalahan yang kompleks. Bila semua tidak tepat, figur seperti apa lagi yang dicari?

Dari semua nama yang bermunculan belakangan ini, mereka semua didominasi oleh unsur-unsur yang layak dicoret sebagaimana yang tertulis pada paragraf di atas. Dan nama-nama lain yang tersisa didominasi oleh laki-laki. Pendekatan gaya laki-laki cenderung mendahulukan nalar yang seringkali malah mengabaikan kedekatan emosional dengan subyek (dalam hal ini: rakyat). Akumulasi pengabaian terhadap sisi emosional (psikologis) rakyat akan menimbulkan ketidak-adilan. Karena pemimpin bersandar pada peraturan-peraturan yang sering kali tidak ramah pada perempuan, anak dan rakyat miskin. Inilah yang membelenggu Indonesia selama reformasi bergulir. Demokrasi Prosedural Logika. Jakarta sebagai Ibukota Negara harus menjadi teladan bagi provinsi lain bahwa peraturan dibuat demi rakyat dengan prinsip keadilan yang dijunjung tinggi. Karenanya Ibukota memerlukan figur Ibu yang menyayangi rakyatnya dan menjaganya dari kesewenang-wenangan hukum atau peraturan yang jauh dari rasa keadilan. Tidak semua masalah bisa teratasi memang, karena ada beberapa hal yang butuh koordinasi denga Pemerintah Pusat atau Pemerintahan Provinsi lainnya. Tetapi untuk Jakarta yang lebih baik, Ibukota butuh Ibu Kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun