Isyu yang Panas
Suhu politik di Indonesia meningkat tajam menjelang digelarnya kegiatan pemilihan presiden pada tanggal 9 Juli 2014. Setelah publik sempat merasakan kesenyapan paska dilakukannya pemilihan umum tanggal 9 April 2014, maka dinamika persaingan antar tim pendukung capres kembali menyengat, meningkatkan tensi dan adrenalin sebagian masyarakat Indonesia terutama pada tingkat kelas menengah terdidik melalui berbagai jaringan media sosial Facebook dan Twitter, serta saluran komunikasi sekelas Blackberry Mesenger hingga penyebar luasan informasi (Broadcast Message) melalui SMS, Whatssap, line, dan lain lain.
Melihat fenomena menyebarnya dengan cepat informasi yang nilai kebenaranya belum dapat dipertanggung jawabkan, maka penulis ingat dengan sebuah kalimat bahasa asing yang berbunyi ” Rumors are carried by haters, spread by fools, and accepted by idiots”, yang dapat diterjemahkan dengan bebas menjadi ”Rumor atau gosip atau isyu yang dibawa oleh para pembenci, lalu disebarkan oleh orang-orang bodoh, dan diterima oleh para orang yang idiot”....ups.....kasar sekali terjemahan bebas tersebut.
Namun demikian itulah fakta yang terjadi saat sekarang ini. Biasanya yang mengarang isyu tidak benar adalah lawan politik atau pihak pembenci sang capres, lalu dengan, maaf, ’bodohnya’ kita, tanpa merasa perlu bertabayun atau melakukan konfirmasi atau melakukan kegiatan check & rechek (cieeeee.....kayak judul infotainment) langsung meng’copy paste’ dan menyebarkannya melalui jaringan media komunikasi yang kita miliki, dan akan dianggap sebagai suatu informasi yang memiliki nilai kebenaran mutlak oleh sebagian besar penikmat media sosial tanpa reserve. Sehingga akhirnya bagaikan sekumpulan orang idiot yang saling meributkan suatu ’pepesan kosong’, sebagai istilah bagi sesuatu yang tidak berguna dan tidak memiliki makna.
Panasnya suhu persaingan antar pendukung capres tersebut, ditambahi dengan bahan bakar dari pemelintiran (noise/distorsi) media massa baik media cetak maupun media elektronik yang hari ini semua dari mereka memiliki versi digital online-nya. Sebut saja ucapan seorang yang menyandang sebutan tokoh reformasi manakala mengatakan bahwa kondisi pilpres ini seperti perang badar. Begitu hebatkah pertarungan pilpres kali ini??? Atau hanya kepintaran media memancing pendapat sang tokoh tersebut, sehingga sang tokoh secara genit menyampaikan pernyataan kontroversial dengan maksud menambah nilai jual diri dan kelompoknya, sehingga seolah menambah daya bakar isyu untuk memanaskan suasana pilpres kali ini. Dan masih banyak contoh yang bisa pembaca saksikan secara terbuka di media masa maupun media sosial.
Terlepas dari apakah hal diatas merupakan hasil ‘design’ atau ‘setingan’ pihak tertentu, namun yang pasti kedua pasangan capres tersebut merasa mengemban amanah dari para pendukungnya. Sehingga penulis teringat bagaimana akibat kedua belah pihak merasa mendapat amanah akhirnya terjadi pertarungan antara dora dan sembada, dua orang tokoh yang merupakan punggawa setia dari prabu Ajisaka.
Kisah Ajisaka
Bagi penikmat sejarah, kisah Ajisaka tentu sangat dikenal, karena kisah ini menyangkut asal muasal pencatatan sejarah peradaban jawa sehingga berbagai peristiwa besar di tanah Jawa dapat diwartakan secara turun-temurun. Dan hingga hari ini banyak sekali cerita rakyat, legenda, dan mungkin sejarah yang diterjemahkan dari huruf hanacaraka yang diciptakan oleh Ajisaka.
Namun demikian dibalik kisa penciptaan huruf hanacaraka, sesungguhnya tersimpan kisah sedih dan contoh tentang kesetiaan serta pengabdian seseorang kepada tuannya. Prabu Ajisaka menciptakan hanacaraka untuk mengabadikan dua orang punggawanya yang setia yaitu Dora dan Sembada.
Alkisah, Prabu Ajisaka yang tinggal di pulau Majethi hendak berkelana dalam kurun waktu yang lama. Sang Prabu menitipkan sebuah pusaka kepada Sembada, sementara Dora pergi menemani Sang Prabu. Sebelum meninggalkan pulau Majethi, Prabu Ajisaka berpesan kepada Sembada untuk tidak memberikan pusaka yang Ia titipkan kepada siapapun selain dirinya.
Singkat cerita, setelah sekian lama berkelana dan menjadi raja di Medhangkamulan, Sang Prabu memerintahkan Dora untuk mengambil pusaka yang dititipkan kepada Sembada. Namun ketika Dora meminta pusaka Sang Prabu, Sembada tidak menyerahkannya karena ia sangat patuh menjaga amanat dari sang Prabu. Karena kedua punggawa tersebut memiliki kesaktian dan kesetiaan yang sama untuk menjalankan titah sang Prabu, maka terjadilah perkelahian memperebutkan pusaka tersbut, hingga akhirnya kedua punggawa tersebut menemui ajal karena mempertahankan kepatuhan kepada Prabu Ajisaka.
historia se repete
Ditengah-tengah hiruk pikuk pemberitaan tentang pilpres yang mewarnai hampir seluruh media massa baik di tingkat lokal maupun nasional. Penulis teringat sebuah pameo yang berbunyi ‘sejarah akan berulang kembali’ (historia se repete), yang dapat diartikan, sesungguhnya rangkaian kejadian sejarah di permukaan bumi ini akan selalu terulang dalam bentuk yang mirip namun dengan aktor/pelaku yang berbeda. Kekhawatiran penulis muncul manakala membaca berbagai pemberitaan mengenai berbondong-bondongnya mantan Jendral untuk mendukung para capres/cawapres yang kebetulan dari kedua pasang calon tersebut masing-masing memiliki barisan pendukung para pensiunan Jendral, malah salah seorang capres-nya mantan Jendral.
Dan masing masing pasangan Capres beserta tim pendukungnya tersebut ‘merasa’ mendapat amanah dari rakyat (konstituen) untuk tampil memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keadan ini tidak berbeda dengan kisah Ajisaka, dimana Dora dan Sembada sama-sama merasa mendapat mandat untuk menjaga Pusaka Sang Prabu, sehingga mereka bertarung dengan mengeluarkan seluruh upaya dan kemampuan terbaik yang dimilikinya.
Permasalahan yang perlu dicermati adalah, sikap dasar Tentara yang memang selama dalam masa pendidikan dan penugasan bekerja dengan prinsip hierarki komando dan memiliki karakter Kekompakan, persatuan dan jiwa korsa. Ada yang manfsirkan KORSA adalah singkatan dari Komando Satu Rasa. Ada juga yang mengartikan korsa adalah kelompok manusia yang senasib, seperjuangan dan setujuan serta berkeinginan untuk selalu bersatu dan berada dalam satu kesatuan yang solid berlandaskan semangat persaudaraan dan kekeluargaan. Di lapangan, sering juga disebut dengan "jiwa korsa", yang bisa diartikan bagaimana harus bersikap loyalis, kebanggaan dan antusiasme yang tertanam pada anggota korps termasuk pimpinannya terhadap organisasinya.
Dengan prinsip dan karakter tersebut, meskipun menyandang status Purnawirawan, tetap saja akan terjaga ikatan emosional selama berada dalam kesatuan, tugas operasi dan tugas kedinasan lainnya. Hal inilah mungkin yang menyebabkan mengapa Penglima Besar Jenderal Sudirman sering mengucapkan ”Tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik, politik tentara adalah politik negara”.
Dan Pak Dirman menyadari betul bahwa modal utama keberhasilan tentara dalam melaksanakan tugas adalah rasa kesetiaan dalam kebersamaan. Bahkan dalam sejarah, Pak Dirman merasakan betul bagaimana kepatuhan Letnan Haru Keser yang harus menjalankan perintah Kapten Soepardjo Rustam sekalipun berhadapan dengan maut, menggunakan iket wulung dan mantel yang selalu dipakai Panglima untuk menyamar sebagai Pak Dirman, manakala ada informasi intelejen mengenai rencana Belanda untuk membunuh Pak Dirman di Desa Karangnongko, Kediri.
Gerbong yang terbawa.
Ketika beberapa tahun lalu, ada politisi yang mengusulkan pentingnya TNI memiliki hak pilih, maka timbul berbagai polemik yang sebetulnya hal tersebut sudah jelas dan tidak perlu dipermasalahkan bila kita berpikir dalam kerangkan kesatuan dan persatuan bangsa. Seharusnya politisi yang mewacanakan hak pilih TNI menyadari bahwa TNI adalah institusi bersenjata yang memiliki kekuatan pemaksa dan bergerak dengan hierarki komando, yang berarti bila komandan memerintahkan ’A’ maka bawahan wajib melaksanakan ’A’ tersebut. Dan dapat dibayangkan bila Komandan salah satu kesatuan menjadi kosntituen parpol A, dan komandan lainnya menjadi pendukung parpol B, maka gerbong yang berada dibawahnya akan tunduk dan patuh melaksanakan perintah tersebut. Apa yang akan terjadi??, kalau perbedaan pilihan yang terjadi pada masyarakat sipil dan terjadi persinggungan di lapangan, paling fatal yang terjadi adalah saling lempar batu atau botol minuman, namun bila terjadi persinggungan atar kesatuan karena perbedaan menjalankan perinta memilih partai A atau B, dan mereka masing-masing memegang senjata??..wuzzz....menakutkan tentunya.
Demikian halnya kekhawartiran pada pilpres kali ini, sekalipun para puraniwaran Jenderal yang terlibat aksi dukung-mendukung, namun ditakutkan para purnawirawan tersebut menarik gerbong junior-nya baik yang telah non-aktif maupun yang masih aktif. Menurut media masa hal ini disinyalir dan dinyatakan oleh Presiden SBY sendiri dalam sambutannya saat memberikan arahan pada perwira TNI/Polri di Gedung Kementerian Pertahanan, Jakarta, pada hari Senin tanggal 2 Juni 2014. Dan SBY menyatakan bahwa ada "Informasi yang telah dikonfirmasikan, ada pihak-pihak yang menarik-narik sejumlah perwira tinggi untuk berpihak pada yang didukungnya", bahkan lebih seru lagi, SBY menyatakan dalam pidatonya sebagai berikut: "Bahkan ditambahkan, tidak perlu mendengar presiden kalian, kan itu kapal karam yang udah mau tenggelam, berhenti, lebih baik cari kapal baru yang tengah berlayar dan matahari bersinar,". ( http://www.merdeka.com/peristiwa/sby-marah-ada-jenderal-tni-tak-netral-ini-tanggapan-ksad.html)
Padahal sikap netral sangat dibutuhkan agar tidak membuat keadaan Indonesia menjadi lebih buruk akibat pertarungan habis-habisan ala dora-sembada dalam mempertahankan ’amanah’ dari rakyat sebagai konstituen, karena masyarakat Indonesia hanya berharap, siapapun yang memimpin bangsa ini, maka harus memberikan hasil yang terbaik bagi kemajuan rakyat, negara, dan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H