Menjelang tibanya bulan ramadhan yang bersamaan dengan keramaian hiruk pikuk menjelang pelaksanaan kegiatan pesta demokrasi untuk memilih pempimpin nasional Indonesia, nampak sangat jelas fenomena yang paradoks dijagat dunia maya dan media komunikasi informasi yang berada di sekitar kita. Disebut sebuah paradoks, karena di satu sisi bulan ramadhan adalah sebuah bulan mulia dimana setiap ummat Muslim yang ber-iman diharuskan menjaga hawa nafsunya dari perbuatan yang tercela seperti berbohong dan melakukan fitnah atau ghibah, namun di sisi lain justru pada bulan sya’ban ini yang seharusnya dijadikan sebagai bulan untuk mempersiapkan diri memasukki bulan suci malah bertaburan perang fitnah dan ghibah yang nyata dari sebagian masyarakat yang tersegmentasi dalam dua kelompok pendukung para calon presiden. Sementara itu, ada juga kelompok lain yang mengambil sikap seolah tidak perduli dengan kedua belah kubu dan meng-anggap tidak perlu ambil bagian dalam proses suksesi kepemimpinan nasional tersebut.
Melihat fenomena tersebut, penulis teringat sebuah kisah yang menurut riwayat terjadi pada zaman kahidupan Nabi Musa AS. Syahdan di masa tersebut hiduplah seorang ahli ibadah yang dikenal sangat tekun dan rajin melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Saking tekunnya sang ‘abid tersebut hingga seolah melupakan urusan sosial kemasyarakatan sekitarnya. Karena merasa rajin ibadah, sang abid meminta tolong kepada Nabi Musa AS untuk menanyakan kepada Allah SWT tentang kedudukan sang abid kelak di surga. Dan manakala Nabi Musa memiliki kesempatan untuk bertanya, maka diperoleh jawaban yang mengagetkan bahwa sang abid kelak tidak akan tinggal di surga, melainkan akan berada di neraka !. Mendapati kabar dari Nabi Musa AS tentang pertanyaannya, sang abid langsung tersungkur bersujud dan memohon kepada Allah SWT, bila dirinya memang ditempatkan di neraka, maka dia memohon agar dirinya diperbesar menjadi sebesar neraka jahanam supaya tidak ada orang lain yang dapat masuk ke neraka selain dirinya. Mendengar doa permohonan tersebut, Allah SWT langsung menyampaikan kepada Nabi Musa AS bahwa sang abid tidak jadi berada di neraka melainkan akan berada di surga.
Pesan moral yang dapat ditangkap dari kisah tersebut, bahwa manusia diciptakan bukan untuk egoistis, apapun alasannya, termasuk alasan spiritual. Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah dan untuk saling membantu sesamanya. Dalam pandangan Allah SWT, sang ‘Abid pada awal kisah diatas ternyata bukan mendekatkan dirinya kepada Allah SWT, melainkan Ia melarikan diri dari realitas kehidupan yang nyata. Hingga akhirnya keinginan sang ’abid agar jangan ada orang lain yang masuk neraka-lah yang akhirnya mengantarkan sang ’abid untuk ditempatkan di surga. Dengan kata lain, keinginan untuk berbuat bagi orang lain-lah yang menyelamatkan nasib sang ’abid.
Kesalehan Sosial
Dalam kurun waktu beberapa puluh tahun terakhir ini, istilah kesalehan sosial sangat sering digaungkan ditengah tengah masyarakat yang plural saat ini. Menurut penulis, kisah sang ’abid diatas menjelaskan bagaimana pentingnya kesalehan sosial disamping kesalehan individu yang menjadi syarat utama terwujudnya kesalehan sosial tersebut. Karena tanpa adanya kesalehan individu sebagai wujud pengakuan sebagai hamba kepada Sang Maha Pencipta Allah SWT, maka kesalehan sosial akan sulit terwujud sebagai sebuah amal ibadah kepada Allah SWT.
Berdasarkan pengertian leksikal, kata saleh merujuk kepada pengertian taat dan bersunggguh sungguh dalam menjalankan ibadah. Artinya kosa kate saleh selalu terkait dengan perihal hubungan dengan Allah SWT. Dalam pengertian umum, saleh dapat diartikan perbuatan baik atau amal saleh.
Kesalehan individu dapat diartikan dengan hubungan seseorang secara pribadi kepada Allah SWT sehingga dampak dan pahalanya hanya untuk dirinya sendiri, atau manfaat ibadahnya tidak dapat secara lengsung dirasakan oleh orang banyak. Sementara kesalehan sosial bisa dimaknai sebagai hubungan seseorang dengan sesama manusia, yang dilakukan dengan mengharap keridhoan Allah SWT. Kesalehan ini lebih mengutamakan kepentingan orang lain, dan secara tidak langsung dalam konteks ibadah, akan berdampak positif bagi dirinya sendiri. Kesalehan sosial sangat diperlukan karena akan mencerminkan praktik kesempurnaan kesalehan individu melalui pelaksanaan hubungan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Sementara Dosa, bila mengartikan dari berbagai literatur secara umum maka akan di dapat bahwa kata dosa berasal dari bahasa sanskerta yang bermakna setiap tindakan yang bertentangan atau melanggar norma atau aturan yang telah ditetapkan Tuhan atau wahyu Ilahi. Sedangkan bila merujuk dalam terminologi Islam, salah satu pemahaman dosa berdasarkan salah satu hadis adalah segala sesuatu yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan merekamembenarkannya.”(HR. Ahmad dan Darimi).
Bila kata saleh bisa juga dikembangkan menjadi kesalehan sosial, maka demikian juga dengan dosa, dikenal pula terminologi dosa sosial. Serupa dengan kasalehan sosial yang memiliki cakupan perbuatan yang berdampak kepada banyak orang, maka demikian pula dengan dosa sosial yang bisa berdampak negatif bukan hanya kepada sang pelaku saja, akan tetapi berdampak buruk juga kepada banyak orang.
Dosa Sosial
Istilah dosa sosial yang populer dan dikenal luas adalah 7 poin dosa sosial yang disampaikan oleh Mahatma Gandhi. Tujuh dosa sosial menurut beliau adalah : Kekayaan tanpa kerja, Kenikmatan tanpa nurani, Ilmu tanpa kemanusiaan, Pengetahuan tanpa karakter, Politik tanpa prinsip, Bisnis tanpa moralitas, Agama tanpa pengorbanan.
Kekayaan tanpa kerja. Bila ada pameo asing yang berbunyi ’high pain – high gain’ guna menggambarkan bahwa semakin tinggi kesulitan yang diterima maka semakin tinggi hasil yang dicapai, maka pada era saat ini banyak sekali orang yang menginginkan hasil maksimal namun dengan upaya atau kerja yang sangat sedikit. Menurut Mahatma Gandhi, perilaku tersebut dapat dianggap sebagai dosa sosial, karena sudah merupakan hukum alam bahwa semua manusia harus bekerja keras untuk memperoleh hasil yang maksimal. Sekalipun yang bekerja keras belum tentu fisiknya, namun paling tidak fikirannya harus berupaya keras didaya gunakan untuk meraih hasil yang baik, dan ini yang dinamakan bekerja cerdas. Dan dalam era pemasaran modern saat ini, cukup banyak sistem yang membuat seolah seseorang itu cukup ongkang ongkang kaki untuk mendapatkan hasil maksimal dengan memanfaatkan sistem kerja jaringan yang sebetulnya ada unsur ’penindasan’ terhadap jaringan yang berada dibawahnya. Atau dalam istilah umum dikenal dengan skema ponzi.
Kenikmatan tanpa nurani. Bila kita melihat perkembangan zaman, maka disekitar kita mulai nampak banyak orang yang mengejar kenikmatan hidup dengan mengabaikan suara hati nurani, baik hati nurani dirinya maupun hati nurani orang lain. Sebut saja maraknya aktifitas perselingkuhan yang bagi sebagian orang dikatakan dapat memberikan kenikmatan sekalipun sebetulnya merupakan pengingkaran terhadap nurani yang menghendaki kemurnian cinta terhadap pasangannya. Atau kasus yang marak akhir akhir ini yang dikenal dengan Aksi Kekerasan Seksual pada Anak, dimana melanda seseorang yang memiliki kelainan untuk memuaskan nafsunya tanpa mendengarkan nurani.
Ilmu tanpa kemanusiaan. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibarengi dengan kemajuan teknologi informasi, dengan mudahnya ilmu didapatkan oleh siapapun yang membuka hati dan pikirannya untuk mempelajari sesuatu yang seharusnya bertujuan untuk memahami, memprediksi, dan mengatur berbagai aspek kejadian di dunia dalam kaitannya guna kehidupan manusia yang lebih baik. Hanya saja, sebagaimana kita ketahui bersama, tidak sedikit ilmu yang diperoleh justru digunakan untuk menghancurkan harkat dan martabat kemanusiaan itu sendiri.
Pengetahuan tanpa karakter. Bila ilmu harus teruji kebenaranya, objektif, sistematis dan logis atau masuk akal. sedangkan pengetahuan itu hanya sekadar perkiraan dan tidak harus teruji kebenarannya. Pengetahuan tanpa karakater merupakan aktifitas menerima informasi tanpa berusaha untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam atas kebenaran informasi tersebut. Sehingga seseorang yang memiliki sifat ini dapat digambarkan sebagai seorang anak kecil yang sedang mengendarai mobil formula 1, sehingga dia akan memacu secepat mungkin tanpa mengindahkan kaidah kaidah prosedur dan aturan serta cara mengemudikan dengan baik. Fenomena seperti ini sangat terasa di era informasi cepat masa kini, dimana seseorang dengan gampangnya mendapat informasi dan menyebarkan serta meng-aplikasikannya tanpa melakukan pengamatan lebih dalam apakah pengetahuan tersebut bermanfaat positif bagi dirinya atau orang lain. Dalam konteks ini, papatah orang Baduy bahwa orang yang memiliki pengetahuan lebih (orang pintar) biasanya akan minteri (membohongi) merupakan pemahaman yang tepat dari kalimat pengetahuan tanpa karakter tersebut.
Politik tanpa prinsip. Bila masa awal awal kemerdekaan Indonesia, banyak tokoh mengambil karir sebagai politisi untuk memperjuangakn hal hal bersifat ideologis, maka hal ini merupakan suatu keharusan dalam berpolitik. Artinya politik itu harus memiliki prinsip ideologis yang menjadi tujuan dan pembelaan utama dalam menjalankan aktifitasnya. Hal yang sangat berbeda dirasakan saat ini, terutama setelah berkembangnya pameo ”tak ada kawan dan lawan abadi dalam berpolitik, hanya ada kepentingan yang abadi”. Pada masa sekarang, politik seakan tidak lagi memiliki prinsip yang harus dipegang dan diperjuangkan. Saat ini politik hanya sebagai alat mencari kekuasaan belaka, dengan menghalalkan berbagai cara, termasuk meninggalkan prinsip.
Bisnis tanpa moralitas. Moral adalah suatu aturan atau tata cara hidup yang bersifat normatif (mengatur/mengikat). Dalam konteks ke-Indonesia-an aturan normatif dalam kehidupan perekonomian atau bisnis telah tercantum dalam ayat 1 pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”. Dalam norma tersebut, perekonomian atau bisnis harus dilakukan sebagai usaha bersama, dalam arti siapapun boleh menjalankan kegiatan bisnis sepanjang tidak merugikan atau mematikan kegiatan usaha orang lain (maksud dari sebagai usaha bersama). Kondisi ’win-win position’ atau sama sama menguntungkan merupakan semangat dari norma atau moral bisnis di Indonesia, sebab bila bisnis dilakukan tanpa moral, maka hanya akan melahirkan monopoli yang menguntungkan satu pihak saja dengan menimbulkan kerugian atau mematikan kesempatan berusaha bagi pihak lain.
Agama tanpa pengorbanan. Tujuan penciptaan manusia oleh Sang Maha Pencipta Allah SWT adalah agar manusia dapat mengabdi (ber-ibadah) kepada-NYA. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Allah SWT menurunkan seperangkat tata aturan hidup dan kehidupan yang dinamakan agama melalui utusan atau Rasul-Nya. Pelaksanaan ajaran agama tersebut seharusnya merupakan bentuk pengabdian kepada Allah SWT melalui ke-suka rela-an mengorbankan hal hal yang seolah milik kita, seperti waktu, tenaga dan materi. Dalam konteks Islam, pelaksanaan rukun Islam merupakan kewajiban sekaligus ’pengorbanan’ kepada Allah SWT. Namun demikian tidak sedikit orang yang memeluk agama namun enggan untuk melakukan berbagai kewajiban yang mengikat, padahal agama merupakan pengendali sekaligus penge-rem atas sifat sifat buruk yang ada dalam diri manusia, bahkan ada pula manusia yang menjadikan agama justru sebagai alat untuk mencari kehidupan dan penghidupan. Masya Allah.
Dari tujuh dosa sosial menurut Gandhi diatas, memang dapat diraskan dampak buruk yang ditimbulkan bagi masyarakat bila ke-tujuh dosa tersebut dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Sehingga untuk merubah dosa sosial menurut Gandhi menjadi kesalehan sosial, maka cukup mengganti kata ’tanpa’ menjadi kata ’dengan’, sehingga kalimat tersebut akan menjadi : Kekayaan dengan kerja, Kenikmatan dengan nurani, Ilmu dengan kemanusiaan, Pengetahuan dengan karakter, Politik dengan prinsip, Bisnis dengan moralitas, danAgama dengan pengorbanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H