Akhirnya usai sudah hiruk pikuk dan keriuhan proses pemilihan presiden ke-7 Republik Indonesia pada tahun 2014, seiring dengan diketuknya palu oleh Ketua Makamah Konstitusi Hamdan Zoelva pada hari Kamis tanggal 21 Agustus 2014 pukul 20.44 wib. Suka tidak suka, mau tidak mau, rela dan tidak rela, terlepas berbagai informasi miring dan kekurangan yang ada, rakyat Indonesia memiliki presiden dan wakil presiden baru yaitu pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla.
Ditengah sorak sorai kegembiraan pendukung Presiden terpilih, tentunya secara jujur harus diakui ada sebagian pendukung capres pasangan nomor 1 yang merasa kecewa dan tidak puas terhadap hasil pemilihan presiden kali ini. Hal ini sangat wajar dan bersifat manusiawi, karena berbagai daya dan upaya serta tidak terhitung banyaknya sumberdaya yang dikeluarkan untuk mengikuti kontestasi pilpres. Ditambah dengan terbukanya harapan dan peluang beberapa pendukung capres untuk menduduki kursi kabinet dan mesin mesin pemerintahan lainnya. Namun demikian, tentunya rasa kecewa dan ketidak puasan yang ada jangan sampai berlarut hingga melakukan aktifitas yang kontra produktif dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena, walau bagaimanapun, siapapun presiden yang menjabat, negara kita adalah tetap NKRI dengan bendera merah putih dan kita tepat menjadi warganya.
Jika kita mencermati betapa ngototnya koalisi merah putih, yang memiliki jumlah suara di perlemen lebih dari 60% untuk mengkritisi proses pelaksanaan pilpres dan ‘serangan’nya terhadap capres yang menjadi saingannya, maka penulis melihat sebagai sebuah harapan baru bagi Indonesia. Karena selama ini, arah kebijakan pembangunan Indonesia selalu diatur atau ditentukan hanya oleh pemerintah dengan dukungan partai koalisi pendukung yang mendominasi dunia parlemen kita, sementara pihak yang bersebrangan secara politis (oposisi) memiliki jumlah yang jauh dari berimbang dalam pertarungan persetujuan terhadap kebijakan pemerintah.
Dan baru kali ini terjadi partai pendukung pemerintah memiliki jumlah yang lebih kecil ketimbang koalisi partai lawannya dalam pilpres, dimana mereka berniat menjadikan koalisi permanen sebagai opsan bagi pemerintah. Sehingga bila niat ini terlaksana dengan baik, maka tentunya masyarakat akan berharap setiap kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah akan menghadapi banyak suara kritis yang bersifat sebagai saringan, sebelum akhirnya wujud menjadi aplikasi pembangunan di tengah tengah masyarakat. Suara kritis yang dikeluarkan oleh koalisi oposan tentunya diharapkan memiliki tujuan agar kebijakan pemerintah tersebut lebih ber-orientasi terhadap kepentingan masyarakat Indonesia secara umum.
Menuju kondisi ideal tersebut tentunya tidak mudah, karena ketika pemerintahan berjalan, maka yang memegang kunci kunci sumberdaya adalah pemerintah dan partai pendukungnya, sehingga hal ini dikhawatirkan akan menyedot parta anggota koalisi oposan ke dalam lingkaran kekuasaan, dengan kata lain, partai partai yang tadinya menjadi oposan akan berubah haluan menjadi partai pendukung pemerintah. Kekhawatiran ini sangat ber-alasan, mengingat anggota dari partai tersebut adalah manusia biasa yang sangat rentan terhadap godaan materi maupun lainnya. Sehingga dengan mudah pemilik sumber daya memainkan berbagai ‘kartu truff’nya untuk menarik dukungan sebanyak mungkin terhadap kebijakan pemerintah. Bukankah sudah menjadi rahasia umum bila setiap pembahasan perundang-undangan ataupun kebijakan pemerintah yang membutuhkan stempel persetujuan dari DPR RI selalu melibatkan aliran dana dalam jumlah besar??
Intervensi pemerintah yang berkuasa terhadap partai oposan melalui kekuatan materi inilah yang kelak akan menjadi ancaman dari dinamika para wakil rakyat dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat Indonesia. Bila ini terjadi maka, harapan lain akan berada di pundak kepala pemerintahan itu sendiri yaitu pasangan Presiden Terpilih yang selama kampanye selalu menjual janji janji yang penuh harapan untuk masa depan bangsa.
Sebagai masyarakat, terutama kelompok masyarakat menengah terdidik, seharusnya mulai membuka mata dan telinga untuk menyimak janji janji yang pernah diberikan oleh JKW-JK, dan menyusunnya dalam tabel atau ‘check list’, untuk mulai diamati kemajuan atau pemenuhan janji janji tersebut. Dan bila dalam satu tahun sejak dilantiknya pasangan tersebut tidak ada perkembangan berjalannya pemenuhan terhadap janji tersebut, maka hampir dapat dipastikan visi yang ditawarkan hanyalah janji janji surga, dan itu artinya kita sedang mengulang jalannya pemerintahan sebagaimana yang lalu lalu, bagaikan seseorang dengan nafsu besar tenaga kurang, yang penting bisa melampiaskan nafsunya untuk berkuasa.
Jika skenario terburuk ini-pun masih terjadi, maka harapan satu satunya adalah kepada kelompok masyarakat strategis seperti aktifis, akademisi, LSM dan lainnya. Sebagaimana syair lagu yang dinyanyikan salah satu kelompok pendukung capres yang meng-isyaratkan bahwa bila capres yang didukungnya menjadi presiden maka mereka akan “Mundur menarik dukungan. Membentuk barisan parlemen jalanan. Mengawasi amanah kekuasaan”.
Sehingga semua pihak, baik politisi di parlemen, presiden selaku kepala pemerintahan, dan unsur masyarakat strategis, harus memiliki sikap komitmen dan konsisten guna memenuhi tugas dan fungsinya, dan bila ini terjadi maka akan terwujud sebuah kemenangan Indonesia bagi kebaikan dan kemaslahatan rakyat Indonesia seutuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H