Namun demikian, bila ada pelaku tercela yang dilakukan maka berdasarkan keyakinan penulis yang bersangkutan baru pada taraf menjalankan gerakan shalat, bukan menegakan perilaku shalat. Dan selalu menjaga shalat berjamaah merupakan salah satu bentuk menegakkan shalat dan bukan sekedar menjalankan shalat sebagai penggugur kewajiban seorang muslim. Sehingga dengan perilaku yang merasa selalu dalam pengawasan Sang Maha Melihat diharapkan dapan menekan tindakan tercela sekecil mungkin.
Dari diskusi yang dilakukan, mengemuka persoalan tentang proses pencitraan yang dilakukan seseorang yang terlihat rajin shalat berjamaah agar bisa terpilih sebagai pemimpin.
Untuk mengatasi pencitraan tersebut, maka sebaiknya ditanyakan kepada para jamaah dan Pengurus masjid atau orang yang sering menjadi imam di masjid yang berada di tempat terdekat dari sang bakal calon, bagaimana ‘track record’nya selama ini termasuk waktu lalu yang jauh dari hiruk pikuk pencalonan gubernur dalam menghadiri shalat berjamaah, minimal shalat subuh karena mungkin shalat lainnya dilakukan dalam waktu kerja. Dengan demikian bisa diperoleh informasi yang akurat tentang kedisplinan yang bersangkutan.
Lalu, bagaimana proses rekrutmen bakal calon yang memiliki kebisaan melakukan shalat berjamaah tersebut?
Paling tidak, ada dua arah yang bisa dilakukan, pertama partai politik ataupun yang memiliki kekuasaan untuk mengusung calon bisa menentukan beberapa nama yang memenuhi persyaratan, lalu dilakukan uji petik ke masjid dimana sang bakal calon tinggal untuk mendapatkan kesaksian dari para jamaah, pengurus DKM dan Imam Masjid. Dan hasil uji petik tersebut akan menjadi ‘scooring’ penilaian dengan bobot yang sangat tinggi.
Atau pihak parpol berupaya melakukan ‘hunting’ dengan mengirimkan pemberitahuan yang berisi sejumlah criteria kepada seluruh masjid yang jumlahnya ribuan agar mereka ikut memberikan rekomendasi nama jamaahnya yang selalu menghadiri shalat subuh atau isya dan memenuhi syarat yang di-berikan pihak parpol.
Memang cara kedua diatas nampaknya mustahil dilakukan karena melibatkan nama bakal calon dalam jumlah banyak. Namun demikian justru akan menunjukkan peran parpol untuk mencari calon pemimpin yang terbaik bagi masyarakatnya, bukn sebagai tempat melamar kerja bagi orang orang yang memiliki libido kekuasaan dan pencari harta melalui tahta yang diperebutkan, sebagaimana yang terjadi pada banyak kasus kepemimpinan kepala daerah di banyak daerah.
Hanya saja persoalannya, apakah pihak parpol mau melakukan gagasan yang persyaratannya sudah di-jamin dalam buku manual kehidupan yakni Al Qur’an dan Hadits yang seharusnya di-imani kebenarannya oleh ummat muslim?? Sementara budaya materialism dalam bentuk transaksional yang terjadi antara sang bakal calon dengan pihak parpol, termasuk lingkungannya begita massif sehingga seolah sudah menjadi budaya yang sulit dihilangkan?
Inilah saatnya orang orang yang ‘waras’ dan ingin membuat perbaikan bergerak untuk memulai sesuatu yang diharapkan bisa merubah budaya transaksional tersebut. Salah satu caranya adalah membuat panitia independen persiapan ‘calon gubernur dari masjid’ yang mulai berkumpul untuk mendiskusikan metode yang tepat, efektif, dan efisien guna menjaring hingga menyaring bakal calon yang merupakan usulan dari pihak pihak yang terkait dengan masjid, sejak dari jamaah, pengurus, imam, hingga organisasi keagamaan.
Maka bila ini dilakukan, sesungguhnya kita sedang meng-aplikasikan metode musyawarah yang dijadikan salah satu butir dasar Negara pancasila yakni butir 4 tentang hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Dalam arti musyawarah berjenjang dari tiap tiap jamaah masjid untuk mengirim perwakilan bakal calon yang kemudian akan diseleksi/disaring kembali oleh panitia diatasnya. Dan bila kelak muncul nama yang memenuhi berbagai persyaratan yang dibuat maka pihak pihak yang terlibat dalam musyawarah berjenjang tersebut bisa memulai mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk dan dukungannya untuk mengusung bakal calon dari jaur independen.
Sekali lagi, ide ini sekilas Nampak ‘nyeleneh’ namun bukan mustahil untuk dilakukan, sepanjang semua anggota masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya memiliki pemimpin yang jujur dan amanah guna membuat kondisi kehidupan dan penghidupan yang lebih baik. Terlebih khususnya untuk propinsi banten yang menurut sahabat, seorang aktifis bernama Hafidz seharusnya memiliki gubernur dengan criteria “Berjiwa Ulama, berkarakter jawara (berani dan tegas), dan berperilaku humanis”.
Jadi, semoga semua pihak yang terkait dan terlibat dengan aktifitas menyiapkan bakal calon pemimpin diberikan kesadaran untuk berbuat sesuatu yang terbaik bagi masyarakat Banten, tanpa perlu menunggu gunung Krakatau mengikuti saudaranya yang lain semacam gunung rinjani atau gunung merapi. Karena bila kelak lahir pemimpin amanah yang bisa menciptakan kebaikan, kesejahteraan, dan kemakmuran yang berkeadilan bagi masyarakat banten, maka pahala kebaikan tersebut akan mengalir kepada semua pihak yang terlibat melahirkan pemimpin tersebut, pun juga sebaliknya…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H