Mohon tunggu...
Boyke Pribadi
Boyke Pribadi Mohon Tunggu... Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten -

menulis berbagai hal dalam kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Remaja dan Pendidikan Budi Pekerti

29 April 2015   07:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:34 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menjelang tanggal 2 Mei yang ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional, dunia pendidikan dan remaja di Indonesia disadarkan dengan beberapa berita yang menggambarkan kondisi moral atau budi pekerti remaja di Indonesia, terutama remaja pertengahan pada usia antara 15 hingga 18 tahun atau pada usia sekolah SMP dan SMU.

Berita tentang pesta bikini paska selesainya Ujian Nasional sempat mewarnai berita utama beberapa media cetak dan elektronik, setelah sebelumnya telah menjadi lazim berita kenakalan remaja yang melewati batas bila dibandingkan pada era beberapa dasawarsa lalu. Kasus kasus penyalahgunaan narkoba, tawuran pelajar, pesta seks bebas anak sekolah, tindak criminal dan pembunuhan, bahkan kekerasan anak terhadap orang tua yang ber-ujung kepada penyiksaan bahkan pembantaian telah menjadi menu keseharian informasi yang kita terima.

Bila dibandingkan dengan anak anak usia remaja beberapa belas tahun lalu, maka pasti kita akan mengatakan sadis dan tidak masuk akal terhadap perilaku menyimpang yang melanda anak anak kita, namun bila kita mengamati episode demi episode perubahan psikosocial yang terjadi di masyarakat, barulah kita menyadari hal hal tersebut telah bergeser menjadi sebuah hal lumrah yang terjadi akibat tekanan ekonomi dan kehidupan sosial di tengah tengah pergerakan cepat kondisi sosio-ekonomi masyarakat kita.

Disatu sisi keadaan masyarakat sangat dipengaruhi oleh pembangunan ekonomi yang semakin menganut ideologi materialisme, dan disisi lain terjadi pergeseran makna pendidikan sebagai salah satu instrument pembentukan karakter anak anak dan remaja kita.

Dari berbagai definisi pendidikan yang dibuat oleh para pakar dan ahli, kita coba mengambil pemaknaan dari Ki Hajar Dewantara yang didaulat menjadi Bapak Pendidikan Nasional oleh pemerintah. Menurut Ki Hajar Dewantara yang disampaikan pada kongres pertama taman siswa pada tahun 1930,  “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”. Yang dalam dunia pendidikan modern pendidikan itu mencakup aspek kognitif, afektif, dan psiko motorik.

Jika dikaitkan dengan kondisi remaja hari ini, nampaknya pendidikan pada aspek kognitif telah jauh lebih berhasil dengan ditandai meningkatnya tingkat kecerdasan dan pola piker remaja generasi saat ini. Pembuktiannya sederhana, penggunaan bahasa asing dan penguasaan teknologi informasi semakin menjadi hal biasa dikalangan remaja era sekarang. Hal ini juga mendapat dukungan dari pihak orang tua yang menekankan kepada anak anaknya akan perlunya nilai nilai raport pada mata pelajaran tertentu yang menggambarkan aspek kognitif untuk mendapatkan angka yang tinggi.

Demikian pula dengan aspek psiko motorik yang ditandai dengan semakinmeningkatnya aktifitas fisik yang dilakukan remaja, sejak dari sekedar olah raga rekreasi maupun olah raga prestasi, aktifitas seni yang membutuhkan gerak, hingga kalaupun boleh dimasukkan adalah aktifitas berkerumun atau bergerombol yang sudah menjadi kebiasan bagi anak usia remaja saat ini.

Justru yang Nampak menunjukkan prestasi menurun secara umum adalah aspek afektif, dimana ranah ini terkait dengan budi pekerti, sikap dan nilai.Budi pekerti menyangkut nilai-nilai perilaku manusia yang disesuaikandengan norma yang berlaku di masyarakat. Baik norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, serta norma budaya atau adat-istiadat.

Menurunnya kualitas budi pekerti inilah yang mewarnai kehidupan remaja pada era modern saat ini sebagaimana yang tergambarkan dari maraknya pemberitaan terhadap penyimpangan perilaku generasi harapan bangsa tersebut. Mungkin hal ini disebabkan dengan pernah menghilangnya mata pelajaran budi pekerti selama beberapa dasa warsa, sebelum pada akhirnya muncul kembali setelah tahun 2010.

Persoalannya adalah pelajaran budi pekerti jauh lebih susah dan perlu waktu yang panjang dibanding pelajaran matematika yang membutuhkan logika, atau pelajaran  yang membutuhkan kemampuan hafalan. Pelajaran budi pekerti membutuhkan contoh sikap dan teladan serta pembiasaannya dalam kehidupan sehari hari, sehingga menumbuhkan otot kebiasaan (myelin) yang tebal sehingga sikap baik tersebut meng-akar dan menjadi bawaan sang anak.

Hilangnya mata pelajaran Budi pekerti selama belasan tahun tentunya membutuhkan waktu dan  belum tentu kita bisa memperbaikinya pada remaja yang sudah ‘hancur’ budi pekertinya, sedangkan mata pelajaran hafalan dan hitungan mungkin hanya dalam beberapa bulan sudah bisa dikuasai.

Ditambah, menghilangnya sosok keteladanan yang seharusnya menjadi sikap terpadu/menyatu (integritas) yang dimiliki oleh seorang guru, terutama guru pada tingkat pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Indikasinya mudah saja dilihat, jika beberapa belas tahu lalu, seorang guru yang mendapat tugas tambahan menjadi kepala sekolah, maka yang bersangkutan akan dengan suka hati kembali menjadi guru kelas atau mengajar mata pelajaran manakala tugas tambahan tersebut berakhir, maka pada hari ini hal tersebut sulit ditemui. Karena ketika seseorang yang telah menduduki jabatan kepala sekolah, maka manakala selesai menjabat, dia memilih menjadi pengawas ketimbang kembali menjadi guru kelas.

Bila demikian adanya, tentu kita harus menyadari bahwa tidak mudah membekali siswa atau remaja dengan budi pekerti yang baik sebagai salah satu tujuan pendidikan, karena terlalu kompleks persoalan pendidikan yang kita hadapi, sejak dari sarana, prasarana, mental pendidik/guru, sistem pendidikan termasuk kurikulum, dan lingkungan dunia pendidikan termasuk peran orang tua selaku pendidik pertma dan utama dalam  kehidupan seorang anak. Ditambah tuntutan persaingan masa kini yang lebih menekankan kepada kecerdasan akademik/intelektual ketimbang kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Jadi lengkap sudah kesulitan untuk menghasilkan pribadi pribadi unggulan yang mumpuni dengan attitude atau sikap mulia. Meminjam istilah anak muda sekarang…rumit gan !

Jadi bila pendidikan budi pekerti dimulai kembali sejak tahun 2013, maka dampaknya akan bisa dirasakan ketika anak anak yang pada tahun tersebut mengenyam pendidikan sekolah dasar telah menjadi remaja pada tahun 2020 hingga 2023 mendatang.

Namun tidak perlu risau, karena selalu ada harapan bagi pribadi yang optimis. Masih ada guru guru yang sejak lama sbelum tahun 2013 telah berusaha menjalankan profesinya dengan niat mulia melahirkan anak didik yang memiliki kualitas dan karakter yang baik. Masih ada lembaga lembaga pendidikan yang menekankan pentingnya pendidikan budi pekerti atau sikap yang harus dimiliki oleh warga didiknya. Dan terlepas dari semua itu, masih banyak orang tua yang berharap, berhati hati, dan bersungguh sungguh untuk mendidik buah hatinya agar menjadi manusia unggulan sebagai insan sejati….Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun