Alkisah ada tiga orang pemuda terlihat sedang memindahkan batu dari suatu tempat ke tempat lain guna membangun sebuah piramid. Ketika ditanyakan apa yang sedang mereka kerjakan? Ketiga pemuda tersebut menjawabnya secara berlainan. Pemuda A menjawab bahwa dia sedang bekerja memindahkan batu itu dari suatu tempat ke tempat yang lain. Pemuda B menjawab bahwa ia sedang mencari nafkah dengan bekerja meng-angkut batu. Dan pemuda C menjawab bahwa dia sedang membangun sebuah peradaban besar yaitu peradaban Mesir.
Kisah diatas muncul dalam benak penulis ketika mengamati perjuangan pembentukan propinsi banten sejak bulan juli 1999 hingga terbentuknya Propinsi Banten pada bulan oktober tahun 2000. Sepanjang masa ‘bergolaknya’ semangat perjuangan pembentukan propinsi banten, yang menggelegak hampir di seluruh lapisan dan unsur masyarakat banten ketika itu, secara garis besar penulis mencatat ada tiga motif berbeda yang mendasari keterlibatan banyak rakyat banten dalam perjuangan tersebut.
Bagi mahasiswa dan masyarakat awam yg terlibat, persis seperti jawaban pemuda A bahwa dia ikut berkumpul dan dimobilisasi karena ada yang mengjak tanpa tahu persis apa yang akan terjadi kelak pada saat Banten menjadi sebuah propinsi yang mandiri. Sedangkan bagi aktifis, pengusaha, PNS dan politisi yang rela membiayai perjuangan propinsi tersebut, memiliki motif seperti pemuda B bahwa bila kelak menjadi propinsi yang mandiri akan banyak peluang untuk menjadi PNS atau Legislatif atau jabatan penting lainnya baik di pemerintahan maupun di parpol dan ormas, serta proyek pembangunan yang bisa digarap secara mandiri oleh pengusaha lokal dan tidak perlu melibatkan pengusaha pengusaha besar dari jawa barat. Sedangkan sisanya yang sedikit dari kelompok masyarakat tersebut, yang bercita cita sebagai mana pemuda C yaitu ingin membangun peradaban banten, dengan cara mengembalikan kejayaan banten, sebagai mana pada era kesultanan banten abad lalu. Kelompok ini yang penulis ketahui diantaranya adalah Prof.Dr.H.MA Tihami, MA yang sangat giat membicarakan konsep budaya dan peradaban banten masa depan, sehingga berharap kelak banten akan menjadi suatu entitas tersendiri, berbeda dengan entitas pasundan sebagai cikal bakal masyarakat sunda di jawa barat.
Terlepas dari motif kejuangan tiga kelompok tersebut, yang pasti kekompakan dan saling bahu membahu antara elemen masyarakat tersebut yang berhasil meng’gol’kan pembentukan propinsi Banten.
BIla merunut sejarah, keinginan untuk membentuk propinsi Banten telah dimulai sejak tahun 1953 berkaitan dengan dibentuknya Daerah Istimewa Jogjakarta. Lalu baru pada tahun 1963 dibentuk panitia Pembentukan Propinsi banten oleh Bupati Serang kala itu yaitu Gogo Sandjadirdja, hingga seharusnya tahun 1965 banten menjadi propinsi namun karena meletus kejadian G-30-S PKI, rencana itu kembali tertunda. Dan perjuangan kembali berkobar secara sistematis pada tahun 1970 dengan dilakukannya Sidang Pleno Musyawarah Besar Masyarakat Banten untuk mensyahkan Presidium Panitia Pusat Provinsi Banten, meskipun tidak mendapat respon positif dari DPR-GR kala itu. Dan menurut Supandri, 2002 beberapa nama yang terlibat diantaranya adalah Tb. Bachtiar Rifa’i, Ayip Abdurachman ,Achmad Nurjani, Uwes Qorny, Ekky Syahrudin, Hasan Alaydrus. Hingga akhirnya pada tahun 1997, Almarhum Uwes Qorny berkata dalam wawacara sebuah media “saatnya Banten menjadi propinsi ke-28” hingga bergulir menemukan momentum melalui kunjungan presiden Habibie ke salah satu pesantren di pandeglang-banten, dan dimatangkan pada saat seminar yang digagas oleh Gerakan Pemuda Reformasi Indonesia di Anyer pada tahun 1999.
Yang menarik, semua argumen yang dibangun sejak gagasan pertama perlunya banten menjadi sebuah propinsi adalah sama, yaitu adanya Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan hidup sebuah Propinsi sementara kondisi hasil pembangunan jauh tertinggal ketimbang daerah lain di jawa barat. Sehingga ketika perjuangan tahun 1999 isu ketertinggalan dan ketimpangan selalu menempati pioritas pertama untuk diusung sebagai argumen, dan secara bersamaan semangat otonomi daerah bertujuan mendekatkan pelayanan publik antara provider (pemerintah) dengan masyarakatnya.
Masih melekat dalam ingatan penulis ketika berkumpul di berbagai tempat, bagaimana isyu ketertinggalan banten selatan selalu ‘dijual’, mengingat ketika itu kabupaten lebak merupakan kabupatan dengan jumlah IDT (Inpres Desa Tertinggal) yg terbanyak di wilayah Propinsi Jawa Barat. Bayangkan ada 190 desa tertinggal dari sekitar 300 desa di lebak kala itu. Jadi isyu itu merupakan isyu seksi untuk meyakinkan para pemegang keputusan agar mengabulkan Banten untuk berdiri sendiri sebagai Propinsi. Asumsi yang dibangun sederhana saja, bila propinsi jawa barat harus berbagi dana pembangunan dengan lebih dari 20 kabupatn/kota, maka jika banten menjadi propinsi, dana pembangunan hanya berbagi dengan 5 kab/kota lainnya.
Namun demikian alih alih kondisi masyarakat segera berubah, tahun tahun pertama perjalanan propinsi banten lebih diwarnai dengan dinamika kesibukan pengisian anggota DPRD dan saling sikut pengisian jabatan jabatan strategis serta pawai dukungan terhadap pejabat yang mengincar posisi posisi empuk dan basah. Kondisi ini berjalan sampai dengan tahun kedua dan ketiga. Dan bahkan pada tahun kedua sejak berdiri resmi, kota tangerang berteriak tentang kecilnya dana pembagian yang diterima ketimbang ketika masih bergabung dengan propinsi Jawa Barat dulu. Pokoknya 5 tahun pertama berdirinya propinsi, pembangunan yang dijanjikan tidak terbukti. Pembangunan masih menggeliat hanya di perkotaaan, namun di wilayah peloksok tetap saja belum mendapat perhatian yang proporsional.
Seorang tokoh kala itu, H. Tryana Syam’un sempat berteriak bahwa jajaran kepemerintahan banten (pemprop dan DPRD) tidak memiliki “kereteg hate’ dalam mengurus wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Terbukti kala itu kabupaten/kota di banten banyak mempertanyakan kinerja propinsi yang lebih mirip kabupaten ke-tujuh dalam melaksanakan proyek pembangunan di wilayahnya. Seharusnya pemprop memposisikan diri sebagai kordinator yang mensinkronkan pembangunan antar kabupaten/kota agar harmonis, pemprov jangan sibuk bikin proyek sendiri tanpa berkordinasi dengan kabupaten/kota dibawahnya.
Seiring berjalannya waktu ternyata semakin jauh ‘kareteg hate’ dari para penyelenggara kepemerintahan propinsi banten. Hal ini terjadi karena semakin banyak akrtor yang a-historis terhadap sejarah pembentukan propinsi banten. Semakin banyak pelaku kepemerintahan yang tidak terlibat secara langsung dalam perjuangan pembentukan propinsi banten. Sehingga mereka tidak bisa membaca semangat kebatinan atau keinginan masyarakat atas dibentuknya propinsi banten. Kalaupun ada pihak yang terkait langsung pembentukan propinsi banten, dan hari ini menjadi petinggi di kepemerintahan, namun nampaknya kepentingan jangka-imah-nya lebih besar dari ‘kereteg hate’ yang dimiliki untuk membaca kondisi penderitaan masyarakat banten.
Jikapun ada pihak propinsi yang mengklaim keberhasilan meng-angkat derajat pembangunan di wilayah Kabupaten Lebak, sebetulnya itu sededar klaim belaka, karena perubahan derajat kesejahteraan di lebak lebih dikarenakan kreatifitas bupatinya yang memang berasal dari kalangan pengusaha lokal. Dan itupun masih menyisakan banyaknya infrastruktur jalan yang memprihatinkan sehingga masih terkesan meng-isolasi beberapa wilayah banten selatan dari kemajuan dunia di luarnya, sebagaimana tergambar pada beberapa pemberitaan di media massa pada kasus ‘jembatan indiana jones’ yang sempat men-dunia.
Ditambah dengan terkuaknya fakta bahwa sistem kepemerintahan ‘kekeluargaan’ yang sejak awal dipaksakan secara sistematis dan terstruktur di wilayah banten, ternyata membawa dampak yang dahsyat terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang, sebagaimana tuduhan ketua KPK Abraham Samad bahwa korupsi di banten merupakan kejahatan keluarga seperti termuat dalam media cetak nasional antara tanggal 4 hingga 8 desember 2013.
Ditengah kondisi yang menyadarkan semua pihak bahwa Banten sedang berada pada jalur yang salah dalam pencapaian cita citanya, maka beberapa komponen strategis di tengah-tengah masyarakat menggelar Kongres Rakyat Banten II pada tanggal 24 Maret 2014, setelah 15 tahun yang lalu konon dilaksanakan Kongres Rakyat Banten I pada tanggal 5 Desember 1999 yang menghasilkan "Deklarasi Nasional Pembentukan Provinsi Banten" yang menjadi pemicu percepatan proses pembentukan Propinsi Banten. (penulis menyebut ‘konon’ karena pada tanggal tersebut yang ada hanya rapat akbar yang diikuti ribuan massa di alun alun masjid agung Banten, entah kalau di kemudian hari acara deklarasi tersebut dikategorikan sebagai kongres)
Bila mengartikan kongres sesuai kamus yaitu “pertemuan besar para wakil organisasi (politik, sosial, profesi) untuk mendiskusikan dan mengambil keputusan mengenai pelbagai masalah”. Maka apakah keputusan yang diambil pada kongres kali ini akan mengikat semua pihak, mengingat secara formal kita sebagai masyarakat sudah diwakili oleh para anggota DPRD Propinsi Banten untuk ikut menjalankan roda kepemerintahan di Banten. Namun karena perlahan tapi pasti bahwa banyak anggota DPRD yang terlibat dalam kasus yang sedang disidik oleh KPK, maka mereka cenderung kehilangan legitimasinya untuk mengambil keputusan yang berpihak kepada kepentingan rakyat Banten.
Apakah karena legitimasi DPRD yang cenderung menjadi status quo atas persoalan yang melilit pimpinan pemerintahan propinsi Banten, maka digelar Kongres Rakyat untuk ‘mengkudeta’ proses yang sedang berjalan mengikuti prosedur hukum, yang terkesan menyandera kelancaran perjalanan propinsi banten? Atau kongres ini hanya sekedar kelatahan beberapa pihak untuk ikut campur memikirkan rakyat kembali, setelah sekian lama asyik masyuk dengan kegiatan dan rutinitas sehari hari yang jauh dari nasib dan penderitaan rakyat Banten? Atau memang bertujuan menyadarkan kembali semua pihak bahwa peristiwa yang terjadi ini merupakan titik nadir bagi propinsi banten, sehingga harus diambil sebagai momentum perbaikan pada semua sektor kepemeritahan di propinsi banten?
Bila mengutip pernyataan Ketua Pelaksana pada saat konferensi pers setelah gladi resik kongres pada tanggal 20 Maret 2014 yang menyatakan bahwa kondisi banten hari ini yang ‘terganggu’ akibat proses hukum yang mendera gubernur banten, adalah antara lain disebabkan lemahnya pengawasan dari berbagai elemen masyarakat terhadap jalannya roda pemerintahan. Padahal menurut penulis, masih banyak tokoh masyarakat yang kritis dan vokal mengawal jalannya pemerintahan propinsi banten, hanya saja tokoh masyarakat, tersebut termasuk aktifis dan LSM, hanya vokal dan kritis mengawal kebijakan pemerintah propinsi sampai keinginannya tercapai, seperti memasukkan sanak kerabatnya menjadi PNS di lingkungan propinsi, atau mendapakan proyek dari pemprop, dan bahkan sekedar mendapatkan jabatan di ormas ormas yang bisa di-intervesi oleh kekuasaan pemprop Jadi vokal dan kritis-nya mereka sekedar untuk kepentingan jang-ka-imah ketimbang untuk kepentingan masyarakat jangka panjang yang lebih luas. Dan hebatnya para pelaku kepemerintahan di propinsi banten-pun kadang meng-anggap kritik seperti (maaf) kotoran ayam yang didiamkan saja sehingga menjadi kering lalu ditiupnya hingga habis, karena kupingnya sudah tebal, padahal kritikan keras tetap diperlukan guna menjaga agar arah pembangunan sesuai dengan cita cita dan keinginan masyarakat banten.
Jadi bila kondisi sebagian besar elite di tengah masyarakat seperti hal diatas, maka perubahan apa yang harus ditawarkan oleh para peserta kongres rakyat Banten ke-II kali ini? Semoga semua pihak diberikan kesadaran untuk kembali kepada cita cita luhur pembentukan Propinsi Banten, yakni membawa masyarakat Banten kepada kehidupan dan penghidupan yang lebih maju dan sejahtera. Aamiin….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H