Semua orang mungkin sepakat bahwa alam semesta diciptakan dalam keadaan seimbang sebagaimana jaminan dari Sang Maha Pencipta yaitu Allah SWT dalam QS 67:3 yang berbunyi “"Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali- kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?"
Rupanya keseimbangan yang dimiliki alam semesta (makro kosmos) merupakan hasil dari keseimbangan pada tingkat tingkat lain dibawahnya, termasuk pada tingkat Bumi yang kita tempati dan perilaku manusia dan mahluk hidup lain sebagai penghuninya. Yang dalam budaya lain hukum ini bisa disebut sebagai yin-yang di china atau Rwa Bhineda dalam kultur masyarakat Bali. Â Gambaran yang paling jelas nampak adalah dengan diciptakannya semua mahluk secara berpasang pasangan atau dalam tingkat individu bisa dijadikan contoh mengenai pendapatan dan pengeluaran individu, bila seseorang meningkat pendapatannya, maka lazimnya pengeluaran-pun akan ikut serta merta meningkat, ataupun sebaliknya, meskipun manakala pengeluaran meningkat maka sang individu harus mengeluarkan upaya ekstra untuk menambah pendapatannya agar terjadi keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan.
Jika hukum keseimbangan berlaku pada setiap individu warga negara, maka pada tingkat negara-pun hukum ini tentu akan berlaku. Itulah mengapa dalam bentuk pemerintahan apapun selalu akan muncul kekuatan penyeimbang sebagai bagian dari penyelenggaraan negara. Dalam negara demokrasi, kekuatan penyeimbang yang resmi dapat disebut sebagai pemisahan kekuasaan yaitu pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif. Harapan dari dilakukannya pemisahaan kekuasaan tersebut agar terjadi tarikan yang sama kuat agar resultan atau hasil tarikan tersebut membuat kekuasaan menjadi berimbang, tidak bergerak kepada salah satu arah dalam rangka menciptakan kebaikan atau kesejahteraan bagi warga negaranya. Namun pokok permasalahan yang terjadi hingga hari ini adalah upaya saling mempengaruhi diantara ketiganya agar bergerak menuju tujuan yang bersifat materialisme, sehingga sudut atau besar tarikan kepentingannya sangat dipengaruhi oleh unsur besaran dan resiko diterimanya hal hal yang bersifat materialisme tersebut.
Mengaitkan tentang keseimbangan dengan kondisi mutakhir Indonesia, dimana beberapa bulan lagi akan terjadi transisi pernggantian unsur pimpinan nasional, maka menjadi hal yang menarik untuk diamati mengenai perimbangan kekuasaan yang terjadi antara Presiden/pemerintah beserta partai politik dan masyarakat yang mendukungnya, dengan kelompok partai politik dan masyarakat yang tidak memilihnya atau tidak mendukungnya. Kedudukan keduanya secara kasat mata baru dialami oleh Indonesia pada kali ini, mengingat selama era pemerintahan orde baru dan orde reformasi, pemerintah selalu didukung oleh kekuatan partai politik yang mendominasi parlemen. Sehigga praktis hampir setiap kebijakan pemerintah berjalan mulus kendati harus melalui tahapan persetujuan DPR RI sekalipun. Bila melihat sejarah kepemimpinan presiden SBY , maka perlawanan anggota DPR RI yang sangat mencolok hanya ketika persetujuan kenaikan harga BBM yang dilakukan terakhir meski pada akhirnya harus mengalami kenaikan harga Premium dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.500.
Melihat pengalaman yang terjadi, maka dengan adanya perubahan komposisi antara pemerintah beserta partai pendukungnya di parlemen dengan koalisi partai oposisi yang jumlah suaranya lebih banyak dari partai pendukung pemerintah, diharapkan akan melahirkan pola relasi baru antara kedua-nya. Sehingga pihak pemerintah bisa lebih hati hati dalam menyusun kebijakan yang membutuhkan stempel persetujuan dari parlemen, artinya kebijakan yang dibuat harus dapat dipertanggung jawabkan secara nalar politis bahwa bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia secara umum. Sehingga bila kondisi ini terjadi maka artinya terjadi perimbangan kekuatan politik antara eksekutif dengan legislatif. Dan kedua pihak ini harus bisa memelihara ke-netralan pihak yudikatif agar tercipta keseimbangan kekuasaan yang baik dan ber-orientasi kepada kepentingan masyarakat.
Dalam kaca mata hubungan negara dan warga negara maka keseimbangan akan terjadi bila masyarakat kuat maka akan diimbangi dengan peran negara yang juga kuat. Tidak seperti keseimbangan terbalik yang disampaikan oleh Niccholo Machiavelli (1469-1527), yaitu bahwa kekuatan negara dan ‘kekuatan’ rakyat adalah suatu keseimbangan terbalik. Negara harus pintar (kuat), rakyat harus bodoh (lemah). Sehingga  Machiavelli mencoba menyampaikan bagaimana seorang penguasa (pemerintah) menggunakan kewenangannya sekalipun dengan penipuan dan kekerasan, bila perlu demi keselamatan negara boleh mengesampingkan keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Dengan kata lain, tujuan menghalalkan cara.
Beberapa fenomena yang dirasakan seolah meng-konfirmasi keinginan machiavelli, bahwa demi tujuan pemerintah yang berkuasa maka kepentingan masyarakat akan diabaikan dengan cara apapun. Dan seolah teori pemisahan kekuasaan hanya berlaku dalam pengajaran di bangku kuliah, manakala negara (pemerintah) bisa dengan mudah meng-akses dan mengendalikan dua lembaga lainnya yaitu yudikatif dan legislatif. Dan atas nama kepentingan materialisme maka tidak sedikit orang yang mempelestkan lembaga lembaga trias politika menjadi Ekseku(thieft), Yudika(thieft), dan Legisla(thieft). Hal ini yang menggganggu keseimbangan dan keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara. Merusak tatanan kehidupan antara negara dengan warga negaranya.
Lalu bagaimana dengan jaminan keseimbangan yang dijanjikan sebagai ketentuan alam?. Sebagai manusia yang meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta adalah hasil karya cipta Allah SWT sehingga pasti mengikuti ketentuannya, maka ada mekanisme yang otomatis bekerja untuk menjaga agar hukum hukum alam itu bekerja sesuai kehendak-Nya. Sebagaimana bekerjanya mekanisme rentetan gempa bumi dan letusan gunung berapi yang sesunguhnya merupakan bahasa alam yang sedang berusaha menyeimbangkan kondisinya. Maka untuk mengatasi kondisi ke-tidak seimbangan negara tersebut, maka selalu akan ada faktor faktor penyeimbang dan serta merta muncul untuk merespon perilaku ketidak seimbangan yang ditimbulkan oleh pemerintah dan masyarakatnya.
Serupa dengan tidak nyamannya manusia manakala alam melakukan proses koreksi keseimbangan melalui gempa dan lain sebagainya, maka bergeraknya faktor penyeimbang juga dipastikan menimbulkan suasana tidak nyaman bagi penganut status quo yang selama ini dinikmati oleh oknum oknum perusak keseimbangan tersebut.
Faktor penyeimbang tersebut dapat muncul dari sisi manapun, seperti munculnya semangat dan kesadaran untuk melakukan perbaikan birokrasi yang muncul dari pihak eksekutif, sebagaimana perilaku Ahok sebagai wakil gubernur DKI saat ini. Atau merebaknya fenomena men-transparansi-kan langkah kebijakan pemerintah melalui media sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok anak muda pegiat IT. Ataupun hal lain yang mungkin belum dapat kita bayangkan, namun yang pasti setiap aksi maka akan melahirkan reaksi sebagi jawabannya. Dan kita sebagai warga negara akan terbiasa melihat jalannya proses pencarian keseimbangan tersebut, melalui polemik dan hiruk pikuk dinamika kehidupan politik-ekonomi-sosial dan budaya.
Pertanyaan besar yang kadang muncul di benak penulis, bila kemudian terjadi ketidak seimbangan dan ketidak adilan yang sangat parah, bagaimanakah mekanisme koreksi yang akan terjadi? Apakah bangsa dan negara Indonesia akan dihapuskan dari peta dunia, sebagaimana kekacauan yang melanda sodom, gomorah, kaum tsamud, dan lain sebagainya? Hanya Allah SWT yang menyimpan jawabannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H