Mohon tunggu...
Boyke Pribadi
Boyke Pribadi Mohon Tunggu... Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten -

menulis berbagai hal dalam kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kepentingan

11 Oktober 2014   15:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:28 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Manusia akan memiliki keinginan yang kuat untuk mengerjakan sesuatu, khususnya bila sesuatu itu akan memberikan keuntungan pada dirinya sendiri. Kurang lebih itulah penjabaran dari kata yang menjadi judul tulisan ini yaitu Kepentingan yang dalam bahasa inggris di–istilahkan dengan  'vested interest' (oxford learner dictionary, 1991).

Vested interest selalu muncul dalam berbagai bidang kehidupan yang dialami oleh manusia, mulai dari bidang pendidikan, budaya, sosial, hingga politik. Dalam bidang politik, kata ini seakan menjadi suatu 'kata kunci' yang harus dimiliki oleh politikus. Sehingga sesuai dengan pameo yang memasyarakat yaitu, dalam dunia politik tidak ada kawan atau lawan abadi melainkan yang ada hanya kepentingan yang abadi.

Kenyataan ini lebih nampak menonjol pada beberapa minggu terakhir manakala paska dilatiknya para wakil rakyat terhormat di DPR RI untuk masa khidmat tahun 2014 – 2019. Dimana beberapa suasana yang mengiringi pelantikan tersebut diramaikan dengan perebutan-perebutan beberapa kursi pokok pada unsur kepemimpinan di DPR RI dan MPR. Sebagaimana kita saksikan bersama di layar kaca, berhamburan berbagai argumen yang di keluarkan oleh mulut yang berbusa busa sesuai kepentingannya masing masing. Dan bila kita amati, nyaris semua argumen tersebut benar, namun pada saat yang sama juga nyaris semua argumen tersebut salah, tergantung kita sedang berdiri di posisi mana sesuai kepentingan pihak masing masing.

Sebenarnya sah sah saja Argumen tersebut disampaikan guna membela dan menjaga kepentingan masing masing partai politik yang mendudukkan wakilnya di DPR RI. Karena dalam kaca mata mereka, memiliki kekuasaan di parlemen memang menjadi salah satu tujuan untuk menjadi penentu arah perjalanan bangsa untuk 5 tahun kedepan. Tujuan ini memang melanda semua partai politik, baik yang memenangkan pilpres maupun pihak yang kalah dalam pilpres.

Bagi pihak yang memenangkan pilpres tentu tujuan untuk menguasai parlemen adalah agar presiden yang didukungnya mendapat pengawalan yang kokoh dalam menjalankan roda pemerintahan dan kabinetnya. Sedangkan bagi partai yang capres-nya kalah, maka tujuannya agar terjadi perimbangan kekuatan antara pemerintah selaku eksekutif dengan DPR RI sebagai legislatif, sehingga suara kritis dan vokal yang dikeluarkan memiliki bobot dan kualitas yang lebih bila menguasai unsur unsur kepemimpinan di parlemen.

Namun demikian, karena dinamika-nya yang sangat hebat, maka tidak sedikit pemirsa tontonan politik ini yang mengaitkan seru-nya pertarungan mereka sebagai pertarungan balas dendam dari pihak yang kalah dengan pihak yang menang dalam pilpres. Dalam konteks ini, penulis melihat tidak seluruh dugaan tersebut benar. Mungkin bagi partai gerindra selaku partai ’milik’ capres yang diusung, bisa jadi merupakan ajang balas dendam, namun bagi partai politik lain dalam Koalisi Merah Putih, pertarungan yang terjadi merupakan kesempatan untuk memperebutkan peluang guna menempatkan posisinya dalam unsur kepemimpinan DPR RI dan MPR.

Dugaan itu muncul bila melihat bahwa untuk unsur pimpinan DPR RI, Partai Gerindra sebagai inti dari KMP hanya mendapatkan ’jatah’ satu posisi sebagai wakil ketua DPR RI, sedangkan Golkar, Demokrat, PAN, dan PKS berhasil menempatkan dua orangnya pada kedua unsur lembaga negara tersebut . Artinya partai Gerindra berusaha mengalah agar unsur pimpinan di kedua lembaga negara tersebut dapat direbut oleh KMP.

Dan itu sah sah saja sepanjang mereka memiliki kepentingan yang sama, yaitu mengalahkan koalisi parpol pendukung capres pemenangan pilpres. Terlebih dalam kacamata anggota KMP bahwa kemenangan Koalisi Indonesia Hebat pada pilpres lalu merupakan hasil kecurangan dan rekayasa pihak pihak tertentu. Sehingga tidak sedikit publik yang mengaitkan bahwa KIH itu tidak ada apa apanya bila proses pemilihan dilakukan secar fair. Namun demikian, penarikan kesimpulan seperti ini jelas jelas menyesatkan, karena mengatur suara dalam jumlah ratusan orang tentu lebih mudah ketimbang mengatur suara untuk puluhan juta orang. Jadi, kasus kalahnya KIH dalam pemilihan unsur pimpinan DPR RI dan MPR tidak bisa serta merta dijadikan petunjuk bahwa kemenangan KIH dalam pilpres lalu diraih sepenuhnya  dengan cara curang.

Namun, publik kemudian bertanya, apakah kekompakan kedua Koalisi tersebut dalam melakukan perjuangan politik ditujukan untuk memperjuangkan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat Indonesia secara umum?. Karena secara tersurat dari berbagai pernyataan yang disampaikan oleh mereka melalui media massa selalu menjadikan masyarakat sebagai tujuan dari langkah langkah politik yang diperjuangkannya. Meskipun demikian, bila kita meng-analisa secara lebih dalam maka tersirat, sebetulnya kosa kata ’masyarakat’ hanya dijadikan barang dagangan untuk memenuhi keingingan dan kepentingan politik dari masing masing pihak yang berseteru di gedung terhormat tersebut.

Sehingga menurut prediksi penulis, terasa agak sulit menyerahkan kepentingan umum masyarakat Indonesia kepada 560 anggota DPRI yang pola pikirnya telah terkotak kotak berdasarkan partai politik darimana ia berasal. Terlebih bila secara nyata ada dua kubu yang jelas jelas berseberangan akibat pertandingan pilpres lalu. Sehingga dikhawatirkan dalam benak mereka hanya ada pemikiran saling jegal menjegal satu sama lain, ketimbang menjadi mata dan telinga publik untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan kabinet presiden terpilih. Nuansa ini telah terasa bila menyimak rencana kubu pendukung Prabowo untuk mem-veto 100 jabatan strategis, sehingga melenggangnya jabatan jabatan strategis tersebut akan sangat ditentukan kemampuan sang pejabat melayani kepentingan kubu siapa. Dan tentunya dengan jumlah suara yang lebih besar maka KMP akan memiliki kekang yang strategis untuk menentukan siapa yang akan menduduki jabatan strategis tersebut.

Sekali lagi, sekalipun memiliki ’kepentingan’ merupakan hal yang sangat wajar dan manusiawi, namun kepentingan yang terbaik adalah kepentingan untuk jangka waktu yang panjang dan untuk kepentingan masyarakat banyak. Dan kepentingan yang terburuk adalah kepentingan jangka pendek dan untuk memenuhi kepentingan pribadi serta golongannya sendiri. Semoga semua pihak diberikan kesadaran untuk bergerak sesuai kepentingan yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun