Mohon tunggu...
Boyke Pribadi
Boyke Pribadi Mohon Tunggu... Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten -

menulis berbagai hal dalam kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pencitraan Teruus???

31 Oktober 2014   14:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:04 1884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengamati gerak gerik Presiden Jokowi sejak masih menjadi walikota, gubernur, capres, hingga terpilih jadi Presiden, oleh sebagian publik dan media disebut sarat dengan pencitraan, yaitu suatu proses rekayasa yang dilakukan untuk meningkatkan citra diri agar tampil menarik bagi sebagian besar publik.

Gaya blusukan tanpa jarak dengan rakyat yang dipimpinnya menimbulkan kecurigaan bagi masyarakat yang selama ini disuguhi tontonan benteng yang menutupi kedekatan pejabat publik dengan publik-nya. Seolah ada rasa tidak percaya dan menimbulkan prasangka bahwa Jokowi ada maunya dengan perilaku SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) dengan masyarakat yang dipimpinnya. Bahkan tidak sedikit pengamat yang menceritakan keterlibatan pakar rekayasa opini media tingkat internasional yang meng-angkat citra Jokowi. Dan selama proses pilpres berlangsung, kita disuguhi informasi secara masif bahwa semua sikap keramahan dan ke-akraban Jokowi merupakan rekayasa dari sekelompok cukong yang meng-inginkan Jokowi menjadi presiden, dengan tujuan untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia.

Namun nampaknya Jokowi meniru Soekarno dalam menyikapi berbagai tudingan tersebut dengan kalimat ’aku ra popo’, yang sebetulnya tersimpan pesan soekarno pada saat akhir menjelang ajal dalam suasana yang penuh fitnah dan tekanan, yaitu :”biar waktu yang akan membuktikannya”.

Dan nampaknya waktu memang dituntut untuk membuktikan apakah perilaku dan sikap Jokowi pada waktu lalu merupakan pencitraan atau topeng belaka dengan tujuan memenangkan simpati dari masyarakat agar terpilih sebagai presiden?...Dan ternyata dia memang terpilih sebagai presiden RI ke -7.

Dugaan penulis, jika memang perilaku yang bersangkutan selama ini hanya hasil rekayasa sebagai kedok/topeng belaka, maka tentunya setelah keinginannya tercapai seharusnya ia kembali kepada kebiasaan awal yang alami lagi. Karena sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa tampil dengan perilaku dibuat buat (direkayasa) membutuhkan energi tubuh dan perasaan yang tidak sedikit alias melelahkan. Namun dugaan penulis terbantah manakala setelah pelantikan justru jokowi menyempatkan diri secara maraton bertemu dengan masyarakat hingga larut malam, dan bahkan membuka Istana Negara bagi masyarakat umum, suatu hal yang tidak umum dilakukan oleh kepala negara.

Dan ketika pagi menjelang pelantikan, putera Jokowi malah memunculkan aksi yang kurang simpati bagi kalangan pers, yang seharusnya bila memang tampil dalam drama, maka pagi hari seluruh anggota keluarganya mendapatkan breefing atau pengarahan khusus dari sang sutradara agar tampil elegan dan memikat publik. Namun koq malah mengalir secara alamiah, termasuk busana kebaya tradisional yang digunakan Ibu negara.

Jika memang masih dalam konsep boneka yang membutuhkan sutradara untuk mendapatkan pujian dari penonton, maka seharusnya kabinet yang dijanjikan diumumkan sesuai janji yg diberikan, sekalipun mendapat rintangan yang berat. Karena pertaruhannya adalah simpati publik. Namun tampaknya ada realitas yang harus dihadapi, dan semua itu mengalir sesuai keadaan tanpa ada kemampuan untuk direkayasa demi kepuasan penonton. Sebagai contoh, bila ingin mengambil hati publik, maka langkah menunjuk Susi Pudjiastuti yang kontroversial tersebut tidak akan dilakukan, kalau hanya karena ada ikatan peminjaman pesawat ketika kampanye, karena kita tahu bahwa Rusdy Kirana selaku pemilik maskapai besar-pun berada di kubu Jokowi pada saat pilpres. Tapi Jokowi justru menunjuk Susi seolah menyatakan bahwa ’aku ra popo’ sekalipun publik akan menghujatnya. Dan terbukti, bahwa sebagian besar prasangka publik karena Susi dianggap ’kurang’ berpendidikan langsung terbantah pada beberapa hari pertama sejak publik meremehkannya.

Dari pernyataan menteri Susi dan beberapa menteri lain dalam kabinetnya, justru sangat jelas nampak tekad untuk menyelamatkan berbagai sumber daya milik Indonesia dari pihak asing. Bahkan penunjukkan Ryamizard Riacudu sebagai Menteri Pertahanan menunjukan betapa seriusnya Presiden Jokowi untuk menghadapi penyusupan kepentingan Asing di Indonesia.

Memang hasil dari penunjukkan beberapa menteri tersebut menimbulkan banyak suara miring yang sangat bertentangan dengan tujuan pencitraan, yaitu meningkatkan simpati/penerimaan publik terhadap diri pelaku pencitraan tersebut. Namun hasilnya sama sama kita ketahui, tidak sedikit yang menghujat para pembantu pilihan Jokowi tersebut.

Lagi lagi pada hitungan hari kurang dari dua minggu sejak dilantik, Presiden Jokowi berkunjung ke sinabung guna meninjau keadaan atau nasib pengungsi yang diakibatkan letusan gunung Sinabung. Dengan pola seolah tidak ingin diketahui publik, karena berdasarkan informasi dari media sosial, tidak nampak aktifitas pengamanan VVIP, Presiden berkunjung ke Tanah Karo Sumatera Utara. Selama di lokasi pengungsian, Presiden berperilaku persis pada saat blusukan di Jakarta ketika masih menjabat gubernur. Dengan pengamanan yang ’longgar’, hampir tanpa jarak karena para pengungsi bisa bersalaman langsung dengan Presiden. Dan beliau membagi bagi uang bagi anak anak di pengungsian yang bisa menjawab pertanyaan yang diajukannya, sekaligus berpromosi tentang Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, seolah masih dalam masa kampanye yang memang memerlukan pencitraan.

Kalau memang masih membutuhkan pencitraan, kenapa Presiden justru keluar dari rundown yang telah disusun oleh panitia lokal, dimana disediakan sejumlah pemburu berita yang akan langsung menjadikan momen tersebut sebagai sebuah berita?. Penulis mendapat info langsung dari kenalan penulis yang menunggu di pendopo kabupaten tempat yang akan digunakan oleh pejabat setempat untuk memaparkan hal hal yang terkait penangan pengungsi. Namun hanya dalam hitungan menit, presiden langsung blusukan ke tempat dimana pengungsi berada, sehingga wartawan kerepotan memobilisasi alat alat untuk mengikuti gaya blusukkan sang Presiden. Pencitraankah?

Atau kesediaan Presiden untuk memberi tahu bahwa hewan peliharaannya hanya sekelas kodok. Padahal kalau dia butuh pencitraan kenapa hal yang tidak umum itu diberitahukan kepada media. Bisa saja dia mendadak menjadi penggemar hewan peliharaan yang lebih elegan, seperti kucing persia, kuda australia, ataupun hewan hewan berkelas lainnya yang lazim dibanggakan oleh kalangan yang punya uang dalam jumlah cukup.

Tidakkah lelah, jika semua itu dilakukan bukan karena keinginan dari dalam hati seseorang. Apalagi media yang kemarin dianggap bagian dari pencitraan sudah mulai ’berani’ menyerang. Mestinya bila ini merupakan rekayasa, apa sulitnya pada posisi sekarang sebagai Presiden membayar media tersebut?. Itulah sebabnya penulis menjawab pertanyaan teman tentang kenapa sebuah media nasional menyerang Presiden padahal sebelumnya merupakan pendukung, dengan kalimat jawaban ”media tersebut profesional, kenapa kemarin mendukung, karena dengan kehebatan jaringannya, dia bisa membaca siapa yang akan menjadi pemenang dalam kompetisi pilpres. Dan kalau hari ini nampak berseberangan karena tidak akan ada yang mau membaca bila media tersebut masih memuja muja sang pemenang”

Dengan kata lain, apakah masuk akal bila seorang yang sudah memenangkan pertandingan masih membutuhkan pencitraan? Ataukah mungkin sebetulnya yang dilakukan oleh Jokowi selama ini memang merupakan gaya hidup beliau?  Terlebih ada dugaan pemerintahan Jokowi akan mengambil kebijakan yang sangat tidak populis yaitu mengurangi subsidi BBM yang dengan kata lain dapat diartikan sebagai kenaikkan harga BBM. Bukankah pencitraan itu membutuhkan kebijakan populis untuk menggalang simpati publik? Entah kalau ternyata Presiden Jokowi masih ingin meraih jabatan sebagai Presiden Dunia, sebagaimana tuduhan yang dilontarkan para haters selama masa kampanya pilpres, maka pencitraan tiada pernah berakhir, dan biarlah sang waktu yang akan membuktikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun