[caption id="attachment_310343" align="alignleft" width="300" caption="123rf.com"][/caption]
Minggu pagi itu ia tampak asyik di depan TV di ruang tengah, duduk bersandar di sofa dengan kaki berada di atas meja. Tangannya menggenggam remote. Aku tahu ia belum mandi. Pakaian yang ia kenakan masih saja sama seperti kemarin malam, kaus oblong putih dan bercelana pendek. Aku sekilas memperhatikannya saat lewat menuju ruang cuci dengan boks berisi pakaian kotor. Tak beberapa lama ia berteriak memanggilku.
“Mar!... Mar! Ayo cepat ke sini!” suaranya terdengar memenuhi ruang tengah. Aku kaget dan tergopoh-gopoh menghampiri.
“Ada apa, Pak?”
“Cepat kamu ambil kertas dan alat tulis! Ayo cepat!” perintahnya. Dengan tergesa-gesa aku mengambil buku dan pulpen yang kebetulan ada di kamarku dan kembali lagi menyerahkan apa yang ia minta.
“Bukan untukku. Sekarang kamu catat itu yang ada di TV. Aduh, itu udah mulai saja. Kamu catat... lima pisang raja, kulit lumpia, keju parut, mentega, sirup mocca, minyak untuk menggoreng, dan apa tadi? O ya, satu butir telur.”
Aku melongo. Tadi aku pikir ada apa ia teriak-teriak, ternyata ia sedang menonton acara kuliner Menu and venue dengan chef Haryo Pramoe.
“Ayo catat!” perintahnya lagi.
Aku pun langsung mencatat apa yang ia katakan dan terpaksaikut menonton acara kuliner itu yang sedang menampilkan pembuatan pisang goreng model baru. Tapi aku tak habis pikir melihat tingkahnya kali ini. Sejak kapan ia suka acara masak-masak begini?
“Sudah dicatat semuanya?”
“Su...sudah Pak.”
“Cara membuatnya juga?”
“Iya.”
“Kamu bisa membuatnya, kan?”
“Bi...bisa, Pak!”
“Nanti siang kita ke supermarket belanja bahan-bahan yang diperlukan. Penasaran aku bagaimana rasanya. Enak kali, ya? Ternyata asyik juga nonton acara beginian, bisa menambah pengetahuan. Kamu suka nonton acara seperti ini nggak?”
“Suka sih, Pak! Tapinggak dipraktekkan.”
“Kenapa? Kamu kan bisa saja bikinnya kalau mau?”
“Takutnya kalau saya yang bikin jadi nggak enak. Lantas nggak ada yang mau makan.”
Ia tertawa mendengar pengakuanku.
“Besok-besok kamu harus lebih kreatif. Bikin makan yang lebih sehat tapi enak biar aku nggak sering lagi makan di luar. Bosan juga makan di luar terus-terusan.”
“Eh, iya, sih, Pak!” Aku tergagap-gagap menanggapinya.
“Ya, sudah! Lanjutin lagi pekerjaanmu. Nanti agak siangan kita jadi ke supermarket belanja kebutuhan rumah.”
Aku berlalu dari situ dengan perasaan yang tak biasa. Mengajak belanja ke supermarket? Kok, tumben-tumbennya ia belanja dengan mengajakku? Aku hanya geleng-geleng kepala dengan sikapnya ini.
Tapi begitulah. Siangnya aku sudah berada di supermarket menemaninya belanja. Ia yang mengambil barang dari rak dan aku yang mendorong trolley-nya. Ternyata yang ia beli lebih banyak ragamnya daripada yang diperlukan untuk bikin pisang goreng. Mulai dari ikan, ayam, daging, telur, sayuran, bumbu, rempah-rempah, susu, gula, sirup, kebutuhan mandi, cemilan, hingga buah-buahan masuk dalam trolley. Aku hanya diam saja melihat tingkahnya persis orang kaya lagi kesurupan, tak sedikit pun mengecek label harga yang ada. Alhasil, dalam tempo yang tak lama, kereta dorong itu pun penuh.
“Apa lagi ya?” ia seakan bertanya pada diri sendiri setelah puas mengelilingi rak demi rak.
Aku tak menjawab.
“Ada lagi, Mar?” Ia menanyaiku. Aku mengerinyitkan kening, bingung sekaligus pusing
“Kamu kenapa?”
“Pusing, Pak, belanjaan segini banyaknya. Apa Bapak bisa menghabiskannya sendiri?”
Ia tergelak. Wajahnya terlihat berseri.
“Ini keperluan untuk beberapa haribiar kamu tak perlu repot-repot lagi.”
“Kayaknya cukup, Pak! Nanti nggak muat lagi di kulkas,”jawabku melihat semua belanjaan yang ada. Ia pun mangut-mangut dan mulai melangkah ke arah deretan kasir.
Tapi sebelum sampai di kasir ia mampir dulu di konter obat-obatan. Menayakan multivitamin pada SPG penunggu konter.
“Ini, aku belikan multivitamin untukmu.”
“Untuk saya?”
“Biar kamu tetap sehat. Kalau kamu sakit siapa yang mengurus aku dan mengurus rumah?”
Sejenak aku terpaku. Walau diliputi rasa senang, tapi tak bisa kupingkiri adarasa penasaran menghinggapi. Tempo hari ia membelikan aku HP, sekarang membelikan susu dan multivitamin. Bukankah ini terlalu berlebihan untuk seorang pembantu? Kenapa sikapnya begitu baik? Tapi dengan cepat segera kutepiskan pikiran itu. Tak baik aku menafsirkan kebaikannya ini dengan adanya maksud tertentu. Tak kan mungkin ia mulai mencuri perhatianku. Kalau ia mau tentu ia bisa melakukannya pada perempuan lain yang lebih tinggi derajatnya, bukan pada seorang pembantu seperti diriku.
***
Kian hari kami mulai terbiasa satu sama lain. Sepertinya ia tak lagi menganggapku sebagai pembantu tapi juga teman bercakap-cakap. Tentu saja ini suatu kemajuan yang tak pernah terpikirkan olehku. Waktu ibunya masih hidup, aku melihatnya seperti majikan kebanyakan. Kaku dan menjaga jarak. Setelah ibunya meninggal, berubah menjadi pemurung dan pendiam. Tapi setelah jatuh sakit tempo hari, ia mulai membuka diri dan tak lagi menyendiri di kamar. Saat di rumah ada saja hal-hal kecil yang ia kerjakan. Mendekorasi ulang perabotan rumah, merapikan tanaman, mengecat pagar, dan lain sebagainya supaya tetap sibuk. Tapi bagaimana pun ia berusaha ramah, tentu aku tak bisa menganggapnya sebagai teman. Ia majikanku. Ia lebih tua sepuluh tahun dariku, dan ia lelaki singel yang kesepian. Dan aku adalah seorang perempuan yang harus tahu diri.
Ketika ia mulai mengajakku keluar untuk menemaninya, sedikit banyak prasangka itu kembali menyeruak juga. Dulu ibunya yang diajak, sekarang aku, dan pikiran itu bersileweran di kepala. Kenapa mesti aku? Kenapa bukan yang lain. Kalau memang ingin pergi, kenapa tak mengajak teman-temannya saja? Atau bisacari pendamping yang lebih pantas. Masa sih nggak ada teman untuk bisa diajak jalan?
“Bisa jadi ia menaruh hati denganmu,” ujar Bang Jun dengan sorot mata cemburu saat aku menceritakan tentang Pak Adri padanya. “Kalau seorang laki-laki sudah memberikan perhatian-perhatian kecil apalagi mengajak jalan, itu pasti ada maksud tertentu.”
Aku terdiam mendengar omongannya.
“Kau suka nggak sama majikanmu itu?”
Aku tersentak.
“Abang kok nanya seperti itu?”
“Lebih baik kamu jujur saja agar hubungan kita tak menemui hambatan dan jelas. Jujur saja, menghadapi saingan seperti dia, aku pasti kalah. Aku hanya seorang pedagang kecil, tak punya apa-apa. Sedangkan dia?”
“Kalau Abang nanya seperti itu, maka jujur aku jawab, aku lebih suka Abang. Walau pun Abang hanya pedagang kecil, tapi aku tetap suka. Aku bilang kalau Pak Adri mulai mengajakku jalan, itu supaya Abang tidak cemburu tapi paham kalau itu bagian dari pekerjaanku.
Laki-laki itu menatapku tak berkedip.
“Kamu tahu, kenapa aku suka sama kamu?”
Alisku terangkat, ingin tahu jawabannya.
“Walau kamu seorang pembantu, tapi kamu nggak punya tampang pembantu. Wajahmu manis. Sikap dan cara bicaramu juga tidak mencerminkan seorang pembantu. Seharusnya kamu bisa mendapat pekerjaanlebih baik daripada hanya jadi pembantu. Hanya karena nasiblah yang menyeretmu ke sana. Dan kamu tahu apa yang aku takutkan?”
Alisku semakin terangkat.
“Majikanmu itu juga melihat hal yang sama sepertiku.”
Ia menggenggam tanganku. Hidungku pun kembang karena gede rasa. Aku tak berkomentar apa-apa kecuali menyenderkan kepala ke bahunya yang kokoh. Angin laut kian kuat berhembus menyapu wajahku. Debur ombak terus setia menghempaskan diri di bebatuan karang. Senja semakin temaram setelah matahari tenggelam di cakrawala. Aku tak mau memikirkan hal-hal yang menggangu kebersamaan kami ini. Berdua bersamanya terasa selalu indah. Inilah yang aku senangi bila bebas dari rutinitas yang ada. Dua kali dalam sebulan aku memang bebas tugas, suatu hal yang jarang di dapat dari orang-orang seperti aku.
***
Ia tengah bicara dengan laptop yang sedang terbuka di hadapannya di ruang tengah malam itu. Aku membawakannya segelas teh hangat dan menaruhnya di meja di samping laptop. Di layar ternyata ada wajah adik bungsunya, Mira, dan mereka sedang berkomunikasi dua arah.
“Kamu betah kan, di sana?” tanya Pak Adri
“Iya, Bang. Lumayan asyik suasananya di sini.”
“Selesai magangnya kapan?”
“Sebulan lagi. Tapi mumpung aku lagi di sini, Abang ke sini dong, nanti aku ajak keliling-keliling.”
“Boleh juga! Tapi nggak akan mengganggu pekerjaanmu nantinya?”
“Enggaklah! Jadwalnya bisa aku atur. Pokoknya Abang sediakan waktu kapan bisa pergi ke sini.”
“Itu bisa diatur. Banyak tempat yang layak dikunjungi di sana nggak?”
“Banyak dong! Abang bisa mengunjungi Menara Taming sari, gedung-gedung tua bersejarah seperti St. Paul’s Hill, Red Building, St, John’s Fort, Memorial Hall, Jonker Street, Mini Lisabon, dan banyak lainnya,” adiknya penuh semangat menjelaskan.
“Seperti nama asing semua?”
“Lha, kan ini kota tua peninggalan Portugis, Belanda dan Inggris. Di sini ada Taman Mini, Museum Cheng Ho, danKuil Sam Po Kong juga lho!”
“Wah, menarik juga, tuh! Sebenarnya Abang juga udah ada niat mau pergi liburan, tapi bingung mau ke mana. Sendirian aja nggak seru!”
“Makanya ke sini, mumpung aku lagi di sini.”
“Iya deh, nanti Abang lihat jadwal kapan Abang bisa.”
“Oke, Mira tunggu, ya? Tapi jangan lupa kiriman uangnya? Benar-benar lagi bokek, nih! Terlalu banyak pengeluaran bulan ini.”
“Iya...iya...”
“Udah dulu ya, Bang! Mira mau tugas sebentar lagi,” adiknya itu pun memutuskan hubungan. Aku yang berdiri tak jauh dari situ terbengong-bengong betapa mudahnya mereka berkomunikasi. Walau saling berjauhan, masih bisa bertatap muka.
“Kenapa kamu bengong begitu, Mar?” tanyanya melihatku yang masihberdiri di sana.
“Jaman udah semakin canggih saja ya, Pak. Walau saling berjauhan, tapi bisa bertatap muka dan bercakap-cakap.”
“Ini namanya Skype, Mar. Udah hal yang biasa, kok.”
“Tapi bagi saya tetap saja luar biasa.”
Ia tersenyum melihat kepolosanku. Sembari menutup laptopnya, ia pun berujar,
“O ya, kamu bersedia nggak kalau aku ajak pergi?”
“Pergi ke mana, Pak?”
“Liburan ke Malaka tempat si Mira.”
“Ke Malaka? Eh...oh.. ng, benar, Bapak mau ngajak saya?”
“Iya, tapi kamu mau nggak? Kalau enggak ya, tidak apa-apa!”
“Eh, mau Pak! Saya mau!” spontan aku mengangguk-angguk seperti burung pelatuk. Diajak pergi liburan? Mimpi apa aku semalam?
“Tapi... kamu belum punya paspor ya?”
“Ng...eh... iya, belum, Pak!”
“Iya deh, nanti aku urus paspormu supaya bisa ikut.”
“Terima kasih, Pak! Terima kasih...” aku tak tahu harus bicara apa. Diajak pergi liburan? Tak pernah terlintas di pikiranku. Betapa baiknya dia. Hatiku langsung diliputi rasa senang. Saking senangnya aku tak berpikir apa-apa. Seumur-umur aku belum pernah ke mana-mana. Sekali pergi aku langsung ke Malaka! Apa yang harus aku bilang sama orangtua di kampung? Bagaimana nanti tanggapan Bang Jun? Aku ke sana bukan jadi TKI, tapi pergi liburan!
“Tapi kamu harus janji satu hal!” ia kembali menyadarkanku.
“Apa pak?”
“Kamu harus lebih rajin lagi bekerja.”
“Bukannya selama ini saya udah rajin, Pak?”
“Iya...iya...kamu udah rajin, tapi harus ditingkatkan lagi!”
“Baik, Pak, saya janji!”
“Satu hal lagi, kamu mesti janji...”
“Apa lagi, Pak?”
“Jadi orang nggak boleh nyolot!” ia mendelik.
Bahuku langsung mengendik.
“Kalau itu saya nggak bisa janji...”
“Emang kenapa?”
“Soalnya udah bawaan orok!” jawabku polos. Ia tertawa lepas. Baru kali ini ia kulihat tertawa tanpa beban seakan-akan semua kepedihan yang mendera setelah kepergian ibunya menguap sudah.
“Ah, Mar! Mar! Ternyata kamu bisa membanyol juga. Aku mulai suka sama kamu!”
***
Ternyata ia memang tidak bohong. Ia membuatkan paspor untukku, dan sebulan kemudian ia benar-benar mengajakku pergi ke Malaka. Aku bahagia, karena bisa jalan-jalan sekaligus merasa jadi pembantu yang paling beruntung sedunia karena punya majikan yang sangat baik.
Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Dari Batam menyeberang ke Singapura, dan dari negara pulau itu menuju Johor dengan naik bus, dan perjalanan terus dilanjutkan menuju kota Malaka. Pengalaman yang paling unik aku temukan yakni banyak yang menyangka kami pasangan suami-istri. Menanggapi hal itu, Pak Adri hanya senyum-senyum saja.
Begitulah, terlalu banyak pengalaman baru yang aku dapatkan bersama Pak Adri. Ia mengaku juga senang ada yang menemaninya kali ini. Tapi tentu saja aku tetap menjaga jarak karena ia adalah majikanku. Satu hal yang tak pernah aku bayangkan kalau ternyata, ketika kami sampai di tujuan, Mira, agak kaget melihatku. Tampaknya ia tak menyangka sama sekali kalau aku ikut bersama abangnya. Dan selama aku di sana tatapannya selalu curigaseakan-akan aku dan kakaknya itu ada apa-apa. Namun aku tetap menjaga sikap baik karena memang tak ada apa-apa antara kami. Tapi melihat sikap kakaknya itu yang tidak seperti biasanya, ia semakin curiga saja, dan aku semakin jadi sasaran ketidaksenangannya. Liburan yang seharusnya menyenangkan agak terganggu dengan sikapnya yang tidak bersahabat. Namun aku berusaha tidak peduli. Ke mana Pak Adri mengajakku, aku dengan setia mendampinginya. Ini liburan pertamaku ke luar negeri dan aku tak ingin yang lain merusak suasananya.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H