Hujan semalam menyisakan embun bening di ujung dedaunan di pagi itu. Mak Anis sudah dari subuh terbangun untuk bersiap-siap berangkat ke lereng bukit tak jauh dari rumahnya untuk mengumpulkan pucuk-pucuk paku yang hendak dibuat masakan teramat spesial di keluarganya. Randang paku. Sudah cukup lama Mak Anis tak lagi membuat randang paku, semenjak anak-anaknya tidak lagi tinggal bersamanya. Mereka sekarang sudah besar, berkeluarga, dan menetap di kota. Pulang kampung hanya setiap lebaran, itu pun tak semua dari keempat anaknya bisa pulang. Ada saja yang berhalangan dengan berbagai alasan. Kalau tidak si sulung, Reno, yang sering terikat pekerjaan, atau si bungsu, Pia, yang ikut suami pulang ke Jawa. Hanya anaknya yang tengah, Sabir dan Ina rajin pulang. Bukannya Mak Anis tidak mensyukuri kiriman uang sebagai pengganti kehadiran, tapi kerinduan untuk bisa kumpul bersama yang sangat ia dambakan.
Kadang dalam kesendiriannya mengisi hari-hari di rumah gadang, Mak Anis sering melamun, melempar ingatan jauh ke belakang, membayangkan ketika anak-anaknya masih kecil, saat-saat masa pertumbuhan. Walau mereka sering berkelahi satu sama lain berebut apa saja, tapi ada satu hal yang menyatukan mereka. Randang paku buatan sang ibu. Mereka boleh saja berbeda sifat dan kelakuan, tapi rendang paku buatannya telah menyatukan mereka di meja makan. Tak satupun dari anak-anaknya yang tidak mengakui, randang paku buatannya nomor satu. Membuat mereka makan batambuah, mengikis semua yang ada di piring jadi tak bersisa. Melihat anak-anaknya makan dengan lauk randang paku buatannya dengan lahap, hilang sudah semua rasa penat, berganti bahagia yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Betapa akurnya mereka di meja makan dengan randang paku sebagai pemersatu.
Sebenarnya ia sendiri merasa randang paku buatannya biasa-biasa saja. Banyak orang yang lebih lihai memasak masakan berbagai rupa. Dan di mata Mak Anis, randang paku buatannya tidaklah  begitu istimewa. Semua bahan-bahannya biasa, pucuk paku, ikan tongkol, santan kelapa, cabe yang digiling halus, jahe,  lengkuas, kunyit, asam kandis, serai, bawang putih, bawang merah, daun salam, dan daun asam. Hanya itu, tidak kurang tidak lebih. Hanya saja takarannya yang berbeda. Dan soal takaran inilah yang membuat cita rasa jadi berbeda, ditambah dengan cara tangannya mengolah dan memadukan bumbu-bumbu. Bukankah setiap masakan terasa berbeda tergantung tangan yang mengolahnya?
Dan Mak Anis berangkat ke lereng bukit pagi itu. Sendirian menyusuri jalan setapak yang terasa licin sehabis hujan. Sebenarnya ia bisa saja meminta tolong pada Ibet, janda sebelah rumah yang sering membantu kesehariannya. Namun Mak Anis tidak ingin orang lain yang mengambil daun paku untuk randangnya. Ia akan memilih dan memetik sendiri pucuk-pucuk paku terbaik dengan tangan tuanya. Ia tahu mana pucuk paku yang terbaik, yang enak dibuat randang. Pucuk-pucuk yang tunasnya bergelung sempurna, yang mempunyai bulu-bulu halus pada tangkainya, yang warnanya hijau pekat kecoklatan. Â Bukan paku yang telah berdaun dan berwana terang.
Ia telah menyusun rencana matang semenjak beberapa hari lalu. Saat menerima telepon dari si sulung Reno kalau ia akan pulang bersama anak dan istrinya, randang paku langsung terbayang. Sudah tiga tahun ini ia tidak pulang. Tentu saja kepulangannya kali ini akan disambut dengan lauk kesayangan.
***
Matahari baru saja sepenggalan naik. Hujan tadi malam membuat tetumbuhan di lereng bukit begitu segar dan Mak Anis dengan matanya yang masih awas membungkuk memetiki pucuk-pucuk paku di rerimbunan semak di pinggir jalan setapak. Lincah tangannya memilih dan memilah, dan tak butuh waktu lama ia melakukan itu. Dalam waktu seperempat jam saja sudah berhasil mengumpulkan pucuk paku segar. Ketika merasa cukup, Â ia pun pulang dengan dua ikat besar pucuk paku segar di tangan. Sinar matahari pagi yang sejuk menyinari kulit keriputnya yang berpeluh oleh keringat. Sesekali ia menyeka dengan ujung selendang yang menutupi kepalanya. Dengan langkah gegas ia pulang untuk selanjutnya bersiap-siap ke pasar, untuk membeli bahan-bahan untuk randangnya, terutama kelapa dan ikan tongkol.
Ikan tongkol segar harus ia dapatkan untuk randang paku terbaik, tak peduli harganya lebih mahal. Kualitas terbaik tentu sebanding dengan harga dan ia sudah menyiapkan semuanya. Sebentar saja ia di rumah. Setelah meletakkan paku di wadah nampan, cepat ia mencuci tangan dan membasuh muka dan mengganti baju untuk kemudian pergi ke pasar.
***
Siang menjelang. Mak Anis sudah bejibaku di depan tungku. Ikan tongkol sudah dibersihkan dan dipotong-potong. Daun paku sudah pula ia siangi. Bumbu-bumbu sudah ia haluskan. Bawang merah, bawang putih, jahe, cabe sudah menjadi satu. Kelapa sudah berubah menjadi santan berwarna putih susu.
Api ditungku sudah ia nyalakan. Asap putih bergulung-gulung di udara saat ia meniup pipa penghembus tungku. Sesekali matanya mengerjap menghindari mata dari kelilipan. Ditaruhnya kuali besi yang kehitaman di atas tungku. Tahap pertama ia akan menggoreng ikan tongkol yang telah dilumuri bumbu, campuran bawang merah bawang putih dan jahe serta sedikit garam. Ketika minyak telah cukup panas, ia pun mulai menggoreng potongan ikan tongkol. Ikan langsung berubah memutih saat terendam minyak yang menggelegak. Bunyi mendesis berbaur dengan aroma ikan goreng di udara. Â Sekejap dapurnya dipenuhi bau ikan tongkol goreng.