Mohon tunggu...
Boyke Abdillah
Boyke Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya manusia biasa

sahabat bisa mengunjungi saya di: http://udaboyke.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Si Kecil Ngambek Nggak Mau Ikut Lomba Makan Kerupuk

17 Agustus 2017   19:57 Diperbarui: 15 September 2017   20:59 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, ketika menjemput si Sulung pulang sekolah, ia tampak tidak seperti biasanya. Wajahnya ditekuk, seperti orang yang lagi sebal, seperti ada sesuatu yang menggerogoti pikirannya. Ketika aku tanya ia diam saja. O iya, anakku perempuan baru duduk kelas 3 sekolah dasar.

Sudah lebih dari 10 menit di atas motor, ia masih saja diam. Biasanya ia selalu berceloteh tentang apa saja yang ia alami di sekolah. Tapi tidak kali ini.

"Kamu kenapa sih? Tidak biasanya seperti ini? Ada masalah, ya, di sekolah tadi? Cerita dong sama Baba, siapa tahu Baba bisa bantu." Aku masih berusaha membujuknya. Aku sadar, bukan membujuk sebenarnya, tapi nyiyir dan kepo urusan sang anak. Tapi sebagai orangtua, kan mesti bin kudu tahu urusan sang anak. Takutnya ia mengalami perundungan oleh teman-teman sekolahnya. Hari gini kan banyak sekali peristiwa-peristiwa seperti itu. Tempo hari aku masih ingat ada temannya ngadu kalau ia sempat dimarahi ibu guru karena bicara jorok di kelas. Aku sempat shock juga, malu sebagai orangtua dikira nggak mampu mendidik anak sopan santun di rumah. Aku sempat emosi, nggak kroscek dulu. Alhasil ia kumarahi dan meminta istri untuk menyelidiki lebih lanjut. Ternyata, ia bukan bicara jorok di kelas. Jadi ceritanya waktu itu, teman cowoknya gangguin dia, dibilang si kecilku suka niru-niru temannya itu. Saking kesalnya, membentak temannya itu dengan kata-kata lantang "Niru bapak lo!" Ibu guru yang mendengar omongan itu, langsung menegur anakku dan dinasehati. Oalah, pasti ia kebanyakan nonton tivi.

Setelah melewati keheningan di jalanan yang ramai, akhirnya ia buka suara juga.

"Aku  nggak mau lagi ikut memeriahkan acara 17 Agustusan di sekolah. Pokoknya Eya nggak mau, Baba!"

"Memangnya kenapa?"

"Di kelas satu, Eya disuruh ikut lomba makan kerupuk. Kelas dua juga ikut lomba makan kerupuk. Di kelas tiga masih disuruh Bu Guru ikut lomba makan kerupuk. Eya nggak mau lagi!" jawabnya penuh emosi. Mendengar pengakuannya, aku nyaris tertawa. Jadi itu masalahnya? Ia dongkol gara-gara wali kelasnya  memilih dia untuk mewakili kelasnya lomba makan kerupuk.

"Masa aku terus yang disuruh ikut lomba makan kerupuk? Menang juga pernah. Kenapa nggak yang lain saja? Eya lagi! Eya lagi! Kesal tau!"

Aku semakin susah menahan diri untuk tertawa. Sungguh nggak lucu menghadapi orang yang lagi kesal dengan menertawakannya. Aku pikir ia ada masalah apa, ternyata hanya masalah sepele.

"Kalau nggak mau ya, nggak apa-apa. Kamu kan tinggal bilang sama ibu guru. Kamu bisa ikut lomba yang lain."

"Aku mau ikut lomba fashion show. Tapi Bu Guru sudah memilih yang lain. Makanya aku kecewa." Anakku membuat pengakuan. Aku tidak jadi tertawa. Ini ternyata berat masalahnya. Kalau aku di posisi dia, dan menggunakan cara berpikirnya, betapa ia malu Cuma kebagian ikut lomba makan kerupuk. Mulut manyun-manyun menggapai kerupuk yang digantung sementara teman-temannya bersorak-sorak saling tertawa. Beda sekali kalau ikut fashion show. Dengan dandanan yang aduhai, jalan lenggak-lemggok di pentas dan orang berdecak kagum mengamati dan memuji. Sungguh bertolak belakang. Pasti itu yang ada dipikirannya. Makanya ia tidak mau ikut lagi lomba makan kerupuk. Anak sekarang memang beda dengan jaman aku kecil dulu. Nggak terpikir dan membedakan lomba apapun. Yang penting ikut dan hati senang. Anak sekarang? Ya, mungkin ini efek dari kemajuan jaman, dimana sudut pandang dalam menilai sesuatu hanya dari luar saja.

Aku memberhentikan menepikan motor dan memberhentikannya. Aku pun turun dan meminta ia juga turun.

"Eya, Baba mengerti apa yang kamu pikirkan. Kamu merasa malu, kan? Pengin ikut lomba yang menurutmu lebih bergengsi? Satu hal yang harus kamu tahu. Maksud dari lomba yang diadakan disekolah kamu itu bukanlah untuk membeda-bedakan antara siswa. Kamu dipilih ibu guru, karena kamu dipercaya dan mampu untuk bisa bersaing dengan kelas lain. Diantara teman-temanmu, bukankah kamu yang lebih tinggi? Bisa makan kerupuk dengan mudah? Beda dengan kawan-kawanmu yang tingginya lebih rendah darimu?

Asal kamu tahu, Baba dan Mama tak peduli kamu ikut lomba apa. Kami akan senang kalau kamu dipilih ikut lomba apa saja, tak peduli kamu ikut lomba makan kerupuk sekalipun. Asal kamu melakukannya dengan senang hati, dan berjuang melakukan sebaik mungkin dan syukur-syukur bisa menang, Baba dan Mama pasti akan bangga dengan kamu. Yang penting, kamu tunjukkan semangat juangmu. Bisa ikut serta membela nama kelasmu bersaing dengan kelas lain. Itu lebih dari cukup."

Anakku terdiam. Tapi ia merasa belum puas dengan penjelasanku. Dan aku tidak bisa memaksanya ikut lomba yang tidak ia suka.

Hari ini di acara 17 Agustusan, seperti biasa, aku mengajaknya menyaksikan lomba panjat batang pinang. Ini merupakan kesukaannya dari kecil, menyaksikan sekelompok orang berkotor ria, bahu membahu dan saling bekerja sama mencapai puncak batang pinang meraih hadiah yang tergantung. Sekali lagi aku menjelaskan ke dia, bahwa orang-orang itu tidak merasa malu melakukan hal itu. Yang penting ikut berpartisipasi sesuai dengan kemampuan masing-masing memeriahkan acara 17 Agustusan. Ia tampaknya lebih paham sekarang. Sampai akhirnya ia berkata ketika pulang dari kemeriahan lomba di kampung,

"Nanti kalau ada acara class meeting, Bu Guru menyuruhku lagi ikut lomba makan kerupuk, aku akan ikut, Ba" katanya biasa saja. Aku tersenyum bahagia.

Bagiku sebagai orangtua, menanamkan nilai-nilai luhur pada anak, adalah hal penting. Karena anak adalah generasi penerus bangsa. Kalau dari kecil sudah menilai sesuatu hal dengan cara yang salah, nanti akan terbawa di usia dewasa. Apa yang bakal terjadi, kalau kecil saja sudah menilai sesuatu dari luarnya saja, sesuatu Cuma karena gengsi dan tampak luar, bukan yang esensi dan substansi, akan kacau negeri ini.

Sesuatu dimulai dengan yang kecil-kecil dulu. Sebagai orangtua, aku merasa punya kewajiban untuk mendidik anak dengan cara yang baik, lebih ke sustansi bukan hanya gengsi. Sebagai orangtua aku ingin mempersembahkan generasi yang baik untuk kelangsungan Indonesia. Dirgahayu Indonesiaku tercinta...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun