Pertama, radio merupakan media yang bisa didengarkan dengan mudah dan kondusif kapan saja dan di mana saja kita berada. Orang mendengar radio tidak perlu berhenti melakukan aktifitas lainnya. Ini yang tidak dimiliki oleh media lain seperti TV. Ibu-ibu yang sedang memasak tidak terganggu aktifitasnya. Orang yang sedang bekerja di kantor, atau  dimana saja tak perlu berhenti melakukan pekerjaannya demi mendengar radio. Lagi menyetir pun bisa mendengarkan radio sebagai pengusir rasa sepi dan kantuk. Radio mengandalkan indera pendengaran untuk dapat menikmatinya, sedangkan TV mengandalkan indera visual sehingga butuh perhatian dan konsentrasi yang tinggi.
Kedua, dibandingkan media cetak, radio juga lebih unggul. Tak banyak orang yang suka membaca, bahkan banyak orang yang malas membaca, terbukti dengan minat baca masyarakat Indonesia masih tertinggal jauh dengan negara lain. Tapi mendengar radio, semua orang bisa mendengar sambil melakukan aktifitas lain, tanpa perlu bisa dan mau membaca.Â
Ketiga, radio sudah menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman.  Bentuk  fisiknya tidak lagi seperti kotak atau susah dibawa kemana-mana. Siapa sekarang yang tidak punya HP? Nah, aplikasi radio sudah ada di HP. Jadi kemana pun kita pergi dan  dimana pun kita berada, radio bisa didengarkan, bahkan bila mati lampu sekalipun selagi baterai HP masih terisi. Dengan kata lain, kalau beli HP untuk komunikasi,  ada bonus radio di dalamnya, jadi tak perlu anggaran khusus.
Keempat, dibandingkan media sosial, jelas-jelas radio tak akan membuat sesorang yang dekat terasa jauh dan jauh terasa dekat. Sudah tahu kan, kalau medsos justru membuat penggunanya larut didalamnya tanpa peduli sekelilingan?
Itu beberapa keunggulan radio dibanding media lain. Jadi kalau BNPB melakukan sosialisasi sadar bencana lewat sandiwara radio menurut hemat saya, adalah langkah tepat. Dulu, pernah  ada, kan, sandiwara radio yang cukup terkenal di masyarakat seperti Butir Butir Pasir di Laut, Saur Sepuh, Misteri Gunung Merapi? Bahkan Catatan si Boy juga diangkat dari sandiwara radio.
Sampai sekarang masyarakat masih gandrung dengan sandiwara terutama di TV dan bioskop. Terutama kalangan ibu-ibu. Kalau sudah mendengarkan sinetron bisa lupa segalanya. Sandiwara radio juga bisa kembali berjaya, dan edukasi akan sadar bencana bisa sejalan kalau dikemas dengan menarik. Dibandingkan dengan sinema elektronik, pembuatannya pun jauh lebih praktis dan hemat, karena radio mengandalkan sound effect untuk menarik pendengarnya. Tentu saja yang perlu diperhatikan adalah:
- Jalan cerita harus menarik dan misi edukasi dan sosialisasinya tergarap dengan apik.
- Pengisi suaranya harus berkarakter dan mikrofonis sehingga berkesan bagi pendengarnya. Masih ingat kan bagai mana suara Ferry Fadly, Elly Ermawatie, atau Maria Oentoe menyihir pendengar? Saking terpesonanya, saya masih ingat waktu Kuliah Kerja Nyata (KKN) dulu, ada anak yang dikasih nama Eli Ermawati sama orangtuanya karena suka sama pengisi suara Elly Ermawatie.
- Tidak hanya sekadar mendengar sandiwara radio, tapi sebaiknya juga ada interaksi dengan pendengar. Kalau untuk mendengar sandiwara saja, misi edukasi dan sosialisasi, bisa jadi tidak tercapai dengan sempurna. Di akhir tayangan sandiwara, bisa diisi dengan kuis untuk mengetahui sejauh mana pendengar paham. Tentu saja dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kesadaran akan bahaya bencana alam. Hadiahnya, tentu yang bermanfaat untuk  persiapan menghadapi bencana, seperti tas yang bisa diisi pakaian, termos, emergency light, senter, kotak P3K, dsb. Untuk mengumpulkan hadiah itu, tentu saja bisa dengan menggandeng sponsor terkait. Jadi masyarakat selain bisa terhibur, teredukasi, juga dapat sesuatu yang bermanfaat.
Memang, untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat bukan persoalan yang gampang, apalagi menjadikannya sebagai budaya. Segala upaya dan cara harus dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat tak terkecuali melalui sandiwara radio. Dengan sandiwara radio, masyarakat bisa tersadarkan dan bisa menerapkannya dalam kehidupan nyata. Terutama di wilayah-wilayah yang beresiko tinggi terhadap bencana.Â
Apa pun bentuk bencananya, baik itu gempa, banjir, tanah longsor, kebakaran, dan maupun daerah rawan konflik sosial. Dengan edukasi terus menerus, maka kesadaran akan timbul, dan kalau diterapkan dalam kehidupan nyata bisa jadi budaya sehingga bila musibah itu datang, meski tak satupun orang mengaharapkannya, masyarakat siap menghadapinya dan resiko kehilangan nyawa bisa diminimalisir. Â
Selain berusaha meminimalkan resiko, mari kita berdoa agar tidak ada lagi bencana yang merenggut banyak nyawa anak negeri ini.
Sumber foto di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H