Makan adalah naluri manusia. Di samping sebagai makhluk individu, manusia juga makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia saling berinteraksi dengan yang lain. Ketika berinteraksi, satu hal menyenangkan yang dilakukan adalah aktifitas makan bersama. Banyak tradisi di dunia ini yang berhubungan dengan makan bersama. Setiap daerah di Indonesia juga punya tradisi dengan nama yang berbeda tapi intinya makan bersama. Bukan saja pada hari besar seperti hari raya keagamaan, hajatan, makan bersama bisa juga dilakukan saat bertemu dengan kerabat yang datang. Mereka dijamu dengan hidangan, yang walaupun pada saat itu tidak ada makanan, tuan rumah akan mengupayakan untuk memasak atau beli makanan yang sudah jadi. Tidak etis kalau sanak famili datang dari jauh, tidak dijamu makan.
Di Sumatera Barat atau Minangkabau seperti daerah lainnya di Indonesia juga punya tradisi itu. Saya masih ingat, ketika kecil dulu setiap sanak saudara yang datang ke rumah apalagi yang jarang-jarang datang, orangtua dengan cekatan menyiapkan makanan. Pun kalau mereka akan pulang, ditahan dulu. Belum boleh pulang, kalau tidak makan. Maka sibuklah emak menyiapkan segalanya. Dan satu hal yang saya ingat, kalau makan bersama tidak di meja makan, tapi di lantai. Setelah kursi-kursi disingkirkan, tikar digelar, dihidangkanlah makanan yang ada. Dalam pandangan saya waktu itu, sungguh pengalaman yang menyenangkan. Ada sensasi yang berbeda makan bersama atau bahasa Minangnya makan barapak alias lesehan dibandingkan dengan makan di meja makan. Suasananya lebih guyub dan akrab.
Kalau boleh dituliskan, waktu saya kecil dulu, kami sekeluarga juga punya ritual makan bersama. Biasanya makan malam. Tapi sangat jarang secara bersama-sama di meja makan. Pada saat makan, saya dan saudara lebih sering di ruang tengah sembari nonton tivi. Orangtua tidak marah, membiarkan kami makan seperti itu. Tapi pada saat seperti itulah emak dan bapak, saya lihat saling berkomunikasi dengan akrab, tanpa diganggu karena kami sibuk dengan ‘dunia kami’.
Saat makan, tak banyak aturan yang diterapkan. Siapa yang harus mengambil makan lebih dahulu atau bagaimana cara makan. Yang pasti, makanan harus dihabiskan, tidak boleh berserakan dan tidak boleh menyela kalau bapak dan emak lagi ngomong. Sesederhana itu.
Tapi, ya, namanya anak-anak tentu saja kami punya kebiasaan konyol tak terkecuali saat makan. Kami akan membentuk gank-gank an berdasarkan motif piring yang dipakai. Kalau motifnya sama, otomatis akan bersatu. Ada yang berdasarkan motif bunga, ada yang berdasarkan motif gerigi di pinggir piring. Terus juga ada balapan makan. Ini yang paling seru. Kami berempat bersaudara dan beda usia hanya terpaut 2 tahun - 2 tahun dari yang tertua sampai yang bungsu. Kami berusaha menghindari urutan nomor 2 dan nomor 6 selesai makan, karena ada lagunya juga. Lagunya seperti ini:
“1 menantu, 2 kecewa, 3 mentega, 4 ketupat, 5 delima, 6 terbenam, 7 maju, 8 papan, 9 bulan, 10 dapat kue bolu.”
Jadi, berdasarkan lagu itu, kami menghindari nomor 2 dan 6. Soalnya takut kecewa dan terbenam. Hahaha...dasar bocah!
Yang saya ingat, kami seru-seruan saja. Emak dan bapak hanya senyum-senyum melihat tingkah anaknya. Kadang nyelutuk: “Kalian ini konyol sekali!”
Ya, itu pengalaman makan bersama, saya dan keluarga, dulu sekali. Sekarang ini, di saat kami sudah dewasa dan punya anak, kalau lagi ngumpul dan bercerita kenangan masa lalu, yang ada adalah ketawa ngakak.
Momen-moment seru lainnya adalah ketika bapak dan emak mengajak kami makan di luar. Kami punya tempat makan favorit, namanya Bopet Garuda. Lokasinya di Fase VII komplek Pasar Raya Padang. Idih...soto padangnya enak bingits. Apalagi ditambah dengan jus alpukat yang yang tak kalah nikmat. Pokoknya, hati riang dan senang karena bapak hanya mengajaknya sesekali.
Masa Dewasa dan Berkeluarga.