Sebelum tragedi 13 November 2015 di Paris, Islamophobia di negara-negara barat sudah terjadi dan cenderung meningkat. Sebuah observatorium anti rasisme Perancis merilis data pasca serangan Charlie Hebdo Januari 2015 lalu, terjadi peningkatan Islamophobia di Perancis enam kali lipat dibanding tahun 2014. Dari tahun 2011 hingga 2014 juga terjadi peningkatan 500 persen.
Itu baru di Perancis. Di Inggris juga ada peningkatan yang signifikan. Belum lagi di negara-negara barat lainnya, juga di AS dan Australia. Di Australia sendiri pada pasca serangan di Lindt Cafe, Sidney Desember tahun lalu, media sosial di sana juga dihebohkan oleh posting viral yang dibuat oleh seorang wanita yang melindungi seorang perempuan Muslimah di kereta yang berusaha menanggalkan jilbabnya karena ketakutan akan diserang oleh anti-Islam sehingga peristiwa itu terkenal dengan taggar #Istandwithyou.
Ada kejadian konyol akhir Oktober lalu, sebuah rumah mode khusus Muslimah di Sidney, Hijab House, sedang melakukan pengambilan gambar di dekat sebuah museum pangkalan militer Victoria Barrack. Syuting atau pengambilan gambar untuk mempromosikan produk hijab terbaru terpaksa dihentikan karena polisi mencurigai jilbab-jilbab dan pakaian muslimah yang digantung di pagar adalah perlengkapan perang. Polisi berdalih melakukan hal itu berdasarkan 'hal-hal yang terjadi di luar negeri.'
Atau kejadian lainnya di Inggris. Di sebuah gerbong kereta yang padat saat jam kerja, ada barisan kursi kosong yang tidak mau diduduki oleh penumpang lainnya. Mereka lebih sudi berdiri cuma gara-gara ada seorang perempuan Muslimah menggunakan niqab duduk dekat situ. Melihat hal itu ada seorang pria berani duduk di dekatnya untuk mencairkan suasana. Pria itu kemudian membuat postingan di akun medsosnya dan segera menjadi viral dan di-like oleh puluhan ribu orang.
Atau kasus lain, masih di Inggris, seorang perempuan kulit hitam beraksen British memaki-maki seorang perempuan berjillbab di sebuah bis kota, mencoba mengusir si perempuan berjilbab itu kembali pulang ke negara (Arab) dan divideokan oleh penumpang lain kemudian diunggah, mendapat banyak kecaman oleh netizen.
Itu baru secuil kisah-kisah Islamophobia di Eropa dan Australia. Kalau ingin tahu lebih banyak, silakan googling saja. Dan yang pasti Islamophobia mengalami peningkatan bila ada kejadian-kejadian berupa terorisme yang pelakunya merujuk ke Islam, baik itu nama, etnisitas, atau pun organisasi pelaku teror seperti ISIS, Al Qaeda, atau pelaku tunggal lainnya.
Sebagai umat muslim tentu saja saya geram dan sedih. Geram karena Islam telah dibajak untuk kepentingan politik tertentu seperti yang dilakukan oleh ISIS, Boko Haram, Al Qaeda, Al Shabbab dan lain sebagainya. Islam yang Rahmatin lil Alamin tercoreng oleh perilaku keji pembajak ini.
Ada sekitar 1,6 milyar umat Muslim di seluruh dunia. Berapa banyak yang perilakunya berlawanan dengan ajaran Islam? Saya percaya, sebagian besar dari 1, 6 milyar itu adalah umat yang cinta damai, ingin hidup normal, tidak mau menyakiti sesama manusia apalagi membunuh.
Apa yang terjadi di Paris Jumat (13/10) lalu itu, membuat saya khawatir akan adanya serangan aksi intoleransi yang di alami umat Muslim di negara-negara barat. Mereka bisa jadi kena getahnya akibat ulah para pelaku teror yang mengaku Islam itu.Â
Di Indonesia mungkin tidak akan dirasakan oleh umat Muslim, beda dengan di negara-negara barat di mana mereka minoritas. Walaupun banyak upaya-upaya yang dilakukan dengan mengatakan terrorist has no religion, Islam is religion of peace, Islam condemned the attack, dan sebagainya, namun tetap saja ada yang menggeneralisir itu adalah perbuatan orang Islam. Di media sosial banyak sekali ditemui ujaran atau ucapan yang mengandung kebencian ini.
Banyak umat Muslim yang berusaha untuk melawan Islamophobia ini dengan memuat status di akun medsosnya dengan menggunakan frase: I'm Muslim, I'm not terrorist, I strongly condemn the #Parisattack, bahkan ada juga yang memposting cuplikan surat Al Quran (5;32):