Mohon tunggu...
Boyke Abdillah
Boyke Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya manusia biasa

sahabat bisa mengunjungi saya di: http://udaboyke.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Novelet] Aku dan Majikan #1

28 Januari 2014   13:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:23 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_308766" align="aligncenter" width="300" caption="123rf.com"][/caption]

Sejenak ia menghapus butiran bening yang jatuh di pipi dengan ujung jemarinya.

“Laki-laki tidak boleh menangis, Pak! Jadi terlihat cengeng,” ujarku sembari membetulkan letak bantal di kepalanya.

“Aku nggak menangis!” ia memalingkan wajah. Matanya merah seperti orang yang baru saja menangis dan lubang hidungnya terlihat kembang kempes.

“Kalau nggak nangis, kok matanya basah?” aku menyodorkan selembar tisu yang kuambil dari meja di samping ranjang.

“Ada air yang keluar dari mataku.”

Aku menahan senyum.

“Apa bedanya? Bapak ada-ada saja!”

Ia mendengus, tapi tisu itu diambilnya juga dan segera melap pipinya yang semakin hari semakin gembul saja. Ia memang terlihat pucat. Kasihan sekali melihat ia terbaring tak berdaya begini. Kata dokter, ia hanya kecapekan, tak ada yang benar-benar harus dikhawatirkan. Hanya perlu istirahat total bila ingin segera pulih, dan ia memilih untuk tinggal di rumah sakit, di ruang VVIP dengan fasilitas seperti hotel bintang lima ini. Wajarlah, di usia yang hampir menyentuh empat puluh, tak punya istri apalagi anak, ke mana lagi uang yang harus ia habiskan kalau tidak untuk memanjakan diri?

“Bapak sudah makan?”

“Aku nggak lapar.”

“Obatnya sudah diminum?”

“Belum.”

“Kalau begitu, minum obatnya dulu. Habis itu, istirahat ya?”

“Kau ini dokter atau apa? Jangan mengatur-atur aku!”ia jadi sewot, tapi aku tak menggubris.

“Siapa yang mengatur? Saya cuma mengingatkan. Ya, sudah kalau tidak mau. Itu artinya Bapak memang ingin berlama-lama di sini. Kalau saya jadi Bapak, nggak bakalan mau nginap di sini lama-lama walau pun fasilitasnya kayak hotel begini. Tetap saja ini namanya rumah sakit.”Aku beranjak menutup gorden. Kulirik jam dinding, sudah jam tujuh malam. Sebentar lagi dokter jaga akan datang dan aku yakin ia akan mengatakan persis apa yang aku katakan.

Sudah dua hari ia dirawat di rumah sakit ini. Pulang dari tugas seminggu di anjungan lepas pantai ia merasa tak enak badan. Seluruh badannya lemah tak bertenaga. Saat ke kamar mandi ia pusing dan terjatuh. Pendi, sang supir kantor,membawanya ke rumah sakit.

Aku duduk di sofa yang ada di dekat ranjang. Sofa itu berwarna oranye bermodel kontemporer dan satu lagi yang lebih panjang di dekat jendela kaca. Di samping sofa panjang itu agak ke sudut, ada pot besar berisi bunga-bunga plastik persis seperti asli. Di depan ranjang ada bufet rendah dengan TV layar lebar tapi dalam keadaan mati. Sepintas ruangan ini memang tidak seperti kamar rumah sakit, tapi lebih menyerupai kamar hotel. Sembari mengedarkan pandangan aku bertanya-tanya dalam hati, berapa sih tarif ruangan ini semalam? Ah, apa peduliku?

Keheningan sejenak meliputi kami. Aku duduk dalam diam. Sebenarnya aku ingin pulang saja, mengerjakan sesuatu yang lebih berguna daripada duduk-duduk di sini tanpa melakukan apa pun, tapi ia menyuruhku untuk menemaninya.

“Bapak ingin nonton TV?” tanyaku memecah keheningan.

Ia menggeleng. Aku mengurungkan niat hendak menghidupkan TV itu, padahal aku ingin sekali daripada duduk bengong begini. Aku tak tahu mesti bicara apa dan mau melakukan apa di sini. Sungkan juga berada di kamar ini berdua dengannya.

Ia tampak tenang di ranjangnya, tapi tatapannya menerawang jauh dan pikirannya seakan tak di sana.

“Aku kangen Ibu,” ujarnya tiba-tiba.

Hmm, sudah kuduga, itu yang membuatnya menangis dan bisa jadi membuatnya jatuh sakit. Tapi aku maklum, ia memang sangat dekat dengan ibunya, lebih dekat dari siapa pun yang ia kenal. Aku bisa memahami kesedihan dan kepedihan hatinya.

Aku cukup prihatin dengan kehidupan yang ia jalani sekarang ini. Tak seperti pria mapan lainnya, punya istri dan anak yang mengelilingi, hidupnya hanya terpusat untuk diri sendiri. Pulang kerja atau bertugas, ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar, menghibur diri dengan alunan musik atau tontonan DVD dari koleksinya yang menurutku sudah hampir menyamai koleksi di tempat penyewaan DVD. Begitulah cara ia menghabiskan waktu di rumah setelah ibunya meninggal empat bulan yang lalu. Semangatnya seakan ikut dibawa pergi oleh perempuan itu.

Anak Ibu. Mungkin itu kata yang cocok menggambarkan tentang dirinya, sosok yang ia hormati dan selalu mendampinginya ke mana pun ia pergi. Ia tak sungkan-sungkan atau pun merasa risih mengajak perempuan itu ke mana pun; ke mal, makan di restoran, ke pesta undangan perkawinan, apalagi sekadar berlibur ke luar negeri. Seharusnya perempuan itu senang dengan kehidupan mereka, tapi justru ia merasa bosan, tak ingin ke mana-mana lagi. Ia hanya ingin melihat putra kesayangannya itu menikah lagi. Tapi ia tak peduli. Kata-kata yang sering diucapkannya tetap sama sepanjang waktu,

“Aku hanya ingin membahagiakan Ibu dan aku belum niat untuk menikah lagi.”

Kalau sudah bicara begitu, perempuan itu tak bicara apa-apa lagi. Bisa jadi luka di hati putranya belum benar-benar sembuh.

Ia menghela napas. Tarikannya terasa berat, mungkin seberat apa yang ia pikirkan.

“Akhir-akhir ini aku selalu memikirkan Ibu. Pikiran itu selalu saja datang sepanjang waktu.”

Aku hanya diam mendengar pengakuannya, merasa aneh saja, tak biasa-biasanya ia bicara hal pribadi denganku. Apa karena dalam keadaan seperti ini ia jadi mellow? Meski sudah cukup lama bekerja di rumahnya, jarang sekali ia bicara hal-hal menyangkut emosional begini, hanya sebatas urusan rumah yang memang ia percayakan padaku. Ke dua, ia bukan lagi anak kecil. Ia seorang pria yang telah dewasa dan mapan. Tidakkah ia bisa mengendalikan emosinya? Ah, bisa jadi ia memang sedang butuh teman bicara. Orang terdekat macam saudaranya belum datang menjenguk karena mereka semua ada dilain kota .

“Saya yakin, Ibu sudah tenang di alam sana,” aku berusaha menghiburnya.

“Tapi aku tak bisa membuatnya bahagia.”

“Tentu saja beliau bahagia. Saat pergi,semua anak-anaknya sudah pada dewasa dan mandiri. Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, kalau itu yang bapakmaksudkan.”

Ia menggeleng lemah.

“Bukan itu! ”

Aku menelan ludah, tahu arah pembicaraannya.

“Keinginan Ibu agar Bapak menikah lagi?” tanyaku hati-hati.

“Iya.”

“Kalau itu sih, tergantung Bapak sendiri. Kalau mau, tentu sudah dari dulu bisa punya istri lagi,” aku mengomentari tanpa takut menyinggung perasaannya. “Semua Bapak sudah punya. Tak sulit mendapatkan seorang istri kalau Bapak mau.”

Tatapannya kembali menerawang. Bisa jadi pikirannya melayang melewati gorden, melewati kaca jendela, mengarungi waktu kembali ke masa silam ke peristiwa yang menorehkan luka di hatinya.

Aku tahu persis ke mana pikirannya mengembara.

***

Aku baru delapan belas, berada di rumahnya sebagai pembantu. Waktu itu kehidupannya belum seperti sekarang, maklumlah ia baru bekerja selepas lulus kuliah. Tapi karirnya jelas melesat cepat berkat kepintaran dan tentu saja, nasib baik. Ya, ia memang orang pintar nan beruntung dalam karir tapi tidak dalam kehidupan berumah tangga. Cintanya kandas hanya beberapa hari setelah menikah. Perempuan yang ia nikahi pergi meninggalkannya begitu saja tanpa pesan apalagi jejak.

Aku tahu semua dari ibunya. Seperti wanita tua kebanyakan lain, Ibu Asni suka bercerita tentang kisah pribadinya kepada orang-orang sekitar tak terkecuali tentang Adri, anak kesayangannya, majikanku itu.

“Kau tahu Mar, kami bukanlah dari keluarga berada, bisa jadi dibilang keluarga miskin. Aku hanya penjual gado-gado yang punya tujuh anak, sedangkan suamiku, sudah meninggal semenjak anak-anak masih kecil. Dari penghasilanku, jelas tak bisa membiayai Adri sekolah sampai sarjana. Untung ia dapat beasiswa sejak SD karena otaknya encer. Sewaktu kuliah di Bandung pun, kakaknya paling tua, Rani, yang banyak membantu. Gajinya sebagai SPG lebih banyak dihabiskan untuk membiayai kuliah Adri, makanya tak heran ia selalu patuh pada Rani. Apa pun yang dikatakan kakaknya itu, akan selalu ia dengar.”

“Termasuk soal menikah juga?” tanyaku waktu itu.

“Iya. Ranilah yang menjodohkannya dengan adik kenalannya tempo hari.”

“Mereka sempat pacaran?”

Perempuan tua itu menggeleng.

“Mereka tak betul-betul saling mengenal satu sama lain. Sebelum menikah mereka hanya tiga kali bertemu. Memang nggak bisa sering-sering karena Adri di Balikpapan dan si Hesti di Pariaman.

“Baru bertemu tiga kali, terus langsung menikah?”

“Iya.”

“Kok mau?”

“Pihak keluarga si Hesti itu yang menginginkannya supaya menikah segera.”

“Kalau boleh tahu, berapa uang jemputannya, Bu?”

Ibu Asni hanya tersenyum tipis, tapi jelas menyiratkan rasa bangga.

“Kenapa?”

“Ya, saya tahu kalau di daerah Ibu, pihak perempuanlah yang mengeluarkan uang untuk menjemput mempelai pria.”

“Lumayanlah, sebanding dengan status anakku yang lulusan perguruan tinggi terbaik di negeri ini.”

“Berarti Pak Adri dibeli dong, Bu?”

“Sebenarnya ia nggak mau, tapi maunya pihak perempuan begitu! Untuk menunjukkan ke orang-orang bahwa keluarga mereka termasuk golongan berada.”

“Kenapa diapergi meninggalkan Pak Adri?”

“Ia tak mencintai Adri. Ia dipaksa menikah padahal ia sudah punya kekasih.Ia menunjukkan perlawanan pada orangtuanya dengan cara begitu, tapi anakku yang menjadi korban. Kau lihat kan, anakku itu bukanlah jenis laki-laki yang suka mempermainkan perempuan? Selama ini mana pernah ia berhubungan dengan perempuan lain? Bergaul pun ia jarang. Yang ada di pikirannya hanya pekerjaan. Dulu, waktu sekolah pun begitu, hanya belajar dan belajar kerjanya, tak pernah ke mana-mana.”

“Iya, sih, Bu! Pak Adri jelas terlihat jenis orang rumahan.”

“Makanya itu! Aku menyesali apa yang terjadi dengannya. Perempuan itu yang salah. Tega sekali ia meninggalkan anakku begitu saja. Tapi sudahlah! Mungkin sudah nasibnya memang begitu. Tidak berjodoh.”

Aku masih ingat waktu itu, setelah menikah di kampung, ia memboyong istrinya itu ke sini. Menurutku, istrinya itu tidak terlalu cantik, tapi sebanding dengan Pak Adri yang juga tidak tampan. Sebagai orang yang baru bekerja dengannya, aku agak deg-degan juga dengan istrinya itu. Tampaknya ia lebih pendiam. Jangankan denganku, dengan Pak Adri saja ia tak banyak bicara, tapi waktu itu aku berpikir ia mungkin sedikit asing dengan suasana baru. Justru Pak Adrilah yang sering mengajaknya ngobrol. Hari pertama kulihat mereka habiskan di depan televisi. Hari ke dua, kebetulan Pak Adri harus bertugas ke rig dan meninggalkannya untuk beberapa hari dan kulihat istrinya itu kebanyakan berdiam diri di kamar. Saat berada di ruang tengah nonton tivi, aku melihatnya gelisah sembari memainkan HP di tangan. Rupa-rupanya tak ada acara TV yang menarik perhatiannya, mungkin saja ia gelisah karena merasa kesepian ditinggal pergi bertugas oleh Pak Adri. Aku tak berani mendekatinya karena sungkan sama majikan baruku itu.

Keesokannya lagi, saat aku tengah sibuk di dapur menyiapkan makan siang, ia memanggilku.

“Mar, aku mau keluar sebentar,” ucapnya dengan nada biasa saja.

“Ibu mau ke mana?”

“Ada perlu.”

“Perlu teman? Ibu kan baru di sini?” tanyaku agak khawatir sekaligus ingat pesan Pak Adri untuk menemani istrinya selagi ia tidak ada.

“Nggak usah. Aku bisa pergi sendiri,” jawabnya acuh dan bergegasmenuju ruang depan. Saat itu aku tak ada pikiran apa-apa, hanya sedikit heran atas keberaniannya pergi ke luar sendirian. Itulah saat terakhir aku melihatnya.

Siang berganti sore, sore berganti malam dan ia belum juga kembali. Katanya tadi hanya sebentar saja, tapi kenapa belum pulang juga? Kalau ada apa-apa dengannya bagaimana? Saat malam makin merayap, aku semakin gelisah dan tak tahu harus berbuat apa dan ke mana harus mencarinya. Aku memberanikan diri masuk ke kamarnya yang kebetulan tidak dikunci dan melihat selembar kertas yang terlipat di atas bantal di ranjang. Aku baru tersadar apa yang telah terjadi setelah membaca tulisan di kertas itu.

Untuk “suamiku” Adriansyah....

Bila engkau membaca suratku ini, kupastikan aku tak akan bersamamu lagi. Maafkan aku harus meninggalkanmu. Aku hanya menjalankan keinginan orangtua, itu sudah kulakukan. Sekarang aku memilih jalanku sendiri. Tolong, jangan mencari aku karena saat kau membaca surat ini, aku sudah bersama lelaki pilihan hatiku. Aku berterima kasih kau sudah begitu baik dan tak memaksa untuk menyerahkan milikku yang paling berharga selama beberapa hari kebersamaan kita. Kau boleh mencari penggantiku kalau kau mau. Yang jelas kebersamaan kita berakhir sampai di sini. Sekali lagi, terima kasih atas segalanya.

Salam

Hesti

Aku langsung menelpon Pak Adriseketika itu juga.

(bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun