Ribut-ribut masalah monyet di Jakarta, di mana Jokowi akan melakukan pelarangan terhadap pertunjukan topeng monyet banyak menuai pro dan kontra. Yang pro, mendukung pelarangan itu karena pertunjukan topeng monyet merupakan salah satu bentuk eksploitasi terhadap hewan primata tersebut. Banyak hewan-hewan tersebut dalam kondisi mengenaskan karena dipaksa dan kadang tak dikasih makan oleh pemiliknya, sehingga monyet tersiksa. Yang kontra, mengejek Jokowi karena banyak hal lebih penting dilakukan daripada mengurusi monyet.
Di Sumatera Barat, monyet disebut baruak (beruk), khususnya di Pariaman dipekerjakan sebagai pemetik kelapa. Biasanya si Ajo si pemilik baruak akan berkeliling kampung naik sepeda atau motor dengan Baruak duduk di stang, berkeliling menawarkan jasanya dari satu kampung ke kampung lainnya. Waktu saya ke Pauah Kamba, Pariaman, tempo hari, pernah melihat seorang Ajo keliling kampung menawarkan jasa memetik kelapa. Si baruak dengan gagahnya nangkring di atas stang motor.
Kabupaten Pariaman, Sumatera Barat memang dikenal sebagai sentra penghasil kelapa di SumBar. Hampir seluruh wilayahnya ditumbuhi pohon kelapa.Pohon kelapanya tinggi menjulang hingga beresiko untuk dipanjat oleh manusia. Oleh sebab itu orang-orang di sana memberdayakan baruak/ monyet. Dan saya kira itu bukan bentuk eksploitasi karena sudah sifat orang minang barangkali, tidak mau mengambil pekerjaan yang beresiko tinggi. Mati anjiang se lae, waden loh ka mamanjek batang kambia ko. Ancak lah baruak den suruah. Jadi kalau monyet yang di suruh memetik kelapa, sudah merupakan natural habitnya. Tinggal melatih sang monyet untuk bisa menuruti perintah tuannya memetik kelapa yang tua.
Saya pernah bertanya pada mintuo (bini mamak) orang Pauah Kamba, tentang baruak pemetik kelapa. Katanya untuk setiap 1 buah kelapa yang dipetik, upahnya 200 rupiah ( tak tahulah apa sekarang sudah naik). Seekor monyet mampu memetik buah kelapa hingga ratusan. Kalau bisa memetik 500 kelapa sehari, si Ajo bisa membawa pulang uang 100 ribu. Bahkan bisa lebih kalau monyetnya terlatih.
Kondisi geografis Pariaman memang terletak di kawasan pesisir pantai Sumatera. Tiap kali ke sana, saya terkagum-kagum karena banyaknya pohon kelapa di mana-mana. Di halaman rumah, di parak-parak (kebun), selalu saja ditumbuhi pohon kelapa. Bahkan saya sempat berseloroh, mungkin lebih banyak pohon kelapa di Pariaman daripada jumlah penduduknya. Bahkan konon pernah saya dengar, pemda setempat bakal menerapkan pajak bagi pemilik pohon kelapa. Tak tahulah, apakah penerapan pajak kelapa itu berlaku atau tidak. Karena itulah, profesi pemungut kelapa masih bertahan sampai sekarang. Monyet-monyet tersebut diperjualbelikan dan “ditraining’ untuk terampil membedakan dan memetik buah kelapa. Harga monyet di pasaran dijual dari ratusan ribu sampai jutaan. Monyet betina yang lebih disukai karena penurut dan tak suka melawan.
Pernah sekali saya melihat aksi baruak memetik kelapa. Si baruak dikalungi tali oleh tuannya, dan disuruh memanjat Kelapa. Di puncak pohon, baruak tersebut dengan lincah memelintir kelapa tua dengan kaki dan tangannya. Seahli seorang Rambo memelintir kepala tentara Vietkong. Dari bawah, si Ajo mengendalikan baruak itu pakai tali. Istilahnya “remote control’.
Sekali lagi, saya tak menganggapnya ini bentuk eksploitasi karena saya melihat baruak-baruak pemetik kelapa ini sehat-sehat dan besar-besar. Bulu-bulunya halus seperti bulu kucing peliharaan. Tampangnya juga sangar. Bagi saya orang awam agak ngeri dekat-dekat. Sekali menyeringai takutlah awak dibuatnya. Jadi berkesimpulan baruak tersebut dipelihara dengan baik oleh tuannya, karena mereka tahu, baruak tersebut adalah sumber penghasilannya.
Kalau dibandingkan dengan monyet yang dijadikan artis di Jakarta dan di daerah jawa, memang terlihat bedanya. Monyet-monyetdalam aksi topeng monyet kebanyakan kecil-kecil, kurus dan ringkih. Saya tidak tidak tahu apakah spesiesnya berbeda, karena saya tidak ahli dalam dunia permonyetan.
Saya juga pernah baca di koran beberapa tahun lalu, ada kejadian seekor baruak pemetik kelapa menyerang tuannya sampai mati karena si baruak ini mengamuk karena tuannya marah-marah dan terlalu memforsir tenaganya. Jadinya ia melawan.
Jadi kalau membandingkan antara monyet di Jakarta dan Baruak di Pariaman, mau tak mau harus diakui, kehidupan baruak di Pariaman lebih baik. Di Pariaman, bukan dipekerjakan, tapi diberdayakan karena kerjanya sesuai dengan sifat alaminya, memanjat pohon, dipelihara dengan baik. Bila merasa dieksploitasi, baruak juga bisa protes dan melawan. Kalau tak bisa melawan paling juga stress dan akhirnya gantung diri. Yang rugi toh si Ajo pemilik baruak...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H