Mohon tunggu...
Boyke Abdillah
Boyke Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya manusia biasa

sahabat bisa mengunjungi saya di: http://udaboyke.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ternyata Ada yang Lebih Parah Dari Istri Saya

15 Maret 2015   18:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:37 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14264297471625464316

[caption id="attachment_403018" align="aligncenter" width="539" caption="Ilustrasi Belanja | Foto: Harja Saputra - Kompasianer Hobi Jepret"][/caption]

Saya akan membuat pengakuan. Momen yang paling tidak saya sukai dengan istri adalah menemaninya berbelanja. Soalnya, dia suka menghabiskan banyak waktu (masih mending sebenarnya daripada menghabiskan banyak uang). Kalau membeli barang, nggak cukup sebentar. Suka berkeliling-keliling dulu nggak jelas. Kalau ada model yang cocok, belum tentu cocok harganya. Kalau udah cocok harga dan model, ia akan lihat-lihat dulu yang lain, siapa tahu ada yang lebih menarik. Di pasar pun suka begitu. Niat membeli sayur walau sudah lewat di depan lapak sayur, belum tentu dia membelinya. Pakai acara keliling dulu. Itu baru sayur, belum lagi cabe, lauk, bumbu dapur, tetek bengek lain. Kalau dia melihat saya ngomel, malah sengaja dilama-lamain. Jujur saja, saya lebih suka disuruh mengerjakan yang lain. Tapi dia bisa ngambek dan mendiamkan saya seharian kalau tak mau menemaninya.

Kebiasaan ini sudah mulai terlihat sejak awal menikah dulu. Pernah ada kejadian yang sampai sekarang membekas dalam memori saya. Ia minta diantar beli baju. Tiga jam mutar-mutar nggak karuan di tempat perbelanjaan dan grosiran, belum juga ada yang pas dengan seleranya. Saya pun marah, sebenarnya dia mencari apa? Hampir semua toko dimasuki, tapi tetap nggak ketemu yang dicari. Saya capek, perut lapar, sholat pun bablas. Keluarlah omelan saya. Dia nangis, seharian dia mendiamkan saya. Terpaksa saya minta maaf (bukan karena bersalah, tapi khawatir dia ngadu sama orangtuanya, dan balik saya diomelin).

Memang betul kata sebagian orang. Aktivitas belanja bagi seorang perempuan tidak hanya sekadar membeli barang. Ada olah raga, ada seni menawar, ada unsur wisata, dan unsur lain yang hanya bisa mereka pahami sendiri. Bukankah itu sudah dibilang dalam sebuah iklan suplement koran S**DO di TV?

Beberapa waktu lalu, istri minta diantar untuk beli sepatu kerja. Seperti biasa, kebiasaannya pun kumat, padahal dari rumah saya sudah wanti-wanti hanya beli sepatu, tidak yang lain. Tapi dasar udah bawaan orok, ia tidak langsung ke counter sepatu. Lihat-lihat dan keliling-keliling dulu. Saat melihat baju lagi 'Sale' ia langsung melangkahkan kaki ke sana, gabung sama orang-orang dan mengubek-ubek barang di wagon. Saya disuruh jagain anak. Si kecil paling nggak tahan kalo melihat eskalator. Demennya turun naik tangga. Saya gendong malah meronta. Terpaksa saya turuti kemauannya. Bosan naik turun eskalator, ia pun lari ke sana ke mari nyusruk di sela-sela aisle. Saya lihat istri masih sibuk melihat-lihat baju. Saya samperin dia dan mengingatkan. Ia pun akhirnya melangkah ke bagian sepatu. Dari ujung ke ujung ia ngider kayak Heli SAR mencari lokasi jatuhnya pesawat. Daripada capek hati melihat kelakuannya, akhirnya saya duduk saja di salah satu bangku panjang yang ada di dalam pusat perbelanjaan itu. Untung anak ngekorin ibunya.

Di saat itulah datang ibu-ibu  dan duduk di samping saya. Wajahnya ditekuk kayak orang marah. Matanya tertuju pada seorang lelaki berbaju coklat agak jauh dari kami. Sesekali ibu itu menghela napas panjang, dan terdengar gerutuan.

"Kenapa sih, Bu? Lagi marah ya?" iseng saya bertanya.

"Iya Pak, saya sebel sama suami! Dari tadi mau beli sepatu nggak kelar-kelar. Putar sana, putar sini, lihat ini-lihat itu. Nggak ada yang sesuai dengan keinginannya. Saya aja yang perempuan nggak begitu amat kalau belanja. Bayangin, pak, ini udah lebih dari dua jam, tapi masih belum nemu apa yang ia cari. Tadi saat mau beli tas, juga begitu, malah nggak jadi. Kemahalan, katanya. Padahal saya pikir nggak mahal kok, dia aja yang rese'. Di rumah, kalau dua jam udah bisa saya masak dan beberes rumah." keluarlah uneg-uneg si ibu itu. Saya tertegun. Pengin ketawa juga. Kok, kelakuan suaminya sama seperti istri saya? Untuk menunjukkan rasa empati, saya pun menceritakan apa yang saya alami.

"Tapi, masih mending Pak, istri Bapak masih bisa dimaklumi karena ia perempuan. Lha, suami saya?"

"Iya sih."

Kami pun lanjut ngobrol. Tapi, ya, namanya ibu-ibu, tentu saja ia yang mendominasi pembicaraan mengenai kelakuan belanja suaminya. Tengah asyik curcol, istri saya datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun