Insiden ricuh dalam sidang pencemaran nama baik antara Razman Arif Nasution dan Hotman Paris di PN Jakarta Utara beberapa waktu lalu menjadi bukti nyata degradasi etika profesi advokat di Indonesia. Tidak hanya menolak putusan hakim untuk sidang tertutup, kericuhan ini diwarnai aksi fisik, pelemparan kursi, hingga pengacara yang naik ke meja dan menginjak fasilitas pengadilan. Kasus ini bukan sekadar konflik personal, tetapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam menegakkan kode etik advokat. Â
Berdasarkan data Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), sepanjang 2020-2023 tercatat 327 laporan pelanggaran kode etik advokat, dengan 42 kasus melibatkan kekerasan atau gangguan dalam persidangan. Namun, hanya 15% yang berakhir pada pencabutan izin praktik, sementara sisanya hanya mendapat teguran lisan atau skorsing ringan. Contoh serupa terjadi pada 2019, ketika seorang advokat di Bandung meneriaki hakim dan membongkar dokumen di meja sidang, tetapi hanya dihukum skorsing 6 bulan. Â
Dari perspektif hukum, aksi Razman dan pengacaranya melanggar Pasal 3 dan 4 Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), yang mewajibkan advokat menjaga sopan santun dan menghormati pengadilan. Selain itu, UU No. 18/2003 tentang Advokat (Pasal 6) dan KUHP (Pasal 217) juga mengatur sanksi bagi pelaku gangguan persidangan. Namun, penegakan sanksi masih lemah. Riset Pusat Studi Hukum & Masyarakat (2023) menunjukkan bahwa 75% pelanggaran etik hanya direspons dengan sanksi administratif ringan. Â
Dampak dari pelanggaran etik ini sangat sistemik. Menurut Jurnal Hukum & Pembangunan (2022), 65% masyarakat tidak percaya pada advokat karena citra mereka yang dianggap "hanya mencari keuntungan". Dr. Aisyah Ramadhani, pakar etika hukum Universitas Indonesia, menyatakan bahwa kasus seperti ini "mengikis legitimasi peradilan dan menormalisasi kekacauan di ruang sidang." Â
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi menyeluruh. Pertama, PERADI harus menegakkan sanksi tegas, termasuk pencabutan izin bagi pelanggaran berat. Kedua, advokat wajib mengikuti pelatihan etik berkelanjutan, seperti rekomendasi OECD (2023) yang terbukti mengurangi pelanggaran etik sebesar 40% di Jepang. Ketiga, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu berkolaborasi mengeluarkan pedoman penanganan gangguan persidangan, termasuk kerja sama dengan kepolisian. Â
Kasus Razman vs Hotman Paris adalah alarm bagi seluruh pemangku kebijakan. Tanpa penegakan etika yang konsisten, profesi advokat akan kehilangan public trust, dan fungsi pengadilan sebagai benteng keadilan hanya menjadi mitos. Seperti dikatakan Abraham Lincoln, "A lawyer's time and advice are his stock in trade" - tanpa etika, "stok" tersebut tidak lebih dari komoditas yang rusak. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI