Mohon tunggu...
Boy Daniel Pakpahan
Boy Daniel Pakpahan Mohon Tunggu... Profesional bidang Restoran dan Perhotelan -

life is a blessing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rakyat Tanpa Wakil

24 November 2015   10:50 Diperbarui: 24 November 2015   10:50 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu lalu, ramai terdengar dan terlihat, berbondong-bondong segelintir orang mendeklarasikan dirinya sebagai wakil rakyat, atau calon wakil rakyat. Wajah-wajah mereka terpampang di selebaran, iklan di televisi, iklan di koran dan majalah, iklan berukuran besar di perempatan jalan atau spanduk-spanduk besar kecil berbagai ukuran yang tersebar di seluruh penjuru tempat. Rasanya tidak ada satu ruas tempat yang tida dipenuhi oleh wajah-wajah serupa malaikat yang hendak menjadi wakil para rakyat.

Berbagai janji diumbar dan diucapkan. Pengakuan berbentuk sesumbar bahwa mereka adalah yang paling tepat, paling mengerti maunya rakyat, paling paham kebutuhan rakyat, paling dekat di hati rakyat dan berjanji bahkan bersumpah untuk selalu membela kepentingan rakyat. Corong-corong mikrofon lantang menyuarakan rencana-rencana mereka untuk rakyat. Baju-baju kaos dicetak sana sini dengan gambar dan nomor mereka.

Tetapi apakah semua rakyat benar-benar mengenal mereka? Entahlah. Rasanya sebagian datang ke arena kampanye karena ada udang di balik bakwan. Ada yang bilang akan ada pembagian fulus. Ada yang mungkin berpikir untuk menambah koleksi kaos beraneka warna beraneka judul partai dan tentunya beraneka wajah-wajah malaikat. Atau ada yang mungkin datang karena ada biduanita idolanya yang manggung di arena kampanye. Percaya atau tidak, telinga mereka lebih terhibur suara merdu sang biduanita dibandingkan dahsyatnya janji-janji surga yang dicanangkan sang empunya hajat.

Waktu pun berlalu, suka tidak suka mereka akhirnya diresmikan sebagai wakil rakyat. Entah apakah kita merasa terwakilkan oleh mereka atau tidak. Berbagai drama berganti hilir mudik dipentaskan dalam panggung kehidupan politik kita. Tidak jarang pula terjadi beberapa bocoran adegan behind the scene. Tidak jarang pula terjadi beberapa sekuel dari "panggung-panggung lama yang rupanya tidak pernah usang". Atau beberapa ada yang mencoba menampilan episode coming soon alias nantikan pentas berikutnya. 

Di balik panggung sana ada sekumpulan orang dengan derajat kehormatan yang amat sangat memukau. Oleh sebab itu dinamakanlah mereka Mahkamah Kehormatan Dewan. Mungkin disebut "kehormatan" karena yang diurusinya adalah para pengisi pentas dengan predikat "anggota dewan yang terhormat". Bayangkan, mengurusi orang-orang terhormat ini diperlukan sebuah mahkamah yang pastinya derajat kehormatannya di atas yang kelasnya hanya "anggota" atau bahkan "ketua".

Sedikit ada harapan pada mahkamah ini. Terdengar gagah dan elegan. Terbayang mahkamah ini akan berdiri paling terdepan sebagai perisai pelindung janji-janji yang dulu para anggota ini ucapkan. Terselip harapan mahkamah ini akan tampil terdepan sebagai penyibak berbagai sandiwara yang terjadi di atas panggung. Terbayang mahkamah ini akan menerjemahkan sekian banyak rahasia tersembunyi, sekian banyak permainan mata, menjadi suatu realita kebenaran. Rakyat membutuhkan suatu kenyataan akan kebenaran. Beranikah mahkamah ini membongkar dan menuntaskan pentas sang ketua yang terhormat? Beranikah mereka menyobek tirai kebohongan dan memunculkan sang kebenaran?

Mungkin harapan adalah singkatan dari hari-hari ratapan. Untuk kesekian kalinya, harapan itu pun pupus menghujam bumi. Mahkamah kehormatan itu berkelit, bersusun kata dan bersilat lidah. Berdalih ini dan itu. Sang ketua tentram dalam temaram teduhnya kekuasaan. Di balik bayang-bayangnya, terbersit gelak tawa dari kroni-kroninya. 

Rakyat berjalan dalam jalan-jalan kehidupan mereka. Mungkin suatu waktu apabila mereka melintas panggung sandiwara penuh kebusukan itu mereka akan meludah dan memaki. Di dalam kemegahan gedung seperti kura-kura itu, tidak sedikit dari penghuninya penuh dengan berpura-pura. Semua diatas namakan rakyat. Sementara rakyat muak dengan teriakan dan wajah-wajah mereka. Rakyat menutup telinga dan hati atas pengkhiatanan lima tahunan ini. Mereka hanya bertutur doa kepada Yang Kuasa dan sesekali hati dan telinga ini dihibur oleh merdunya suara sang biduanita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun