Golkar akhirnya menuntaskan kisruh internalnya dengan akhirnya memiliki ketua umum yang baru. Ketua umumnya baru, tetapi orangnya stok lama, yaitu Setya Novanto. Yang mengejutkan sekaligus juga seharusnya tidak mengejutkan adalah dihidupkannya kembali badan Dewan Pembina dan ketuanya tidak lain dan tidak bukan adalah Aburizal Bakrie. Hal ini tentu saja semakin menambah kental aroma stok lama dan network yang itu-itu saja. Tampaknya munaslub ini benar-benar "beraroma" kemenangan bagi kubu Ical.Â
Posisi strategis sebagai Ketua Dewan Pembina, serta Setya Novanto sebagai ketua umum seolah makin menancapkan kekokohan eksistensi kubu Ical di partai beringin ini. Setir kendali mungkin berada di tangan ketua umum, tetapi siapa bisa menjamin kalau ketua dewan pembina tidak akan membisiki atau bahkan mengarahkan ke mana partai akan bergerak. Mungkin nanti sesudah susunan pengurus pusat partai dirilis kita akan bisa melihat secara utuh, siapa yang menjadi roh penggerak partai ini. Tapi kalo mau jujur, saya ragu Golkar mengalami pembaharuan untuk maju.Â
Munaslub juga menjadi momentum di mana Golkar berpindah haluan menjadi partai pendukung pemerintah. Alasan klise bahwa Golkar tidak piawai beroposisi, tetapi sudah menjadi nature alami-nya Golkar untuk mendukung penguasa. Golkar menunjukkan kesejatiannya sebagai partai politik. Ketika dirasa dan dianalisis bahwa pemerintahan Jokowi semakin kokoh, tentu saja Golkar tidak mau "ketinggalan kereta", karena ini di depan mata ada gerbong menuju pemilu 2019 dan gerbong itu sedang bergerak sekarang.Â
Bagi saya, Golkar melihat bahwa waktu sudah semakin sempit dan akan sangat merugikan mereka di masa depan apabila mereka bertahan menjadi oposisi pemerintah Jokowi sekarang ini. Momentum "pergantian pimpinan" partai dijadikan sebagai titik balik untuk berpindah posisi, menjadikan partai sebagai barisan pendukung pemerintah. Tetapi justru di sini rakyat melihat wajah sesungguhnya dari Golkar di balik topeng-topeng politiknya selama ini.Â
Golkar seperti linglung, entah apa yang dicari dan seolah tidak terlalu dibutuhkan para "pesaing-pesaing" lainnya. Jangan lupa bahwa 3 partai bisa dikatakan "lahir" dari situasi di mana "mereka tidak butuh Golkar lagi dan mampu membuat kendaraan politik sendiri", yaitu Gerindra (Prabowo), Hanura (Wiranto), dan Nasdem (Surya Paloh). Bahkan ketika pribadi sekelas JK ataupun Luhut Pandjaitan berada dalam lingkar vital pemerintahan, pun Golkar sepertinya tidak terkena "imbas positifnya".Â
Dalam politik yang abadi hanyalah kepentingan dibungkus dengan intrik, sandiwara, dan panggung-panggung drama lainnya. Masih jauh untuk terbukti Golkar menjadi partai yang peduli rakyat dengan karya-karyanya. Malah dengan kisruh internalnya kemarin itu, saya tidak melihat karya apa pun yang partai ini lakukan untuk rakyat. Golkar seperti kehabisan kader berkarakter rakyat yang partai bisa "angkat ke permukaan". Entahlah, apa mungkin terlalu banyak kepentingan di dalam internal partai sehingga Golkar seperti kehabisan tokoh dengan karakter yang kuat. Kalaupun ada, kalaupun ada, ketokohannya tidak memiliki respons yang positif dari rakyat.Â
Golkar perlu untuk memberi ruang bagi para kadernya yang potensial membawa perubahan dan penyegaran. Golkar perlu untuk mengikis habis kader yang tidak akan memberikan kontribusi apa-apa terhadap partai, terlebih terhadap bangsa dan negara ini. Munaslub dan ketum yang baru bukanlah sebuah terobosan baru, tetapi justru sebuah tantangan untuk ke depan, mampukah Golkar berjalan, berlari maju? Atau tetap stagnan dan jalan di tempat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H