Baru saja melihat cuplikan video tentang serombongan siswi SMA yang dihentikan polisi karena konvoi merayakan kelulusan mereka. Terlihat seorang siswi dengan penuh emosi menuding, menunjuk ke arah si polwan dan mengancam-ancam sambil menyebutkan bahwa dirinya adalah anak seorang jenderal. Tidak berapa lama, rombongan itu kembali ke mobil dan berlalu.Â
Menarik untuk dicermati bahwa seorang siswi SMA, seorang pelajar, dengan gagah berani menuding dan menunjuk-nunjuk ke arah petugas penegakan hukum. Seperti tidak ada rasa takut, rasa segan, rasa hormat, terlebih di atas itu semua, tidak ada kesadaran akan rasa bersalah. Semua dirasa semau gue. Bahwa mereka bebas berbuat apa saja, toh kalau ada apa-apa akan ada back up dari orang tua, keluarga atau siapapun yang dirasa punya power, baik itu power dalam bentuk uang, pangkat, kedudukan, jabatan atau bahkan nyali dan badan gede sekalipun.Â
Apa yang orang tua ajarkan kepada anak-anaknya saat ini? Apa yang kita sedang tanamkan kepada generasi penerus bangsa ini? Sudah terlalu banyak pertunjukan kesewenang-wenangan di depan mata kita. Dari mulai anak pejabat menabrak orang dan ya dihukum gitu-gitu aja, atau anak artis nabrak orang dan dihukum, eh dihukum gak sih?? Kemudian praktek-praktek korupsi, menteri korupsi, wakil rakyat korupsi dan seingat saya para koruptor biadab ini belum pernah menyampaikan permintaan maaf mereka kepada rakyat. Begitu sewenang-wenang. Mereka berhitung, toh juga vonis hukuman tidaklah terlalu lama. Sabar sebentar di dalam penjara, Â yang mungkin bahkan bisa mereka beli kenyamanan di dalam penjara sana (siapa yang tahu?), nanti juga bisa keluar. Belum lagi remisi ini itu, potong masa tahanan ini itu dan sim salabim tahu-tahu sudah bebas dan (mungkin saja) bersiap lagi korupsi.Â
Alhasil, wabah sewenang-wenang ini merambah, menular, bahkan sudah menjadi penyakit akut di kalangan generasi yang jauh lebih mudah. Bukannya akar kedisiplinan, ahklak yang benar, etos kerja yang keras yang mereka miliki sebagai bagian dari karakter mereka, tetapi justru dari usia yang begitu hijau, yang masih ingusan, mereka sudah berani menunjukkan perilaku melawan hukum.Â
Sungguh suatu ironi melihat cuplikan video tersebut. Segerombolan tunas masa depan bangsa, yang berkehidupan nyaman (setidaknya dilihat dari mereka berkonvoi naik mobil), yang dimampukan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, tetapi rupanya begitu miskin dalam karakter disiplin, kejujuran dan kesantunan. Begitu melihatnya saya bisa merasakan suatu generasi yang garang, yang semau gue, yang apapun bisa saya lakukan karena bapak saya pejabat, karena bapak saya punya uang, karena bapak saya bisa beli segalanya yang saya mau.Â
Pembangunan revolusi mental bangsa ini tidak dimulai dari atas. Tetapi setiap orang tua, setiap keluarga, sepatutnya tergerak untuk memulainya dari akar rumput, dari bawah. Ya, dari keluarga. Di pucuk atas sana sudah terlalu banyak benalu. Sudah terlanjur terlalu banyak mental bobrok, mental penipu, mental muka dua, mental rakus dan mental-mental busuk lainnya. Saatnya diperbaharui melalui tunas yang baru, tunas yang menerobos dengan mental disiplin, jujur dan beretos kerja tinggi. Supaya bangsa ini tidak mewariskan suatu budaya sewenang-wenang kepada generasi berikutnya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H