Mari kita tilik gelaran Pilkada yang sudah memasuki tahap kampanye dan debat publik mulai dari 15 Februari hingga 26 Juni 2018 nanti. Setiap calon atau pasangan calon berupaya mati-matian untuk meyakinkan pemilih bahwa mereka adalah jawaban atas segala aspirasi dan keinginan akan hidup sejahtera, adil, makmur dan sentosa yang belum tercapai selama ini. Beragam visi-misi didedahkan, bahkan tak jarang menambahkan "micin" agar terasa lebih gurih di mata dan telinga publik. Motivasinya hanya satu, rakyat datang ke bilik suara dan mencoblos mereka pada hari-H nanti.
Kondisi ini sejujurnya mengkhawatirkan apabila dimamah oleh kelompok masyarakat yang belum teredukasi baik secara politik, khususnya masyarakat miskin dan kurang terdidik. Fakta banyaknya wakil rakyat dan pejabat publik yang ditangkap KPK karena beragam kasus korupsi menunjukkan bahwa rakyat keliru dalam memilih wakil-wakilnya.
Dramaturgi dan sandiwara politik yang disuguhkan pada masa kampanye suskes mencuri suara rakyat. Rakyat dikomodifikasi, aspirasi mereka dibenamkan pasca pemilu hanya untuk kejayaan pibadi para calon dan partainya. Ini terjadi karena rakyat negeri ini kesulitan dalam menilai kejujuran dan kebersihan hati calon-calon wakil dan pemimpin mereka.
Saya juga berandai-andai apabila dua orang dosen keblinger yang dengan lancang dan lancung menyebut kitab suci itu fiksi serta suara adzan tak suci hadir sebagai peserta Karma. Menarik bagaimana seorang Roy yang indigo memancing mereka untuk berbicara jujur, apakah kata-kata yang melontarkan murni akademis seperti yang diutarakan oleh para pendukung mereka di dunia maya, atau penuh muatan politis dan sarana eksistensi diri di ruang publik.
Menarik juga menyaksikan bagaimana seorang Roy yang indigo bisa menceriterakan kepada publik kadar ketulusan seorang penyandang nama besar Soekarno yang dengan tega menyebut suara kidung lebih merdu dari suara adzan.
Fakta-fakta tersebut apabila berhasil diungkap akan menuntun kita pada "fitur menarik" yang kedua, yakni terminologi karma sendiri. Seperti kata yang kerap diucap oleh Robby Purba ketika memulai acara, "Apapun yang anda lakukan, akan berimbas pada apa yang anda alami saat ini". Dengan kata lain, karma adalah balasan kontan yang diterima oleh seseorang karena amal baik dan buruk yang pernah ia lakukan.
Dalam konteks politik, kita bisa belajar dari beberapa fakta bahwa beberapa koruptor yang sudah dibui akhirnya wafat karena menderita sakit keras, kombinasi penyakit dan depresi parah yang mereka alami. Ini karma riil, balasan kontan di dunia, selain tentunya adzab di akherat kelak.
Dari acara ini, mereka yang berstatus sebagai kandidat kepala daerah pada Pilkada Juni 2018 atau kandidat presiden pada Pilpres 2019 nanti seyogianya dapat menarik pembelajaran bahwa ada "karma politik" yang menunggu mereka apabila tidak ada simetri antara janji kampanye dengan realisasi dan kontekstualisasi pada saat mereka menjabat, wallahualam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H