Pada medio 2016 yang silam, saya yang saat itu masih berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di sebuah lembaga think-tankmilik Pemerintah Republik Indonesia ditunjuk sebagai staf perbantuan untuk menjalankan joint project antara lembaga think-tank tempat saya bekerja dengan sebuah lembaga donatur milik pemerintah Kerajaan Belanda. Adapun proyek yang digarap secara bersama ini adalah proyek penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) berbasis ISO 9001:2015. Objektif yang hendak dicapai dari proyek ini adalah penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di lembaga atau birokrasi pemerintah. Kebetulan, lembaga tempat saya bekerja menjadi sampelnya.
Bagi saya sendiri, implementasi proyek SMM di birokrasi pemerintah bagaikan oase di padang gurun. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwasanya citra dan kinerja birokrasi pemerintah di mata masyarakat bisa dikatakan kurang baik. Pelayanan yang tidak prima, banyaknya pungli, oknum aparat yang korup, merupakan ragam kosakata yang terpatri erat di benak publik apabila berurusan dengan birokrasi pemerintah. Â
Saya jadi teringat bisik-bisik sesama pengunjung ketika saya mengurus surat pencari kerja di sebuah kantor pemerintah di daerah Jakarta Selatan sekitar 2011 yang silam, "di sini, apabila semua bisa diperlambat, kenapa bisa dipercepat, hepeng yang berbicara bung!", ujar seorang laki-laki di sebelah saya.
Singkat kata, setelah berjibaku dengan segala hambatan dan tantangan yang ada, tepat pada April 2017, lembaga tempat saya pernah bekerja akhirnya menerima Sertifikat ISO 9011:2015 sebagai bentuk pengakuan bahwa telah menerapkan SMM dengan baik. Harus saya akui, perubahan yang terjadi pasca proyek ini masih berada pada tataran "kulit luar" saja.Â
Namun demikian, sekecil apapun kemajuannya tetap harus diapresiasi. Bagi saya sendiri sebagai pengawak perubahan, diterimanya Sertifikat ISO 9001:2015 ini bisa disebut sebagai pemantik awal saja. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh elemen organisasi agar perubahan yang dicita-citakan bisa mendarah daging dan mewujud sebagai kemajuan organisasi.
Mungkinkah diterapkan di OKP?
Keberhasilan saya dan tim dalam meraih sertifikat tersebut tiba-tiba membawa saya berfikir mengenai apakah mungkin Sistem ISO 9001:2015 ini bisa diterapkan di berbagai Organisasi Kepemudaan (OKP), seperti organisasi pergerakan mahasiswa ekstra kampus? Dasar pemikiran saya sederhana. Pertama, OKP merupakan infrastruktur politik yang menjadi kawah candradimuka bagi generasi penerus bangsa sebelum memasuki konfigurasi politik resmi dalam sistem pemerintahan di negeri ini, baik yang sifatnya semi formal seperti partai politik, maupun struktur resmi negara, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Jika dalam dinamika berorganisasi di OKP mereka sudah digembleng untuk menerapkan prinsip SMM, saya cukup optimis bahwasanya ketika mereka menjadi fungsionaris partai atau pejabat pemerintahan suatu hari nanti, mereka akan bersikap profesional, menjunjung tinggi prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta tidak terseret pada praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjadi gas sarin kemajuan berbangsa dan bernegara dewasa ini.
Kedua, SMM menyuguhkan profesionalisme dalam pengelolaan organisasi. Sebagai contoh, dalam pengelolaan dana organisasi. Dalam konsep SMM, pengelolaan dana organisasi harus berifat akuntabel, yakni; ada rekening resmi organisasi, ada klasifikasi pihak mana saja yang diperbolehkan menjadi donatur, terdapat sistem penginformasian secara rutin kepada para anggota mengenai posisi keuangan organisasi. Dengan pengaturan seperti ini, sistem pencarian dana di organisasi tidak akan bersifat serabutan untuk memenuhi kebutuhan. Juga tak akan ada sistem saving dana dengan menggunakan rekening ketua atau sekretaris jenderal organisasi saja.
Contoh lainnya adalah sistem manajemen pengetahuan di organisasi. Kerapkali ketika seorang fungsionaris OKP lulus kuliah atau menapak jenjang karir organisasi yang lebih tinggi, pengetahuan dan pengalamannya selama berkecimpung tidak melekat di organisasi. Sebagai akibatnya, yang menjadi suksesornya harus belajar secara otodidak. Hal ini mengakibatkan terjadinya delinking pengetahuan yang berdampak pada kesinambungan organisasi. Setiap kali ganti pejabat, kebijakan organisasi selalu berubah. Tidak ada kebijakan baku yang menjadi pedoman.
SMM adalah keharusan