Ada banyak hal yang menunjukkan betapa strategisnya peran ulama dalam tapak demi tapak perjalanan republik yang kita cintai ini. Pada awal Februari 1956, Soekarno mencetuskan ide "gila" bernama Nasakom, akronim dari Nasionalisme, Agama dan Komunis. Terlepas dari segala kontroversi dan perdebatannya, munculnya frasa "agama" dalam konsep politik Soekarno tersebut menunjukkan bahwa ulama (yang pada waktu itu didominasi oleh kelompok Masyumi dan NU) merupakan elemen vital dalam panggung politik Indonesia.
Dalam tataran sosial dan budaya, khususnya dalam konteks pendidikan dan pembangunan karakter bangsa, ulama-ulama seperti Muhammad Darwisy serta Hasyim Asy'ari hadir sebagai tokoh bangsa berkat kontribusinya bagi negara dan pemikirannya yang melampaui zaman. Kontribusi mereka tidak terletak pada syiar Islam atau dakwah yang mereka jalankan saja, tapi bagaimana Islam hadir sebagai suluh penerang bangsa, lepas dari kebodohan dan pembodohan yang diproduksi oleh kaum penjajah.
Muhammad Darwisy atau lebih dikenal sebagai Ahmad Dahlan, merupakan seorang ulama kharismatik yang mendirikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Hasyim Asy'ari yang merupakan pendiri Nahdatul Ulama (NU), bukan saja seorang ulama besar yang melakukan syiar Islam, tetapi dengan keislamannya yang teguh, ia mampu menggerakkan masyarakat pada masa itu untuk berani menolak kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh Jepang semasa revolusi fisik. Meskipun konsekuensinya, ia harus berkali-kali dibui oleh penjajah.
Kini, di era pasca 72 tahun negeri ini lepas dari belenggu penjajahan, peran ulama kembali dituntut untuk memberikan kontribusinya bagi bangsa dan negara secara murni dan tulus. Jikalau pada masa revolusi fisik tantangan yang dihadapi oleh ulama adalah berkisar pada upaya lepas dari belenggu penjajahan saja, tantangan hari ini jauh lebih sulit dan kompleks.Â
Jika dulu yang menjadi musuh kita adalah bangsa lain, saat ini musuh terbesar republik ini adalah anak bangsa sendiri yang mengkhianati cita-cita republik. Mereka yang menjalankan politik pecah belah dengan menghembuskan politik identitas (suku, agama, ras dan golongan) demi kepentingan sendiri dan kelompok saja, serta mereka yang menjalankan praktik-praktik barbar seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang menimbulkan kemiskinan akut di masyarakat, baik secara fisik, maupun mental.
Suka tidak suka, kontribusi para ulama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bisa dikatakan belum optimal. Maraknya kasus terorisme, ekstrimisme dan radikalisme dalam satu dasawarsa terakhir ini menunjukkan bahwa peran ulama perlu direjuvenasi dan diperkuat kembali.
Saat ini, penanganan terorisme lebih bersifat formal dan teknikal oleh lembaga-lembaga negara yang mengampu dan memikul tugas ini saja. Tak heran apabila terminologi deradikalisasi dan kontra radikalisme lebih populer ketimbang "kembali ke nilai-nilai dasar Islam". Peran ulama, jujur diakui, cenderung mengalami simplifikasi. Mereka justru mengerucut menjadi bagian dari proyek teknikal dan legal formal dalam langgam deradikalisasi dan kontra radikalisme. Padahal, mereka bisa memainkan peran yang lebih besar.
Dalam satu kesempatan diskusi bertajuk "Countering Violent Extremism" di Canberra, Australia, pada Juli 2017 silam, K.H. Solahuddin Wahid yang menjadi salah satu pembicara menyampaikan bahwa salah satu kunci utama penanganan ekstrimisme adalah kembali ke nilai-nilai dasar Islam yang sesungguhnya. Terlalu banyak strategi dan taktik yang dibuhulkan, tapi sejatinya tidak menyentuh esensi penanganan terorisme itu sendiri.
Kita kadang mengabaikan hal-hal yang sifatnya mendasar seperti berdzikir yang notabene memiliki fungsionalitas dalam melembutkan hati. Jikalau kita sering berdzikir, hati akan lembut dan hati yang lembut merupakan sarana mitigatif bagi seseorang untuk tidak terjerumus pada praktik-praktik sesat, apapun rasionalisasinya. Adapun seruan berdzikir tersebut, merupakan tugas dan tanggung jawab ulama dalam kehidupan bermasyarakat.
Ulama, juga serig tergoda untuk terjun dan menjadi bagian dari politik praktis. Kondisi ini sejujurnya bisa dimafhumi karena ulama tetap saja seorang manusia, bukan malaikat yang kebal dari godaan duniawi. Fakta bahwa dalam ajang pemilihan presiden dan Pilkada, kaum ulama kerap mendapatkan kunjungan politik dari calon tertentu untuk mendapatkan dukungan, atau bahkan penempatan sang ulama itu sendiri sebagai kandidat demi mengeruk suara dari kantong-kantong religius merupakan cermin bahwa ulama tidak kebal dari dorongan dan tarikan politik kekuasaan (power politics). Kasus mutakhir tentu saja adalah kasus dalam Pilkada DKI Jakarta tahun lalu. Ulama yang tergabung dalam berbagai gerakan berseri anti-Ahok sepanjang 2017, menjadi kekuatan politik yang menentukan hasil akhir dalam Pilkada DKI 2017.
 Menapak tahun 2018 yang disebut sebagai tahun Pilkada serta menjelang tahun 2019 yang dilabel sebagai tahun politik, peran ulama dituntut untuk mewujudkan situasi dan kondisi politik republik yang sejuk. Ulama merupakan guru bangsa, digugu dan ditiru oleh masyarakat, terlebih lagi atribut nasional bangsa ini adalah sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim. Ulama dituntut sebagai suluh penerang masyarakat agar tidak terjebak pada politik identitas yang ditunggangi oleh elit-elit dan kelompok-kelompok politik tertentu demi kepentingan pendulangan suara dalam pemilu.