Old Writing - Published on Suara Merdeka Semarang, a Year Ago
Oleh Boy Anugerah
"Begitu banyak pihak yang tak suka Indonesia berdiri tegak sampai hari ini sehingga menggunakan segala cara untuk meruntuhkannya."
BELUM lama ini, kita dikejutkan oleh aksi seorang remaja yang nekat melakukan percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan. Meski aksi itu bisa digagalkan dan pelaku ditangkap, tak pelak kejadian ini menimbulkan tanda tanya besar.
Bukan hanya bagi masyarakat Medan, tapi juga sebagian besar masyarakat Indonesia; apakah kita masih memiliki semangat ke-Indonesia-an di tengah perbedaan yang semakin menajam di masyarakat akhir-akhir ini? Indonesia merupakan entitas sosial budaya yang majemuk. Hal ini bisa dirujuk pada fakta bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa, agama, dan budaya yang berbeda-beda.
Konstruksi entitas sosial yang beragam ke dalam entitas politik bernama Republik Indonesia (RI), 71 tahun yang silam, juga tergolong sulit karena hambatan geografis.
Namun hal itu bisa dihadapi berkat semangat untuk hidup dan mencapai tujuan bersama. Kemerdekaan Indonesia dapat dimaknai sebagai komitmen bersama segenap elemen bangsa untuk tegak berdiri di atas segala perbedaan.
Persamaan sebagai bangsa yang dijajah, perasaan senasib sepenanggungan, dan cita-cita untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka menjadi faktor penyulam persatuan.
Komitmen mengatasi perbedaan ini bukan sekedar isapan jempol. Pancasila menjadi dasar negara dan pedoman hidup, meskipun Islam adalah agama mayoritas.
Bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa Indonesia, meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia beretnis Jawa dan Sunda. Hal ini menunjukkan bahwa tak ada dominasi mayoritas di negeri ini.
Tak bisa dipungkiri bahwa pada awal kemerdekaan masih ada perbedaan tajam mengenai format yang tepat untuk negeri ini.