DI tengah hiruk-pikuk politik Tanah Air menjelang perhelatan pilkada pada Februari 2017 nanti, Indonesia sedang menyongsong kegiatan rutin tahunan yakni Bali Democracy Forum (BDF) IX yang digelar pada 8-9 Desember 2016. Forum kerja sama tahunan negara-negara Asia Pasifik ini akan berkumpul untuk kesembilan kalinya di Nusa Dua, Bali, dengan mengangkat tema Agama, demokrasi, dan pluralisme.
Secara historis, BDF merupakan forum diskusi internasional yang digagas mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Forum itu pertama kali digelar pada 10-11 Desember 2008 dengan mengangkat tema Pembangunan dan konsolidasi demokrasi: sebuah agenda strategis untuk Asia. Merujuk pada nama yang melekat, forum itu akan selalu mengambil lokasi di Bali.
Dalam konsepsi studi hubungan internasional, apa yang dirintis SBY ini merupakan medium promosi untuk memajukan kepemimpinan Indonesia di panggung regional dan global.Â
Selain itu, forum ini dapat menjadikan Indonesia sebagai aktor yang tidak hanya berpengaruh, tapi juga berkontribusi terhadap pemecahan berbagai persoalan dunia. Sebagai medium promosi, sudah selaiknya berbagai keunggulan yang melekat pada Indonesia diutilisasi secara optimal untuk kepentingan nasional.
Implementasi BDF seyogianya merujuk pada atribut nasional Indonesia yakni sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah AS dan India. Meskipun 'hanya' nomor tiga, namun RI jauh lebih unggul dan eksotis menilik fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.Â
Dikatakan demikian karena bukanlah perkara mudah untuk mengawinkan konsepsi demokrasi yang terlanjur dicap sebagai anak kandung Barat dengan ajaran-ajaran Islam. Faktanya, hingga saat ini, kerukunan dan keberagaman tetap tersulam dengan baik hingga 71 tahun NKRI berdiri.
Keunggulan Indonesia
Indonesia merupakan tempat bermukim yang aman dan damai bagi hampir 250 juta penduduk Indonesia. Perbedaan dari sisi agama, suku, golongan, bahasa, budaya, dan adat-istiadat merupakan faktor yang memperkaya khazanah kebudayaan bangsa. Kemerdekaan RI, menyitir istilah yang dikemukakan Benedict Anderson, seorang indonesianis, merupakan produk dari imagined community atau sebuah komunitas yang dibayangkan.Â
Meskipun berbeda warna kulit dan bahasa, rakyat RI di Papua menganggap rakyat RI di Aceh, Jakarta, Makassar dan daerah lainnya sebagai saudara. Ada ikatan rasa senasib dan sepenanggungan serta keinginan hidup bersama yang mengikat mereka satu sama lain.
Jangan juga dilupakan bahwa RI sejatinya merupakan negara yang sangat rentan dengan perpecahan. Telaah terhadap gatra geografis Indonesia menunjukkan bahwa daratan yang dipisah lautan serta bentang alam yang sangat luas, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, berpotensi menyulitkan tercapainya persatuan dan kesatuan. Begitu juga telaah pada gatra demografis.Â
Majemuknya konfigurasi bangsa mengakibatkan sedikit saja masalah SARA yang muncul dapat mengakibatkan koyak-moyaknya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Namun begitu, hal tersebut tidaklah terjadi jika komitmen terhadap empat konsensus bangsa menjadi perekat dan pengikat segala macam perbedaan yang ada.