[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="http://rimanews.com/images/bank/pdip.jpg"][/caption] Lagi-lagi PDIP sebagai partai pemenang Pileg 2014 tak berdaya melawan tak tik dari kubu Koalisi Merah Putih untuk yang ke sekian kalinya dalam perebutan kursi pimpinan DPR RI. Dengan ini jelas pemerintahan yang dipimpin oleh Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan mengalami jalan terjal selama lima tahun ke depan melihat struktur pimpinan DPR RI yang semuanya berasal dari Koalisi Merah Putih. Sebelumnya PDIP memang sempat memprotes pembentukan UU MD3 karena dianggap mengebiri hak konstitusional mereka sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif 2014 lalu. Namun usaha mereka untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi menjadi sia-sia setelah majelis hakim konstitusi memutuskan untuk menolak keseluruhan permohonan dari PDIP. Dengan begitu, kursi ketua DPR yang sebelumnya otomatis menjadi jatah partai pemenang Pemilu, kini harus ditentukan dengan sistem voting oleh para anggotanya. Tentunya hal ini membuat para partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah-Putih (KMP) seperti mendapatkan angin segar untuk menjegal PDIP. Istilah "Tak Ada Rotan, Akar Pun Jadi" benar-benar dimanfaatkan oleh KMP. Mungkin mereka gagal menguasai badan eksekutif, namun masih ada badan legislatif yang masih memungkinkan untuk dikuasai. Lain PDIP, lain pula Demokrat. Jika PDIP seakan kehilangan strategi untuk menghadapi gempuran dari partai politik, Partai Demokrat justru seperti penonton yang duduk manis di tengah perang politik antara dua kubu tersebut. Ya, Partai berlambang bintang Mercy yang diketuai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini kerap selalu disebut cari aman, main di dua kaki, dan pengecut. Hal ini terbukti jelas sejak Pilpres yang lalu, bagaimana Partai Demokrat secara mengejutkan menyatakan sikap netral, tidak bergabung dalam Koalisi Merah Putih yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta, maupun Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung pasangan Jokowi-JK. Begitupun sikap mereka dalam menghadapi pengesahan RUU Pilkada pada rapat paripurna tanggal 25 September lalu. Sebelumnya Presiden SBY secara lantang menyuarakan dukungannya terhadap Pilkada langsung oleh rakyat, hal ini juga seakan diamini oleh Ketua Harian mereka, Syarief Hasan yang menegaskan partainya mendukung Pilkada Langsung dengan 10 syarat perbaikan. Namun seperti yang kita ketahui bersama, pada rapat paripurna marathon yang dimulai pada Kamis siang dan berakhir pada Jumat dini hari itu, selain 6 orang, seluruh anggota Fraksi Partai Demokrat melakukan aksi walk-out sehingga menyebabkan suara pendukung Pilkada langsung menjadi kalah telak dibandingkan pendukung Pilkada melalui DPRD. Bagi orang awam, hal tersebut adalah bukti liciknya Partai Demokrat, namun bagi yang paham ilmu politik, manuver Partai Demokrat justru dianggap briliant... Dalam suatu kesempatan, saya pernah mewawancarai politisi PDIP, Aria Bima yang secara blak-blakan menyebut tindakan Partai Demokrat sebagai perbuatan yang pengecut. Ia menjelaskan pada malam itu sesungguhnya baik Fraksi PDIP, PKB, dan Hanura sudah mendukung opsi Pilkada langsung dengan 10 perbaikan yang diusulkan oleh Fraksi Partai Demokrat. Namun di menit-menit terkakhir, Aria merasa seperti dikhianati karena mereka justru melakukan walk-out. Namun menanggapi kemurkaan para anggota Fraksi PDIP tersebut, salah satu anggota Fraksi Partai Demokrat yang tetap tinggal di ruang rapat paripurna yakni Gede Pasek Suardika (kini tidak lagi menjadi kader Partai Demokrat, namun tetap duduk di Senayan sebagai anggota DPD RI) menyindir sengit dengan mengatakan "Kawan-kawan dari PDIP jangan terlalu mempermasalahkan kalo Partai Demokrat walk-out, alasannya sederhana, karena selama ini kan PDIP sering walk-out juga, jadi sebagai partai baru kalo Partai Demokrat mencoba meniru seniornya saya rasa wajarlah. Biar bisa sama-sama merasakan juga bagaimana sakit hatinya kalo ditinggal walk-out" Lalu pada saat pelantikan anggota DPR RI periode 2014-2019 pada tanggal 1 oktober lalu, salah satu politisi PDIP, Rieke Diah Pitaloka juga sempat mengungkapkan kekhawatirannya apabila pemilihan pimpinan DPR RI tetap dilaksanakan pada hari itu juga. Pasalnya menurut jadwal dari sekretariat DPR RI, agenda pada hari itu memang hanyalah pelantikan anggota DPR dan DPD RI saja. Namun apa yang dikhawatirkan oleh Rieke benar-benar terjadi, pada malam hari tiba-tiba muncul agenda untuk langsung memilih pimpinan DPR RI. Disini, kelihaian Partai Demokrat kembali ditunjukkan, pada siang hari setelah pelantikan anggota DPR RI, baik Syarief Hasan maupun Edhie Baskoro alias Ibas secara jelas mengatakan bahwa Partai Demokrat tidak termasuk ke dalam Koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat. Mereka lagi-lagi menunjukkan sikap bermain di dua kaki, seakan hanya mengamati dan melihat kesempatan yang baik untuk dapat meraih keuntungan dari pertarungan dua kubu ini. Sangat oportunis memang, tapi membuahkan hasil. Jelas hal itu dapat dilihat dari komposisi pimpinan DPR RI dimana terdapat nama Agus Hermanto dalam posisi Wakil Ketua bersama Fadli Zon, Taufik Kurniawan, dan Fahri Hamzah. Malah Fraksi PPP yang sejak awal menyatakan diri menjadi bagian dari KMP justru tak mendapatkan jatah kursi pimpinan DPR. Sementara itu bagaimana nasib PDIP? Kecewa lantaran tidak pernah digubris oleh pimpinan sidang, Popong Otje Djudjunan alias Ceu Popong, pada akhirnya Sekjen mereka, Tjahjo Kumolo memutuskan untuk walk-out dalam rapat paripurna itu menyusul PKB dan Hanura yang telah walk-out terlebih dahulu. Apalagi sejumlah anggota DPR RI yang merangsek maju ke meja pimpinan akibat protesnya tidak pernah digubris mayoritas berasal dari PDIP (paling reaktif adalah Adian Napitupulu, Arif Wibowo, dan Masinton Pasaribu) berkali-kali menimbulkan kericuhan dalam rapat, bahkan pimpinan sidang, Ceu Popong hingga dievakuasi oleh Pamdal dan muncullah tragedi "Paluna Euweuh" yang menjadi bahan kreativitas para netizen. Tentunya insiden ini membuat para rakyat awam menjadi terbuka matanya, mana mereka yang bermental kampungan dan mana mereka yang main cantik secara elegan. Menang dalam Pemilu, namun kandas di parlemen nampaknya bukan hanya kali ini saja dialami oleh PDIP. Jika kita menengok jauh saat jatuhnya rezim Orde Baru, pada Pemilu tahun 1999 PDIP juga mampu meraih 33,74% suara masyarakat dan menempatkan 153 kadernya dalam kursi parlemen. Namun apakah mereka mampu mengantarkan Megawati sebagai Presiden? tidak! Apakah mereka juga mampu menempatkan anggotanya sebagai Ketua DPR? Tidak juga, malah Akbar Tandjung dari Partai Golkar yang saat itu justru dibenci sebagian besar warga karena dianggap sebagai bagian dari rezim Orde Baru yang menjadi Ketua DPR RI. Nampaknya PDIP harus berguru pada Partai Golkar, meskipun menjadi bahan tudingan oleh sebagian reformis sebagai cap stempel Orde Baru, namun setelah masa reformasi pun Partai Golkar selalu menjadi runner-up dalam Pemilu Legislatif sejak 1999, bahkan pada tahun 2004 mereka mampu memenangkannya. Menurut sejumlah pakar komunikasi politik yang pernah saya wawancarai, seperti Siti Zuhro, Heri Budianto, hingga Effendi Ghazali mengatakan bahwa gaya komunikasi politik PDIP terlalu kaku dan cenderung overconfident sehingga menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Contoh nyata adalah bagaimana PDIP seperti enggan untuk merangkul para partai politik yang kalah dalam Pileg sehingga mereka justru mempersiapkan senjata untuk menyerang balik PDIP melalui kekuatan politik di parlemen. Terbukti PDIP sudah tiga kali "dikadali" oleh KMP, pertama melalui UU MD3, kedua saat pengesahan RUU Pilkada, dan yang paling anyar adalah ketika perebutan kursi DPR RI. Patut kita tunggu bagaimana pergerakan politik dari PDIP saat perebutan kursi pimpinan MPR RI pada Senin, 6 Oktober mendatang. Apakah mereka mampu membuat skema politik yang mengejutkan atau malah kembali jadi bulan-bulanan KMP?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H