Mohon tunggu...
Boy Siahaan
Boy Siahaan Mohon Tunggu... -

Teolog lulusan STT Jakarta. Bekerja di PGI sebagai staf Penelitian dan Komunikasi PGI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sumpah Pemuda Buram di Mata Pemuda Kristen?

23 Februari 2012   04:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:17 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329970942997537610

Ketika kasus pelarangan ibadah GKI Bakal Pos Taman Yasmin (saya singkat GKI Yasmin) sedang hangat beritanya, saya pernah mengajak para pemuda gereja di mana saya berjemaat untuk beribadah di trotoar jalan bersama-sama dengan jemaat di sana sebagai bentuk solidaritas persaudaraan seiman. Namun, setelah saya bercakap-cakap dengan mereka, mereka sebagian besar banyak memberikan alasan berhalangan tidak bisa datang, sebagian lagi abstain (tidak jelas bisa ikut atau tidak), dan sisanya (hanya 3 orang) bersedia ikut. Dua minggu kemudian salah seorang pengurus Pemuda, mengajak mereka tanding futsal dengan gereja lain, dengan serta-merta para pemuda yang pernah saya ajak ikut ibadah di trotoar itu menyatakan mau bertanding futsal. Saya bertanya dalam benak saya sendiri, “Koq gampang ya mengajak mereka main futsal ketimbang mengajak mereka untuk menyatakan kepedulian dan solidaritas dengan saudara-saudaranya yang sedang tertekan?”

Apakah saat ini sudah terjadi pergeseran paradigma di kalangan pemuda Kristen? Apakah saat ini pemuda Kristen kurang peduli terhadap sesama, khususnya saudara seiman? Apakah saat ini pemuda Kristen lebih menyukai kegiatan yang bersifat fun (bersenang-senang)? Apakah nilai-nilai kebangsaan sudah buram di kalangan pemuda Kristen? Semua pertanyaan tersebut menggugah kita untuk lebih mencermati dan memperhatikan kondisi para pemuda Kristen, khususnya di lingkup jemaat/gereja.

Seandainya pertanyaan-pertanyaan yang saya sampaikan itu semuanya mempunyai jawaban ya, maka ada persoalan serius yang harus segera diperbaiki untuk para pemuda Kristen tersebut. Pertanyaan saya adalah siapa yang harus bertanggung jawab terhadap persoalan tersebut? Gerejakah? Sekolah berbasis Kristenkah? Lembaga Kristenkah? Atau lebih tajam lagi: PGIkah?

Tentu saja kita tidak sedang mencari kambing hitam untuk melemparkan kesalahan terhadap persoalan ini. Kita harus lebih  jernih berfikir bahwa kalau memang ada persoalan seperti itu (tampaknya memang sudah terlihat jelas persoalan tersebut) maka kita harus sesegera mungkin membenahinya. Dari manakah kita harus memulainya?

Pertama-tama, saya rasa kita harus memulainya dari kehidupan sehari-hari di dalam keluarga. Di dalam percakapan atau komunikasi sehari-hari antaranggota keluarga, misalnya di meja makan saat makan malam bersama atau di ruang keluarga saat nonton TV, kita dapat bercerita tentang nilai-nilai heroik atau nilai-nilai humanis kepada keluarga. Saya dulu masih ingat di masa kanak-kanak ketika ompung (kakek) kami bercerita tentang masa-masa penjajahan Belanda (masa agresi militer Belanda) dan masa-masa penjajahan Jepang di mana ompung kami waktu itu ikut bergerilya dan bapak-mamak kami mengungsi. Penceritaan kisah-kisah seperti ini sangat efektif menanamkan nilai-nilai heroik dan kebangsaan bagi anak-anak. Sewaktu saya di bangku SD, SMP, dan SMA, kalau membaca buku-buku sejarah tentang kemerdekaan Indonesia, di otak saya seringkali terlintas kisah-kisah heroik yang diceritakan oleh ompung kami.

Memang saat ini zaman kita telah berubah. Kita sekarang hidup di zaman kemerdekaan dan juga katanya di era reformasi, tetapi tidak jelas apa yang direformasi. Sebagian besar kakek-nenek kita memang sudah lama meninggal dan siapa yang akan bercerita hal-hal heroik seperti itu kepada generasi muda saat ini? Tentu saja haruslah kita yang bercerita. Ketahuilah, bangsa Israel di dalam kehidupan keluarga mereka terus-menerus menuturkan kisah-kisah kakek-nenek mereka merasakan kasih karunia dan kebaikan Tuhan kepada bangsa Israel. Di dalam kisah-kisah tersebut terkandung nilai-nilai heroik, kebangsaan, kemanusiaan, religiositas, dan spiritualitas. Karena itu, hal tersebut tidaklah menjadi sesuatu yang mengherankan jika bangsa Israel mampu menjadi bangsa yang besar. Saya juga teringat perkataan Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya.”

Kedua, selain lembaga keluarga, lembaga yang memiliki peran yang signifikan adalah Sekolah dan Gereja (untuk kaum Kristiani). Sekolah dan Gereja setidaknya menjadi lembaga yang menunjang, menopang, dan menolong lembaga keluarga. Sekolah memiliki kemampuan menanamkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur, kebangsaan, kemanusiaan, budaya, dan sosial melalui penggalian ilmu pengetahuan dan keterampilan memanfaat tekonologi bagi kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sedangkan Gereja adalah lembaga yang fokus pada penanaman nilai-nilai keagamaan (religiositas), kerohanian (spiritualitas), dan oikoumenisitas/ekumenisitas.

Penanaman makna oikoumenisitas seringkali tidak menjadi agenda yang sangat penting dan sangat mendesak bagi gereja-gereja di Indonesia, khususnya untuk generasi muda (mulai dari jenjang anak, remaja, sampai pemuda). Padahal sesungguhnya oikoumenisitas tersebut menjadi peredam fundamentalisme dan radikalisme yang berlebihan.

Lembaga Gereja dan tentu juga Sekolah Kristen membutuhkan oikoumenisitas tersebut. Mengapa? Karena oikoumenisitas itu menanamkan paradigma menghargai kepelbagaian, keragamanan, perbedaan, kemanusiaan, kebudayaan, kebersamaan, integritas keutuhan ciptaan, dan lingkungan hidup. Oikoumenisitas tidak saja sebatas menghargai hal-hal tersebut, tetapi juga bekerjasama bergandeng tangan mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan (syalom).

Bilamana kita mampu mengusahakan kedua hal di atas, saya yakin kita mampu memperjelas nilai-nilai heroik Sumpah Pemuda tidak menjadi buram di mata pemuda Kristen.  Mari, hai pemuda Kristen, tunjukkan kepedulian dan solidaritas kebangsaanmu bagi Indonesia. Merdeka. Ditulis oleh: Boy Tonggor Siahaan (Bekerja di PGI, Alumnus STT Jakarta)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun