Film dokumenter "Gulma yang Bernilai Guna" dari SMA Negeri Rembang, Purbalingga dianugerahi Juara Umum Festival Film Anak (FFA) 2011 Medan. Film yang disutradarai Astri Rakhma Adisti ini berhasil menyabet Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Kameraman Terbaik, dan Editor Terbaik kategori dokumenter. Sementara kategori fiksi, film berjudul "Sarung" dari SMA Muhammadiyah 1 Purbalingga menyabet Editor Terbaik.
Malam penganugerahan festival berskala nasional yang telah memasuki tahun ke-4 ini diselenggarakan di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara, Medan, Jumat malam, 21 Oktober 2011.
Astri Rakhma Adisti merasa bangga film garapan Ekstra Kulikuler Sinematografi SMA-nya mendapat penghargaan di ajang FFA. "Penghargaan untuk kesekian kali bagi film kami ini, semoga menjadi pemicu bagi kami dan adik-adik kelas kami untuk peka terhadap lingkungan dengan jalan membuat film," ungkap sutradara yang duduk di kelas XI ini.
Tak Banyak Diperhatikan Pemkab
Film "Gulma yang Bernilai Guna" mengangkat sosok almarhum Mbah Gepuk (1905-2002) sebagai seorang petani sekaligus seniman pinggiran. Kakek yang hidup di tanah kelahiran Panglima Besar Jenderal Sudirman, Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Purbalingga ini secara otodidak menciptakan wayang suket (rumput) yang tak ternilai harganya.
Di tangan Mbah Gepuk, rumput yang dikenal sebagai gulma mempuyai nilai guna. Namanya mencuat sebagai seorang maestro wayang suket setelah kerap muncul di media massa sekitar tahun 1990-an. Sindhunata (Romo Sindhu), budayawan yang saat itu sebagai wartawan salah satu koran nasional menemukan sosok unik Mbah Gepuk.
Mulai tahun 1995, karya-karya wayang suket Mbah Gepuk dipamerkan mulai dari Yogyakarta dan Jakarta. Beruntung, sepeninggal kakek yang semasa hidupnya dihabiskan di ladang ini, masih ada orang-orang dekat yang meneruskan tugas sucinya, menganyam rumput menjadi tokoh-tokoh pewayangan. Adalah Badriyanto, cucunya dan Ikhsanudin, anak muda Bantarbarang yang juga belajar seni secara otodidak.
Sayang, potensi seni ini tak banyak diperhatikan Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Pemkab setempat hanya mengabadikan beberapa karya Mbah Gepuk di Museum Wayang yang dimiliki daerah itu. Sementara tidak ada perhatian sama sekali terhadap keberlangsungan wayang suket sebagai sebuah karya seni adiluhung.
Gambaran kisah wayang suket Mbah Gepuk ini terekam dalam film produksi tahun 2011 yang sempat menyabet berbagai penghargaan seperti, Official Selection Malang Film Video Festival (MafvieFest) 2011, Film Dokumenter Terbaik dan Film Dokumenter Favorit Penonton Festival Film Purbalingga (FFP) 2011, dan Best Creative Idea Tourism Movie Competition 2011.
Pegiat Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga Asep Triyatno mengatakan setiap penyelenggaraan FFA, karya-karya film pelajar Purbalingga tak pernah absen dikirimkan di ajang insan perfilman anak yang digelar oleh Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan dan Sineas Film Documentary (SFD) Medan. "Tak hanya itu, setiap tahun pula film-film pelajar Purbalingga diapresiasi dan berprestasi di Sumatera Utara," tuturnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H