Mohon tunggu...
Djati Wibowo
Djati Wibowo Mohon Tunggu... -

Alumni FISIP UI, a timpanist, part time lecturer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sedikit menyoal strategi pemasaran musik

16 November 2011   13:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:35 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seperti yang tertulis di artikel mengenai Strategi Pemasaran Musik yang dimuat di kompas.com, Menteri Mari Elka Pangestu mengisyaratkan bahwa pemerintah akan segera melakukan desain pemasaran musik, karena seperti yg terutlis dalam artikel tsb :

sumber daya musik adalah sebuah cultural capital yang luar biasa dan Pemerintah bertekad untuk mengangkat kekayaan sumber daya musik ini dalam konteks pengembangan ekonomi dan industri kreatif.


Saya rasa Ibu Menteri ini hanya berpikir momentum saja, karena mengambil moment IMEX yang berlangsung di Bali 7-14 November silam.  Memang sumber daya alam (dan budaya) kita ini banyak sekali. Jika dilihat dari industri world music yg saat ini berkiblat kepada Putumayo atau WOMAD, Indonesia memang boleh dibilang menjanjikan,begitu banyaknya potensi yang dapat digarap. Apalagi Franki Raden pernah bilang -dalam sebuah bincang2 santai- jika Indonesia bisa meraih share 5% saja dari pasar world music, maka dengan keanekaragaman musik Indonesia, maka pundi2 kocek akan bertambah. Akan tetapi kembali lagi, bagaimana konsep pemasaran yang ideal? Saya kira sebelum menggarap potensi pasar dunia, alangkah baiknya memikirkan potensi musik dalam negeri dulu. Banyak pendapat mengatakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang berkaitan dengan hajat hidup orang musik, tidak terlalu mendukung. Mulai dari pajak, hingga perlindungan terhadap pembajakan yang masih belum terlihat tuntas hingga kini. Jika sampai seorang James F Sundah mengatakan bahkan lapak2 bajakan hanya beberapa kilo meter dari pusat kekuasaan yakni Istana Negara, inilah perlambang betapa negara memandang remeh terhadap industri musik.

Kembali ke ranah world music yang akar nya adalah musik2 tradisi Indonesia. Bagaimana pemerintah negara ini melalui Ibu Menteri bisa merumuskan strategi seperti yg terungkap dalam artikel tadi, jika pengembangan sumber daya di dalam negeri sendiri -- saya BELUM menyentuh bagaimana memasarkan musik tradisi di dalam negeri-- tidak tergarap dengan baik? Ketika saya masih bertugas di Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), isu utama adalah sebenarnya pemberdayaan para pelaku seni tradisi, baik dari pendidikan, sampai dengan advokasi. Ada kekhawatiran bahwasanya seni tradisi jika dibawa keluar, atau bahkan misalnya ada pelajar/peneliti asing melakukan penelitian tentang musik tradisi Indonesia. Kasus yg terjadi dengan Malaysia hanyalah contoh kecil, bagaimana batik, yang mungkin tidak begitu dihiraukan perkembangan sumberdaya nya, tiba2 menjadi isu yang mengguncang rasa kebanggaan dan harga diri bangsa, ketika 'katanya' batik diklaim sebagai heritage Malaysia. Setelah itu adem ayem lagi... Mungkin mereka yg berkuasa itu tidak tahu kalau secara kasat mata saja (karena tidak ada data2 pendukung), beberapa jenis kesenian sudah hampir punah, akibat industrialisasi yang ada di daerah asal kesenian tsb. Beberapa juga sudah diliput media televisi. Misalnya saja, pengrajin topeng di daerah Jawa Barat tinggal beberapa saja, dan sudah berusia uzur. Sedikit sekali yang mau meneruskan kesenian ini. Di Jakarta, misalnya beberapa tahun sebelum ada program revitalisasi, tanjidor susah sekali ditemukan. Bahkan sempat diganti dengan keyboard atau alat musik elektronik. Industrialisasi memakan banyak tempat baik wilayah dan sumber daya manusia, sehingga mereka 'lupa' akan warisan budaya nya. Seorang teman di bidang penelitian IKJ pernah bercerita ia mendapat proyek penelitian utk merevitalisasi aset2 budaya di wilayah Kalimantan, karena usia muda disana sudah tidak lagi mengetahui kebudayaan asli daerah mereka.

Menyusun strategi jangka panjang yang baik utk musik kita tidak hanya melulu di ranah musik tradisi, namun juga musik barat, dalam hal ini orkestra. Walaupun akar budaya orkestra berasal dari Eropa Barat, namun perkembangannya sudah mencapai wilayah timur. Sebut saja Rusia dan China yang memiliki orkestra philharmonik dan didukung dengan concert hall yang memadai. Bila kita ingat Addie MS seorang tokoh musik orkestra simfonik selalu bersuara mengenai langkanya concert hall di Jakarta atau kota2 besar di Indonesia, maka kita lihat tetangga kita Singapura dan Kuala Lumpur. Okelah kalau Gedung Aula Simfonia Jakarta menjadi jawaban atas pertanyaan kelangkaan tadi. Namun jangan lupa, gedung tsb juga adalah pusat ibadah keagamaan.

Memperhatikan perkembangan Malaysia khususnya di KL mengenai musik orkestra simfonik ini, maka akan sungguh mencengangkan. Malaysia memiliki Malaysian Philharmonic Orchestra yang hampir seluruh anggotanya adalah pemain luar. Namun bukan disitu isu nya. Para pendiri orkes ini dengan bangga mengatakan bahwa orkes ini bersifat multikultural, mampu menghadirkan para musisi dengan berlatar belakang lebih dari 25 kebangsaan. Itu yang membuat Malaysia kemudian dikatakan memiliki kejamakan. Belum lagi Dewan Filharmoni Petronas, atau concert hall.. benar2 sebuah concert hall berstandar Association of Asia Pacific of Performing Arts Centres, sebuah asosiasi dimana Indonesia bahkan tidak termasuk di dalam nya. Bagaimana dengan harga tiket? Murah, sangat murah. Seat paling murah diharga RM 30 sedangkan paling mahal sekitar RM 200. Jika RM 1 = Rp. 3000, maka harga tiket paling mahal hanyalah Rp. 600,000. Bandingkan dengan harga tiket konser di Indonesia yg sampai jutaan rupiah, harga tiket pelajar yg 'cuma' Rp. 100ribu tapi itu pun sangat terbatas.

Inilah sebenarnya yg sebuah upaya menaikkan harga diri bangsa, walaupun bersifat 'cost-center' namun tetap dilakukan oleh Malaysia. Dengan dukungan Petronas sebagai sponsor utama, MPO menargetkan minimal 100 konser pertahun. Saya pernah baca ulasan di Kompas, bahwa utk mensejajarkan diri dengan bangsa2 di dunia, haruslah dengan cara dunia. Bukan lantas menjadi kebarat2an dsb. Tengok Jepang yang menggunakan idiom sepak bola agar masuk dalam kancah pergaulan masyarakat dunia, dengan menjadi tuan rumah di Piala Dunia 2002 misalnya... atau Singapura yang duluan membangun Esplanade sehingga tidak hanya di cap sebagai kota belanja saja, namun juga memiliki sentuhan world class arts. Kapan Indonesia mau jadi world class?

Mengutip lagi pernyataan ibu Menteri di artikel yang sama :

"Sekarang sudah saatnya Indonesia mendisain sebuah strategi pemasaran musik Indonesia yang makro dan solid untuk bisa bersaing di pasar World Music/Beat, yang masih dikuasai oleh grup-grup musik dari Amerika Latin, Afrika, dan Eropa. Untuk jenis World Music/Beat peluang kita sangat besar.


Saya agak terganggu dengan kata 'bersaing' dalam kalimat tadi, seolah2 bangsa kita ini mau diadu lomba dengan bangsa lain. Saya kira pendekatan seharusnya adalah benar kita harus meraih pangsa pasar dan setara dengan bangsa lain, tapi tidak dalam konteks bersaing. Kenapa? karena infrastruktur dan tata cara aturan yang masih harus dibenahi dan ditaati oleh para pelaku nya. Belum lagi pembinaan sumberdaya manusia dan alam, serta iklim usaha yang harus diperhatikan agar iklim berkesenian dan menuju pasar musik dunia juga lancar. Bersaing artinya membuat benchmark yang benar, memperbaiki kualitas manusianya, meningkatkan pendidikan, standar renumerasi, iklim usaha yang sehat. Barulah kita bisa berlomba dengan negara lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun