Siapapun yang pernah menjejakkan kaki si Sumatera Barat, disudut manapun, entah di Padang, Bukittinggi, Solok, Pariaman, Payakumbuh, Sawahlunto, pasti akan mengakui bahwa alam kawasan ini sangat indah. Tak perlu diceritakan bagaimana keindahan tersebut, tapi semua deskripsi tentang keindahan suatu daerah, lanskap, terhampar dengan di indah begitu anda menjejakkan kaki di bandara Internasional Minangkabau.
[caption id="attachment_70409" align="alignnone" width="300" caption="Danau Maninjau"][/caption]
Tapi keindahan alam yang mempesona itu ternyata tidak berpengaruh pada tinginya kunjungan wisatawan ke daerah ini. MEmang pada waktu-waktu tertentu beberapa kota BEsar, terutama Bukittinggi akan penuh sesak oleh turis domestic dari berbagai arah. Kebanyakan dari kota Padang dan Pekanbaru. Beberapa gelintir dari Batam atau Jakarta, tapi jumlahnya tidak signifikan.
Dikalangan turis eropa dan asing, Sumatera Barat/Padang masih sangat asing terdengar. Beberapa spot masih sesekali masuk dalam bursa pembicaraan wisata backpacker atau para petualang, sperti Maninjau, Lembah Harau dan Mentawai, namun lagi-lagi kebanyakan hanya menjadi destinasi alternative atau destinasi ‘sambil lalu’, bukan destinasi utama mereka.
Pun begitu juga dengan turis domestic. Gempa hebat yang melanda Kota Padang dan Pariaman, secara fisik memang meluluh lantakkan beberapa bangunan di kota tersebut, namun yang paling menyedihkan adalah gempa tersebut juga menghancurkan dunia pariwisata di kota-kota pegunungan yang sama sekali tidak terkena imbas akibat gempa tersebut.
Pemberitaan media dan tidak ada nya rehabilitasi citra dari pemda atau stimulan dari pemerintahan pusat, menyebabkan terjadinya TSUNAMI kelesuan pariwisata di Sumatera Barat. Propinsi yang sebagian besar kegiatan ekonominya bersandar pada sektor pertanian, pendidikan dan priwisata ini kini megap-megap tanpa ada yang peduli .
Entah kenapa, begitu Bom meledak di Legian Bali dan menewaskan 200 jiwa lebih, seketika itu pemerintah segera melakukan revitalisasi citra, didukung oleh media dan pers untuk mengajak masyarakat domestic untuk mengunjungi Bali. Bahkan untuk menstimulan bisnis MICE di Bali, pemerintah menghimbau seluruh instansi atau BUMN untuk mengadakan meeting atau rapat2 regional/nasional mapun internasionalnya di Bali.
Sama halnya ketika pasca gempa Jogja. Segera pemulihan citra parwisata Jogja di gelar oleh pemerintah pusat, dan seluruh media.
Tapi kenapa lain halnya dengan Sumatera Barat? Kenapa pasca gempa semua media, baik cetak, elektronik dan sebagainya seakan alergi untuk mengkampanyekan danmengajak masyarakatdomestik maupun luar negeri untukkembali mengunjugi Sumatera Barat. Bahkan terkesan mengeksploitasi bencana yang terjadi disana untuk kepentingan rating tanpa ada pemberitaan untuk merehabilitasi citra pariwisata Sumatera Barat yang tercabik-cabik akibat pemberitaan gempa yang terlalu di dramatisir, seolah –olah seluruh kota padang hancur rata dengan tanah.
Kenapa pemerintah pusat juga tidak melakukan apa-apa untuk menstimulasi kegiatan pariwisata Sumatera Barat, bahkan ikut-ikutan meninggalkan kota Padang dan Sumatera Barat dengan memindahkan kantor –kantornya ke propinsi tetangga.Apakah karena tidak ada lagi hasil alam yang bisa di kuras di Sumbar ( Setelah Batu Bara dan Semen yang menjadi energy utama pembangun negara kesatuan Republik Indonesia pada masa awal abad 20 lalu telah habis dikuras, kini Sumbar tidak memiliki sumber daya alam besar lagi ).
Sumatera Barat dan Ranah Minang ibarat surga yang ditelantarkan, dilupakan atau mungkin sengaja di lupakan. Entah dosa apa yang telah dilakukan Ranah Minang, tapi yang pasti republik ini berhutang banyak pada Ranah Minang. Dan sepantasnyalah pemerintah pusat untuk berbuat lebih untuk membangkitkan kegiatan pariwisata di Sumatera Barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H