Setelah ribut-ribut lonjakan harga bawang putih saat Ramadhan kemudian berhasil stabil, sekarang berganti telur ayam yang diembuskan. Isunya sama saja.
Nggak usah lagi memelintir isu kenaikan harga telur ayam. Asal tahu saja, di tingkat peternak, harga telur ayam rata-rata antara Rp 19.600 - Rp 22.000.
Terus produksi telur ayam dari peternak mencapai 7.800 ton per hari selama 2019. Perhitungan konsumsi di masyarakat -termasuk ketika Ramadhan hingga Lebaran-- antara 6.700 - 6.800 ton per hari.
Tapi dengan perhitungan angka yang aman itu, Kementan tetap mementingkan kebutuhan konsumen alias masyarakat. Nggak mau ada teriakan harga telur ayam mahal.
Walhasil: di pasar-pasar Jakarta, Kementan distribusikan 7,2 ton telur ayam dari stok simpanan yang ada. Di daerah, Kementan meminta Bulog supaya lebih optimal menyerap telur ayam peternak buat dijual ke pasaran.
Padahal kalau dicerna dengan logika cerdas, terkait telur ayam semua aman terkendali. Seharusnya. Dan itu prestasi kerja Kementan.
Harga telur ayam di tingkat peternak layak dan ketersediaan di pasaran untuk kebutuhan konsumen -khususnya untuk Ramadhan dan Lebaran- stabil. Nggak ada masalah kok.
Nggak usah menyudutkan Kementan mengenai lonjakan harga telur. Soal pilihan saja. Kalau ditekan di harga peternak ayam, pasti dipelintir lagi.
Kementan dianggap tidak memikirkan kesejahteraan hidup para peternak ayam. Semua bertahap menyangkut stabilitas harga telur ayam. Kementan bekerja aktif. Peternak ayam tidak merosok pendapatan ekonominya dan di pasaran harga dapat normal.
Yang perlu diserang itu mafia telur ayam. Tega memainkan harga sehingga masyarakat menjerit kemahalan. Skema ketersediaan telur ayam dan harga di peternak sudah aman. Tapi ada mafia yang memanfaatkan harga telur ayam supaya bergejolak.
Nah, buat mafia telur ayam itu, tinggal tunggu saja dilibas Mentan Amran Sulaiman. Telah terbukti nggak pernah takut lawan mafia pangan.