Kemudahan dan keefektifan mobilisasi takbir keliling tersebut juga didukung dengan penggunaan pengeras suara atau speaker dan sound system dalam mengumandangkan takbir. Oleh karenanya, takbir keliling yang kita lihat sekarang akan jauh lebih meriah dan ramai, karena sekejap akan menyerupai pawai yang berhasil menarik perhatian banyak orang. Suara kencang yang dihasilkan oleh pengeras suara speaker akan menjadi penyemangat tersendiri bagi tiap orang untuk mengumandangkan takbir.
Dari keistimewaan takbir keliling tersebut, sayangnya semakin ke sini, budaya takbir keliling tidak diimbangi dengan kesadaran akan norma, nilai, dan tujuan utamanya.
Takbir keliling seharusnya menjadi momen yang tepat untuk mengumandangkan takbir secara meluas dan semarak, namun yang terjadi justru nilai dari 'takbir' itu sendiri sudah tidak ada dan cenderung dilupakan bahkan dipermainkan oleh banyak pihak. Bahkan, takbir keliling menjadi momen yang merusak takbir itu sendiri.
Seperti yang dialami oleh penulis sendiri, pada malam takbiran lalu. Sangat miris dan kecewa saat mengetahui banyak orang yang bersemangat mengikuti takbir keliling, namun hampir semua dari mereka tidak mengumandangkan takbir sama sekali sepanjang perjalanan. Katakanlah ada satu rombongan besar takbir keliling dengan banyak kendaraan besar. Dari banyak kendaraan tersebut, terhitung hanya satu kendaraan yang mengumandangkan takbir, itu pun suaranya berasal dari kepingan CD yang diputar yang sudah diaransemen dengan musik dangdut koplo. Selebihnya, semua kendaraan dan speaker yang terpasang di sana, memutar lagu dangdut koplo yang sangat tidak pantas untuk didengar sama sekali.
Sebenarnya merupakan sebuah kesenangan bisa melihat orang dengan semangat dan inisiatif tinggi melakukan takbir keliling dengan semarak. Namun, jika takbir sendiri sudah menjadi bahan hinaan, bahan lecehan, dan bahan untuk diinjak-injak oleh umatnya sendiri, lantas apa yang bisa dibanggakan? Semua orang akan berlagak hebat, keren, bisa berjoget sesuka hati di atas truk yang berjalan diikuti dengan suara dentuman musik keras. Semua orang juga akan merasa paling berani, bisa melempar petasan ke sana sini, ke siapa pun di sepanjang perjalanan.
Sayangnya, orang-orang itu tidak berpikir, betapa malunya kami, umat Islam, melihat perbuatan mereka yang dengan bangganya merendahkan agamanya sendiri.
Sayangnya pula, orang-orang bangga mempertunjukkan kebodohannya, tertawa di atas kebodohannya, dan membodohi dirinya sendiri, yang sialnya, justru membuat orang lain malu dan merasa berdosa.
Indonesia krisis akan rasa kepedulian dan sadar keagamaan. Jika memang banyak orang tidak berorientasi pada pedoman keagaamaan, setidaknya hal mendasar yang menjadi acuan berpikir mereka adalah pedoman sosial. Tentang bagaimana berperilaku dan beretika yang baik. Meski mengumandangkan takbir adalah momen yang bersifat religius dan sakral, namun jika masih banyak orang yang berpedoman pada aturan sosial, maka takbir keliling tidak akan menjadi momen yang penuh kebodohan.
Inilah permasalahannya.
Indonesia banyak didominasi oleh orang bodoh. Orang yang masih bisa mengangkat kepalanya setelah menginjak-injak harga diri dan agama mereka sendiri. Orang yang masih bisa bicara lantang setelah meneriaki dan mencaci pedoman hidup mereka sendiri.
Coba ambil waktu sekejap untuk berpikir dan renungi ini; 'kamu dilahirkan oleh sebuah keluarga. Kamu dan keluargamu tinggal di sebuah rumah. Rumah yang melindungi dan menjadi tempat tumbuh kembangmu. Suatu saat, kamu mulai bisa berlari. Kamu mendapat bekal satu batang kayu dari kedua orangtuamu. Lalu, kamu mengenal orang-orang di sekitarmu, dan bermain dengan mereka. Kamu mendapat satu batang korek api dari mereka. Lalu kamu pulang ke rumah. Dengan berbekal batang kayu dan korek api, kamu mulai menyulut api. Melemparkannya ke salah satu sudut rumahmu. Kamu melihat sendiri bagaimana rumahmu terbakar, tak terkecuali orang-orang yang ada di dalamnya. Kamu tak bisa berlari, karena bagaimana pun, itu adalah rumahmu. Dan tanpa sadar, kamu ikut terbakar oleh apimu sendiri.'