Pengalaman pertama patut dikenang, apalagi kalau di negeri orang. Senin minggu lalu untuk pertama kalinya, saya mencoba LRT, kereta kebanggaan Malaysia. Mereka boleh mengungguli kita dalam hal infrastruktur dan keamanan, namun kalau dalam hal seni dan kuliner, Indonesia lebih berjaya. Sesuai dengan petunjuk dan arahan salah seorang sahabat dekat, Adenk, saya dianjurkan untuk mencoba nasi Padang di dekat Kampung Baru. “Elu naik LRT dari stasiun KLCC, jaraknya hanya satu stasiun dan tiketnya satu ringgit, elu turun di stasiun Kampung Baru. Kemudian ikuti pintu keluar, nanti setelah ketemu rumah susun, ambil kanan. Nah elu ikuti aja sampai ada pertigaan. Kalau elu mau sate padang tinggal lurus saja, kalau nasi padang elu ambil jalan ke kiri. Setelah itu lurus…elu mentok di jalan besar, belok kanan. Jalan lagi…hmmm..ketemu mesjid, masuk gang dikit..entar elu akan menemukan RM Padang Garud*. Itu Rumah Makan paling mantap di negeri jiran!!”. Duh, jauh-jauh ke negeri jiran malah ‘taragak’ nasi padang. Jangan sampai teman-teman saya tahu, bisa dihinadinakan keinginan saya yg luhur dan sangat nasionalis ini. Singkat cerita, saya langsung menuju menara kembar Petronas, KLCC, dari tempat menginap di salah satu hotel berbintang di samping kuburan jalan Ampang. Ternyata mencari stasiun pun merupakan hal yang sulit buat orang kampung seperti saya. Padahal ada petunjuk di peta gedung dan sudah berkonsultasi dengan ‘mbah Google’ serta sudah berkeliling di bagian dasar bangunan kebanggaan WNM (warga negara malaysia) itu, saya tak berhasil menemukannya. Lagi-lagi, saya dipandu oleh sahabat yang telah menjadi TKI sukses kasta Satria ini. “Elu jalan ke arah tempat orang banyak jual roti, di dekat Isetan lantai dasar. Nah keluar aja dari situ..banyak petunjuknya kok”. Dan ternyata, saya baru sadar dari tadi saya sudah melewatinya berkali-kali. Tepok jidat. Setelah sampai di depan stasiun, saya langsung menuju loket yang saya pikir tempat jual tiket. Di depan loket, saya katakan bahwa ingin beli tiket ke petugas di dalamnya. Lelaki keturunan India yang menjaga loket itu melihat saya dan berkata, “you must buy ticket at that machine sir..” Sembari menunjuk ke arah mesin-mesin tiket seperti mesin ATM yang berjejer di salah satu sudut di stasiun. Alamak, ternyata ‘taragak’ makan enak kok ribet banget ya. Di depan mesin otomatis itu, saya kebingungan. Agak lama saya memperhatikan orang-orang yang berasal dari berbeda bangsa terlihat sangat biasa dengan mesin-mesin itu. Akhirnya, saya mendekat ke mesin tiket yang agak sepi dan mengikuti panduannya. Setelah memasukkan uang satu ringgit dan menekan stasiun Kampung Baru, keluarlah tiket..eh bukan tiket tapi sebuah koin plastik. Saya tak percaya, hanya sebuah koin plastik. Mirip dengan koin mainan anak-anak. Saya bingung karena melihat orang lain malah memegang tiket bukan koin plastik seperti saya. Namun demi nama baik bangsa besar yang pernah terkenal seantero dunia sebagai salah satu macan Asia, saya pura-pura mahfum. Saya meniru orang-orang berwajah Timur Tengah, India, Cina dan Kauskasia yang berlalu lalang dan terlihat sangat nyaman dengan mesin dan pintu masuk stasiun itu. Saya tak boleh mempermalukan nama baik Bangsa Indonesia. Kata pak BeYe, presiden kebanggan kita, bangsa lain selalu menanyakan pendapat Indonesia tentang hal-hal pelik, masa saya malah bertanya tentang naik LRT kereta listrik ini. Akan sangat memalukan dan membuat marwah bangsa besar ternoda, jika untuk hal sepele seperti ini saya bertanya kepada bangsa lain. Mengingat hal ini, saya mengirim bbm pada sahabat baik saya itu. Saya menunggu ‘petunjuk’ dari sahabat karena tak tahu harus berbuat apa dengan koin plastik ini. Sembari menunggu, saya kembali menuju mesin dan memasukkan uang 1 ringgit dan lokasi kampung baru, dan berharap yang keluar adalah tiket dan namun yang keluar tetap koin plastik. Akhirnya, petunjuk itu datang juga. Koin plastik itu adalah kunci pintu besi menuju LRT. “All you need, just tap that coin on the gate man..”. Sesaat saya merasa kosong. Jangan pernah anggap remeh koin mainan di negeri Jiran. Mereka kunci menuju sesuatu yang besar. Segera saya menuju pintu masuk ke lokasi peron. Tiba-tiba, ada seseorang berkata. “Ncik, saya nak balik ke rumah. Boleh tak, encik bagi awak wang tiga ringgit?”, begitu perempuan ini mendekati saya yang masih kebingungan setelah membaca jawaban tentang apa yang harus dilakukan dengan koin plastik ini. Entah mengapa dari ratusan atau mungkin ribuan orang yg berlalu lalang di stasiun kereta, perempuan ini malah menghampiri saya yang masih bingung. Saya senyap. Dan perempuan melayu yang kurus ini masih berdiri di depan saya dan memelas, “Ncik, tolonglah awak..nak balik rumah, wang kurang. Tadi awak punya abang dah balik..awak lupa kalau tak bawa wang”. Saya seperti tersengat listrik dan nafsu makan seketika hilang. “Nak balik mana?” tanya saya sembari memberikan uang yang diminta. Dia menyebutkan nama daerah yang tak saya kenal dan sambil mengucapkan terimakasih, perempuan ini berlalu. Saya tak jadi makan nasi Padang malam itu. Saya makan nasi Lemak sahaja sambil membayangkan perasaan Hang Tuah jika melihat perempuan melayu yang kurus itu. (ditulis: 160912)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H