Mohon tunggu...
bosmen rianto
bosmen rianto Mohon Tunggu... -

surrounding observer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secangkir Cerita Kopi

11 Maret 2013   02:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:00 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku selalu menunggu saat-saat itu. Ketika teman-teman ayah berkunjung ke rumah dan ibu mengeluarkan bubuk kopi hitam terbaik, kemudian mengambil secukupnya untuk dimasak di dalam ‘ceret’ tanah liat. Kopi rebus buatan ibu tak ada duanya, beberapa kali aku mencoba membuat sendiri dan selalu ada yang kurang. Kurang gula atau kurang pahit, yang jelas kurang enak dan tak senikmat buatan ibu.

Ayah selalu menyeruput pelan jika kopi tinggal seperempat cangkir. Katanya seperempat terakhir itu adalah bagian terbaik dari secangkir kopi, dan itu harus diminum dengan khusyuk dan penuh cinta sambil memandang mesra pada pembuatnya, ibuku.

Senja itu, seusai maghrib kami duduk di atas kursi bambu beranda depan rumah. Menurutku, ibu tak pernah membuat kopi senikmat itu jika tidak ada tamu. ‘Itu hanya perasaanmu saja…kopi buatan ibu selalu terasa nikmat di lidahku’, ujar ayah. Ibu yang duduk di samping ayah tersenyum menatapnya. Kemudian ibu beranjak menuju dapur dan memasak air. ‘Engkau tak boleh membandingkan rasa kopi dari waktu ke waktu. Kenikmatan kopi saat ini tentu berbeda dengan saat lalu..satu lagi, jangan pernah mengatakan kekurangan rasa kopi di depan pembuatnya. Itu membuat rasa kopi yang dibuatnya di kemudian hari menjadi lebih tak menentu.’ Aku, mengangguk, seakan mahfum apa yang disampaikan oleh ayah. Kami berdua tersenyum dan ibupun kembali ke beranda depan untuk mendedahkan dua cangkir kopi di meja bambu. Aku senang sekali. Jika aku tak memintanya, ibu tak pernah membuat kopi untukku. Ini pasti hari istimewa, secangkir kopi tanpa diminta. ‘Minumlah..ini hadiah kenaikan kelasmu. Nanti di kelas 6, kamu harus lebih rajin lagi’, ibu mengelus rambutku. Aku mengangguk haru. Setakat, aku menuangkan kopi panas di atas piring kecil tadah cangkir dan menyeruput dari bibir tadah itu. Tuangan kedua dan ketiga juga seperti itu, dan seperti petuah ayah..aku menyisakan seperempat bagian di cangkir. Bagian terbaik, harus di minum dengan khusyuk dan penuh cinta, sambil memandang wajah pembuatnya, wajah ibuku.

==Lima belas tahun dari senja yang menyenangkan itu==

‘Brittania rules the waves’ dan aku pun terbawa oleh ombak laut ke negeri ini. Akibat ayah menghipnotisku dari bayi hingga SMA untuk memuja sebelas pemain berbaju merah yang tidak pernah berjalan sendirian ke tengah lapangan, “ You’ll never walk alone…”. Namun tahun ini bukan tahun mereka yah. Sudah tujuh pertandingan, mereka tak pernah menang, pelatih barupun tidak mampu membawa pencerahan. This is the dark middle age of the Reds.. Surat yang kutulis tentang kepahlawanan sebelas orang di lapangan telah menarik minat pemilik klub ini untuk meminta masukan dari konsultan keuangan sepertiku. Padahal nasehat shahih dari konsultan keuangan adalah Penghematan. Mereka tidak akan aku sarankan membeli pemain baru kecuali dari negeri kita (my wish), karena kondisi keuangan mereka mengkhawatirkan. Untuk menghormati ayah, nasihat yang kuberikan pada pemilik klub ini ‘free of charge’. Ironinya aku menginap di Winslow, pas di hook Winslow Streetdan Goodison Road, hanya sepelemparan batu dari markas si Biru, Everton. Ini bukan pengkhianatan, tapi demi secangkir Cappucino hotel yang menurut temanku paling mantap di Merseyside. Sayang sekali tak ada kedai kopi yang pas di Anfield Road, mungkin alasan ini tidak masuk akal. Tapi menurutku di Merseyside tidak ada pembuat kopi seperti ibu. Orang pelabuhan negeri ini bukan penikmat kopi, mereka pemuja teh dan bir. Konon nenek moyang mereka rela mengarungi samudera luas sampai ke Nusantara untuk mendapatkan teh dan rempah-rempah lainnya.

Malam ini, aku menyeruput secangkir cappucino di sudut jalan Winslow. Aku tidak mengikuti ritual ayah dalam menyeruputnya. Ritual itu sudah kutinggalkan sejak kuliah dulu. Penyebabnya perempuan berlesung pipit yang selalu sumringah. Ibu pasti ingat, aku pernah menceritakannya tiga setengah halaman kertas folio di suratku semester 7 dahulu. ‘Menyeruput minuman dari tadah piring kecil itu tidak beradab dan tidak higienis‘, begitu perempuan berlesung pipit ini memulai komunikasi ‘perang’ denganku. Awal yang tidak menjanjikan untuk memulai hubungan kasih. Tapi, dunia penuh dengan paradoks, pengertian timbul setelah pertengkaran, dan rasa sayang lahir setelah curiga menguap. Cinta itu adalah reaksi eksotermis di awal dan endotermis di akhirnya. Ibu pasti mengerti bahwa aku sulit menjelaskan tentang ini dalam bahasa sederhana. Tiga setengah halaman folio yang ku kirim itu adalah mukadimah dari ceritaku di surat-surat berikutnya. Dan setelahnya, aku memulai meminum kopi dengan cara yang beradab dan higienis. ‘Elegan seperti para priyayi’, kata perempuan yang mulai dekat denganku ini.

Capucino, menurutku minuman tak jelas. Capucino itu refleksi kegalauan,kopi pahit dicampur dengan coklat, susu dan gula. Ini adalah minuman wajib bagi manusia galau di kota pelabuhan ini. Ah sudahlah…malam ini, cukup capucino dan perempuan berlesung pipit sebagai teman kegalauanku. Capucino di kota pelabuhan yang sibuk ini tak mampu mensubstitusi kopi ibu dan kenangan yang ku seruput bersama aromanya di kampung dahulu. Aku rindu ‘ceret’ usang kesayangan ibu, entah berapa banyak cangkir cerita direbus dan dihirup bersama aromanya. Aku terngiang kata-kata ayah,”salah satu dari seribu satu alasan untuk mencintai ibumu, adalah secangkir kopi buatannya”. Di samping perempuan berlesung pipit ini, aku tuang capucino di atas piring tadah kecil. Seperti ‘wine taster’ yang fasih, aku menyuruput capucino ini dari piring kecil ini. Tidak beradab dan tidak higienis. Seperempat cangkir terakhir, ku hirup dengan khusyuk dan pelan, sambil menikmati wajah pembuatnya. Wajahku terpias di kaca jendela.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun