Salam untuk semua...
Sepertinya benar sekali akan kenyataan bahwa seorang eks narapidana atau terhukum (selanjutnya saya menggunakan kata"EKS") harus menanggung "tambahan atau ekstra hukuman" bersifat sosial di lingkungan masing-masing Eks tersebut. Saat banyak orang memperdebatkan dan hingar bingar soal isu LGBT yang dilegalkan oleh beberapa negara, sesunguhnya hal tersebut hanyalah berkaitan dengan hak untuk bersosial atau melanjutkan hidup setelah adanya keputusan perubahan dari hidup yang pada umumnya.
Ada ilustrasi dalam satu kitab suci yang saya imani sebagai orang percaya tentang begitu banyak demonstrasi tentang pengampunan dan penerimaan atas orang-orang yang dipandang berdosa. Ada jugakah di kitab suci lainnya juga ditemukan hal ini ? Hukum NKRI sendiri sejak berubahnya nama tempat bagi para narapidana atau terhukum dari semula PENJARA menjadi LEMBAGA PERMASYARAKATAN termuat adanya prinsip memberdayakan dan mempersiapkan para Eks untuk kembali bergaul di masyarakat.Â
Sekarang, Â sebagai masyarakat yang tunduk atas hukum NKRI perlu atau tidak perlu atau abaikan saja tujuan dari Pemerintah RI yang membuat hukum tentang pemasyarakatan. Lalu, apa yang hendak disampaikan oleh MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) dengan Putusan No. 42/PUU-XIII/2015 yang membatalkan ketentuan Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota kepada masyarakat ? Hanya untuk melanggengkan kekuasaan atau menjaga konstitusi yang menjamin kehidupan yang sama bagi semua orang. Putusan MK tersebut sebenarnya mengandung dissenting opinion dari Hakim MK MARIA FARIDA.
Sekilas soal pertimbangan hukum Putusan MK di atas adalah keselarasan antara ketentuan UU PILKADA di atas dengan KUHP. Pasal 35 ayat 1 angka 3 KUHP mengatur bahwa pada pokoknya terpidana dapat dicabut hak memilih dan dipilih dalam pemilihan. Operasionalisasi KUHP tersebut melalui Putusan Hakim. Putusan Hakim yang tidak mencabut hak politik seseorang seharusnya tidak dihalangi oleh undang-undang karena undang-undang hanya memberi batasan. Argumen ini juga sebenarnya masih bisa diperdebatkan karena UUPT saja memberi batasan dalam syarat pengangkatan direksi dan dewan komisaris. Apakah Hakim juga harus memikirkan membuat putusan yang mencabut hak menjadi pengurus PT agar UUPT dapat dilaksanakan secara konsisten ?
Itulah alasan saya, pernah membuat tulisan soal Pilkada Serentak pada awal sekali, karena memilih pemimpin tidak bisa menggunakan perasaan semata atau mengira orang itu baik, jahat, pecundang dan lain-lain. Masyarakat tidak boleh tidur, karena buah di kebun hanya layak bagi yang mengerjakan dan yang kerja memetiknya kecuali secara sukarela dibagikan atau menengadahkan tangan atau tangan di bawah. Siapakah kita ?Â
Saat ini, beberapa daerah yang kepala daerahnya dihukum karena Korupsi dan kemudian digantikan oleh wakilnya bisa kita lihat kondisi riilnya, bisa dirasakan, bisa didengar ceritanya dan lain-lain. Temukanlah perbedaannya, memburuk atau maju? Hukum positif mengatur jelas bahwa Eks atau residivis yang terjatuh kembali dalam kasus pidana atau korupsi terancam tuntutan pidana yang lebih berat. Sudah pasti, Eks yang maju kembali bertarung dalam Pilkada mempertaruhkan banyak hal jauh dari yang mungkin dipertaruhkan dari sekedar uang. Saya yakin mereka sudah mempertimbangkan segala aspek termasuk risiko semakin dipermalukan di mata masyarakat, inilah yang sebenarnya pokok masalah dari perdebatan Eks menjadi Kepala Daerah yakni Hukuman Sosial yang menjangkau pihak yang lebih banyak terkait diri Eks tersebut.
Masyarakat bertanya-tanya keberanian atau dorongan atau niat apa yang begitu berkecamuk dalam diri Eks yang maju sebagai Kepala Daerah. Sekira ada pembaca yang pernah berdiskusi dengan Terdakwa atau Terpidana korupsi, mungkin menemukan adanya suatu kenyataan bahwa terjadi malfungsi dalam penegakan hukum di NKRI. Entah itu karena kemampuan menafsirkan peristiwa dikaitkan dengan aturan hukum atau lain-lain. Sulit rasanya menyatakan tegas meskipun terasa sekali ada yang kurang baik.
Semoga masyarakat sungguh-sungguh memperhatikan niat dari setiap orang yang maju menjadi Kepala Daerah. Tidak putus asa mengharapkan Kepala Daerah yang terbaik bahkan sekalipun seorang Terhukum atau pekerja rendahan yang serius berbalik dan mau memperbaiki dirinya. Perhatikanlah cara kerja mereka untuk memperbaiki kesehatan, pendidikan, keamanan/ketertiban dan investasi karena selebihnya hanyalah hiruk pikuk atau kehebohan belaka.
Tetap semangat!
Ando Sinaga