Salam untuk semua...
KPK adalah satu-satunya komisi yang harus diakui paling mentereng kinerjanya dibandingkan lembaga, badan atau komisi lainnya yang baru dibentuk dalam rangka merubah nasib NKRI menjadi negara yang lebih berdaulat. Sekalipun ada beberapa bantahan ataupun argumen untuk memperkuat eksistensi badan, lembaga atau komisi lain, pada kenyataannya satu-satunya komisi yang "paling disenangi" untuk dikuliti hanyalah KPK termasuk merevisi UU KPK yang katanya meresahkan dan kurang kuat oleh karenanya perlu diperkuat. Begitulah kira-kira logika yang seharusnya dibangun jika hendak memperkuat KPK.
Salah satu aksi "heroik" KPK yang selalu mengundang decak kagum adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT). OTT KPK harus diakui semacam trademark atau simbol identitas yang begitu melekat dalam KPK meskipun masih banyak aksi penindakan lainnya yang mencengangkan. OTT KPK menjadi suatu pengungkapan atas rumor, isu, kabar burung atau apapun namanya tentang kejahatan yang selalu sulit untuk dibuktikan dengan cara yang biasa saja.
OTT KPK diyakini hanya bisa terjadi karena kewenangan penyadapan yang diamanahkan dalam UU KPK yang mau ditinjau untuk diperkuat, katanya. Sebenarnya, jika semua lembaga, badan, institusi, komisi yang menegakkan hukum ataupun kode etik di NKRI ini diberikan kewenangan menyadap serupa dengan KPK maka dapat diperkirakan tidak ada lagi kejahatan yang sulit dibuktikan, argumen yang menarik namun tidak terkira konsekuensinya. Kenapa ?Â
Tepat satu hari lalu, terjadi lagi OTT KPK yang diduga melibatkan pejabat di lembaga terpenting di NKRI yakni Mahkamah Agung RI (MARI) padahal jelas-jelas Pimpinan MARI mengingatkan seluruh karyawan ataupun pihak yang mengabdi di MARI untuk tidak main-main (lagi). Artinya, MARI telah memberi batas dan pedoman arah policy apabila ada pihak yang masih dalam tahap diduga saja akan dinonaktifkan sementara. Kebijakan yang harus diapresiasi dan terus didengungkan oleh setiap penegak hukum baik dibawah kekuasan MARI maupun aparat penegak hukum lainnya.
Orang-orang yang ditangkap jumat lalu sudah berstatus tersangka yakni ATS, IS dan ALE dengan bukti uang sebesar Rp. 400 juta dan disangka melanggar pasal 5 ay. 1 dan/atau pasal 11, pasal 12 dan atau pasal 13 UU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dan, obyektif penyuapan tersebut adalah menunda (entah itu pengetikan, atau pengiriman) putusan kasasi. Wow! Logikanya adalah putusan tersebut haruslah tidak menguntungkan si pemberi suap ? Ini sama saja sudah jatuh tertimpa tangga dan lain-lain. Namun, kita harus menunggu lagi apa yang lebih "menarik" dari sekedar menunda putusan tersebut. Kenapa ? karena KPK dengan reputasi dan kewenangan dahsyat tersebut membutuhkan momentum untuk membungkam argumen pihak-pihak yang meminta dilakukan pengawasan dan koreksi kewenangan penyadapan KPK.Â
Kalaupun, angan-angan adanya kejutan lain tidak terbukti di kemudian hari, setidaknya ada berita "pemanis" di saat adanya ramalan langit mendung bagi KPK di masa depan. Sebenarnya, KPK harus meminjam policy yang ditegakkan oleh MARI agar seluruh pihak yang mengabdi bagi nama baik MARI jangan lagi bermain-main, dengan mencanangkan bahwa OTT ini adalah momentum bagi KPK menyatakan secara tegas kepada masyarakat, pemimpin-pemimpin NKRI dan internal KPK bahwa seluruh aksi pencegahan dan penindakan KPK tidak ada duanya yakni tidak akan dengan mudah diduplikasi oleh siapapun yang mungkin akan dilekatkan kewenangan termasuk soal penyadapan seperti KPK.
Lebih gamblangnya, KPK bukan lagi memancing ikan di permukaan melainkan segera akan "mengundang" ikan besar yang biasa hidup di dasar lautan dalam yang gelap untuk muncul dan menyerah supaya keadilan sosial bagi masyarakat NKRI yang masih terpinggirkan menjadi realitas.
Sebelum itu teringat, dengan pasal-pasal yang disangkakan ntuk kasus ini harus diingat soal dugaan pemerasan, penipuan, dan kewenangan bertindak baik langsung maupun tidak langsung. Sangat menantikan sekali jika ada argumentasi hukumnya.
Â
Tetap semangat !