Mohon tunggu...
Bono B Priambodo
Bono B Priambodo Mohon Tunggu... Dosen - Kandidat Doktor di Amsterdam Institute for Social Science Research

Bercita-cita jadi buaya keroncong atau merbot mesjid, sekarang malah mengajar hukum adat, koperasi, administrasi negara, lingkungan dan SdA di FHUI.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU Pertanahan: Keniscayaan yang Diramalkan Sendiri oleh UUPA

23 Agustus 2019   11:40 Diperbarui: 23 Agustus 2019   11:49 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepemerintahan Neoliberal

Setelah Orde Baru runtuh, mungkin karena UUPA-nya masih sama, maka muncul kembalilah sentimen-sentimen relijius-komunal dan agraris-subsisten dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Namun setelah lebih dari duapuluh tahun, mari tanyakan kembali pada diri sendiri: Apa sebenarnya yang meruntuhkan Orde Baru dan apa pula yang menggantikannya?

Suka tidak suka, harus diakui bahwa suasana seakan-akan relijius-komunal yang dahulu dipaksakan secara otoriter serba-negara kini telah diganti oleh semangat yang jauh lebih individualis dan liberal.

Namun hal ini tidak serta-merta berarti keserba-negaraan itu telah berakhir. Pendek kata, Indonesia kini berada dalam suasana kepemerintahan neoliberal. (neoliberal governmentality)

Alam pikiran kepemerintahan neoliberal menghendaki peran aktif negara dalam memastikan agar tiap-tiap individu warganegara memerintah diri sendiri untuk menjadi insan-insan yang bebas merdeka dalam segala bidang kehidupan, bahkan, dan terutama, bebas dan merdeka dari kebutuhan untuk bernegara dan berpemerintahan itu sendiri; Sungguh suatu suasana kebatinan yang sudah jauh berbeda sekali dari idealisasi relijius-komunal a la masyarakat agraris-subsisten yang diidam-idamkan UUPA. Kini, setelah hampir 60 tahun berlaku, apakah UUPA, karena itu, masih relevan dengan suasana jaman? Jawabannya tentu saja tidak!

Bagaimana caranya agar ia sesuai dengan suasana jaman? Dari awal sebenarnya politik pertanahan Indonesia memiliki 2 (dua) pilihan jelas: pertama, setia pada cita-cita relijius komunal dan mengintroduksi transformasi yang lebih 'sabar' ke arah industrialisasi-komersialisasi, jikapun ingin demikian; atau, kedua, terjun sepenuh hati ke dalam arus industrialisasi-komersialisasi, dengan sepenuhnya memfasilitasi penguasaan dan kepemilikan perorangan atas tanah. UUPA, pada 1960, justru mengambil pilihan ketiga, yakni, setia pada cita-cita relijius-komunal, namun 'main mata' dengan kemungkinan industrialisasi-komersialisasi. Akibatnya, relijius-komunal jelas tidak, industrialisasi-komersialisasi pun seadanya saja.

Apa yang dilakukan oleh RUU Pertanahan baru-baru ini sebenarnya sederhana saja: Ia mengambil pilihan kedua. Lantas, apa sebenarnya konsekuensi dari mengambil pilihan itu?

Secara umum, dapatlah dikatakan bahwa yang akan didapat setidaknya kepastian hukum---dan ini pun mungkin akan didapat juga, seandainya dahulu konsisten dengan pilihan pertama, misalnya, wallahua'lam. Kenyataan mengenai berbagai kesenjangan baik sosial-ekonomi maupun sosial-budaya bagaimanapun akan selalu menjadi keniscayaan dalam masyarakat manusia mana pun.

Namun demikian, jangan sampai keinginan untuk mengakomodasi kedua ekstrem dalam kesenjangan itu lantas mengakibatkan ketidakpastian hukum. Itulah sebenarnya yang terjadi pada implementasi UUPA selama hampir 60 tahun terakhir ini.

Mewujudkan Cita-cita Kepastian Hukum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun