Gambar Anak remaja perempuan terlihat tidak konsentrasi saat pembelajaran sekolah (Rumah Sakit JIH/Ika Risky Muharomin, S.Gz)
Oleh: Afifah Ika K, Bonnita Nur K, Desi Irawati, dan Sabrina Fathiyah H
Persiapan  masa ujian memanglah tidak mudah. Begitu pula yang saat ini dirasakan oleh Chika karena UTS di depan mata. Setelah hari sekolah yang panjang, mereka tetap harus belajar lagi di tempat les. Ketika di tempat les, Chika sudah terlihat pucat pasi, ia merasa lemas, dan kelelahan. Ternyata Chika mengalami anemia yang saat ini membuatnya sulit untuk berkonsentrasi pada pelajaran. Chika sendiri memang tidak terlalu suka mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, ditambah lagi ia senang sekali minum kopi atau teh ketika makan siang. Akibat dari anemia yang ia alami, Chika sama sekali tidak dapat konsentrasi belajar hingga hasil UTS pada keesokan harinya tidak memuaskan. Jika kondisi ini terus berlanjut, produktivitas Chika akan menurun, dan tentunya akan mempengaruhi masa depannya.
Berdasarkan cerita di atas, kita dapat mengetahui anemia memberikan dampak yang signifikan terhadap kesehatan dan masa depan remaja, khususnya remaja putri. Di Indonesia sendiri, anemia merupakan salah satu masalah gizi mikro utama yang hampir terjadi pada setiap kelompok umur. Anemia paling umum terjadi pada wanita usia subur dan ibu hamil sehingga sangat diperlukan adanya upaya perbaikan gizi mengenai masalah hal ini. Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa upaya perbaikan gizi diprioritaskan kepada kelompok rawan yang di dalamnya termasuk remaja perempuan.Â
Target global penurunan anemia pada wanita usia subur, termasuk remaja putri, yang disahkan oleh World Health Assembly adalah adanya penurunan sebesar 50% pada tahun 2025. Untuk itu, pemerintah menetapkan perlunya pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) untuk remaja putri setiap minggunya (Watson, F., Minarto, Sukotjo, S., Rah, J. H., & Maruti, A. K., 2019). Regulasi TTD diatur dalam Permenkes RI No. 88 tahun 2014 yang mengatur komposisi, spesifikasi, kemasan, registrasi, serta pelabelan dari TTD tersebut agar angka anemia di Indonesia bisa segera menurun.
Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi anemia pada remaja sebesar 32%, artinya 3-4 dari 10 remaja menderita anemia yang terbilang angka kejadiannya cukup tinggi. Maka dari itu, perlu diketahui mengenai faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kejadian anemia itu sendiri. Menurut penelitian Jaelani, Simanjuntak, dan Yuliantini (2017) beberapa faktor dari kejadian anemia pada remaja putri adalah status gizi remaja, asupan makanannya, pola konsumsi makanan inhibitor penyerapan zat besi, dan lama haid. Menurut WHO (2008), faktor risiko utama anemia defisiensi besi adalah asupan zat besi yang rendah, penyerapan zat besi yang buruk, dan periode kehidupan ketika kebutuhan akan zat besi tinggi seperti pada masa pertumbuhan, kehamilan, dan menyusui. Kekurangan zat gizi lainnya seperti vitamin A, vitamin B12, folat, riboflavin, dan tembaga serta adanya penyakit akut dan infeksi kronis, seperti malaria, kanker, tuberkulosis, dan HIV juga dapat meningkatkan risiko anemia. Selain itu, kebutuhan zat besi yang tinggi pada remaja putri juga pada masa menstruasi. Asupan gizi besi yang kurang pada remaja dapat disebabkan pengetahuan remaja yang kurang tentang pangan sumber zat besi dan peran zat besi bagi remaja.Â
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menangani anemia agar dampak yang lebih buruk dapat dicegah? Dalam hal ini, kita perlu mengevaluasi program pemerintah yang ditujukan untuk penurunan angka anemia di Indonesia.
Pemerintah berperan penting sebagai inisiator dari program kesehatan. Evaluasi dapat dilihat dari sasaran program anemia, yaitu sasaran pengelola program dan penerima program. Pemerintah perlu memberikan fasilitas yang baik dan dapat diterapkan untuk tenaga kesehatan serta pihak sekolah yang turun langsung kepada sasaran utama program anemia, yaitu anak sekolah. Tidak hanya kepada anak sekolah saja pendidikan kesehatan perlu diberikan, tetapi juga diperlukan latihan rutin untuk tenaga kesehatan dan pihak sekolah.
Keberhasilan dari pendidikan kesehatan untuk tenaga kesehatan dan pihak sekolah dapat dilihat dari penyuluhan yang diberikan kepada murid serta penggunaan media penyuluhan sebagai sarana. Selain itu, diperlukan juga evaluasi pemberian TTD kepada remaja putri. TTD harus diberikan secara mingguan kepada semua remaja putri yang berada di daerah perkotaan maupun pedesaan. Program pemberian TTD dapat diterapkan di sekolah yang terintegrasi dengan kurikulum pembelajaran. Untuk dapat mencapai target pemerintah dalam menurunkan angka anemia di Indonesia, salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan adalah keberlanjutan dan pemberdayaan. Program pendidikan kesehatan dan pemberian TTD harus terus berlanjut. Terlebih lagi jika sasaran dari program diberdayakan sehingga dapat menangani permasalahan anemia.
Diperlukan sinergi dan kolaborasi antar berbagai pihak termasuk pemerintah daerah, sekolah, masyarakat dan lembaga yang terkait dalam pencegahan remaja anemia untuk menurunkan prevalensi anemia remaja Indonesia. Kolaborasi tersebut dapat berupa kolaborasi antara lembaga, seperti SEAMEO RECFON dengan SD hingga SMA dalam menjalankan program gizi berbasis sekolah, yaitu Nutrition Goes To School. Program ini merupakan bentuk integrasi program pendidikan kesehatan dan gizi sebagai penguatan UKS.